Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Kamis, 28 Oktober 2010

Saya Lupa Memasukkan Kesabaran dalam Adonan Es Krim Saya


Saya suka membuat es krim. Meracik sendiri adonannya. Memutar campuran antara tepung es krim, susu, dan cokelat. Memasukkannya dalam lemari pendingin. Menunggunya. Dan tentu saja, segera melumatnya bila sudah beku.
Itu mudah. Murah.
"Ah, lebih baik beli. Lebih cepat. Bikin sendiri tak pernah berhasil!" celoteh teman saya.
"Masak sih?" hanya pertanyaan itu yang keluar dari mulut saya. Ya, saya heran. Berkali-kali saya selalu meracik adonan es krim saya sendiri. Tinggal membeli tepung es krim yang dijual bebas. Mengaduknya di rumah. Selesai.
"Gimana caranya? Bikin es krim yang enak seperti itu? Setiap kali saya buat selalu saja gagal. Tak bisa membeku." teman saya masih penasaran. Saya lebih penasaran lagi.
"Ehm, apa ya?" saya berpikir keras.
"Coba teliti merknya, sudah samakah dengan merk yang saya pakai?" oh iya, bukannya saya promosi, tetapi hanya merk tertentu yang menurut saya bisa menghasilkan es krim yang lebih baik. Memang, harganya sedikit lebih mahal.
"Sama dengan yang kamu pakai biasanya!" dia menjawab sekenanya.
"Takaran air yang kamu gunakan? Waktu mengaduk dan mengocoknya? Tempat yang kamu gunakan?" saya menanyakan detail teknis dalam membuat es krim.
"Ya, seperti yang tertera di petunjuk pembuatan. Tak ada yang kurang atau lebih!" dia hanya menggelengkan kepalanya.
"Wah, itu mah berarti keterampilan tangan si pembuat juga berpengaruh! Haha" saya bercanda. Dia terlihat mengangguk.
"Eh, biasanya kamu nyimpen es krimnya di lemari es berapa lama?" tiba-tiba dia menanyakan itu kepada saya.
"Ya, biasanya sih semalam atau bahkan sehari." saya merasa waktu penyimpanan adalah hal yang biasa. Hampir semua orang tahu, begitu dugaan saya.
"Wah, lama juga ya?" dia sedikit heran.
"Lha, emangnya kamu menyimpan es krimmu berapa lama? Kok sampai dibilang gagal?"
"3 jam!" tanpa dosa dia menjawab seperti itu. Saya tertawa. Ngakak. Saya hanya berpikir bagaimana mungkin es krim membeku dalam lemari pendingin biasa dalam waktu 3 jam. Aneh-aneh saja.
Namun, anehnya, adanya percakapan saya dengan teman saya itu membuat saya tersadar bahwa kadang-kadang kita juga lupa untuk memasukkan kesabaran dalam setiap usaha kita. Ya, kita merasa sudah melakukan semua hal yang seharusnya dilakukan. Dalam kasus es krim tersebut, teman saya sudah membeli merk yang tepat dan segala bentuk pembuatan ditaatinya. Tetap saja gagal. Karena dia lupa untuk sabar dalam menunggu es krimnya membeku.
Begitulah kehidupan. Biasanya kita menuntut Tuhan bila semuanya tidak sesuai dengan yang kita harapkan. Protes pada Tuhan sebab kita merasa sudah berusaha semaksimal dan seoptimal mungkin. Kita lupa. Tuhan memberikan kita jeda bukan untuk menunda keinginan kita. Tetapi untuk mengajari kita arti kesabaran. Tuhan ingin hamba-Nya tidak serba instan. Ada proses yang harus ditempuh.
Begitulah kehidupan. Biasanya kita mengecam usaha kita yang tak kunjung menuai hasil. Merasa putus asa dengan usaha kita. Padahal, kita hanya perlu sedikit waktu untuk bersabar. Untuk menghirup kasih sayang Tuhan. Kita hanya perlu berprasangkan baik pada Tuhan atas jeda yang diberikan Tuhan pada kita. Bukankah Tuhan akan selalu menjawab doa-doa umatnya? Kalau tidak sekarang, nanti, atau besok di kehidupan yang kekal.

Selasa, 26 Oktober 2010

Maaf, Aku Menganggumu Kawan...




Maaf Kawan. Bila aku menganggumu. Bila kehadiranku membuatmu tak senang. Aku hanya ingin menyapamu. Itu saja. Sebenarnya aku tak minta banyak, hanya ingin pesanku di dindingmu kamu acuhkan. Bahkan hanya sekadar jempol. Tapi nyatanya tidak. Kukira kamu juga tak membalas pesan-pesan lainnya, ternyata tidak juga. Hanya pesanku saja yang tak kamu balas. Maaf. Kawan. Kiranya aku menganggu kegiatanmu. Kiranya aku mengusik kesibukanmu. Aku tahu kamu sibuk. Aku juga tahu kamu pintar.
Katakan saja bila aku membuatmu marah. Katakan saja bila kamu tak senang denganku. Ah, hanya sebuah atau duabuah pesan di dinding facebookmu. Tak sempatkah dirimu, Kawan? Atau memang enggan menyempatkan diri. Jawab saja, baik. Toh, aku hanya bertanya kabarmu. Aku tak bertanya mata kuliahmu. Aku tak bertanya siapa kekasihmu sekarang. Sebuah kabar saja enggan kamu jawab. Ya, semoga saja kamu memang tak sempat membalas atau memang tak sempat mengingat. Sudahlah. Lupakan saja racauanku ini. Tak penting untukmu. Maaf, sudah sedikit menganggu kesibukanmu. Lain kali tidak lagi kok!

Jumat, 22 Oktober 2010

I'm Stuck Fast


Tak ada ide lagi untuk menulis. Menulis tugas kuliah. Kisah cinta. Aku bingung. Mana yang harus kutulis. Bukannya banyak, tapi memang tak ada. Tak ada kisah tentang cintaku yang dapat kubagi. Yah, selain kisah cintaku dengan keluarga dan teman-temanku. Ah, ingin rasanya aku mengumpulkan saja kertas kosong pada dosenku. Sebab kosong itu kisah. Aku mencoba menulis tentangmu. Tentang buram. Tentang hitam. Kupikir akan lancar. Tetap saja, macet di tengah jalan. Aku tak tahu. Oh iya, kisahnya harus berkilas balik. Mana bisa? Sedangkan kisahmu dan kisahku baru saja dimulai. Ups, bahkan belum dimulai sama sekali. Belum berada di titik nol, melainkan masih minus. Aku kesulitan kali ini. Sangat. Senandika. Kamu. Perempuan. Semuanya tak bisa menjalin cerita. Imajinasiku tak keluar. Terlalu susah.
Kali ini hujan. Harusnya lebih mudah aku menulis. Terbawa suasana. Seperti biasanya. Ini lain. Aku malas romantis. Aku malas berandai-andai. Kisah senduku sudah terbawa banjir kemarin. Rumahku banjir. Ada banyak air dari atas. Kalau kau ke rumahku sekarang, kau bisa melihat hujan di dalam rumah. Bagus. Air mengalir di tembok. Seperti hiasan air di hotel-hotel mewah. Oh, berarti rumahku hotel mewah kalau begitu. Tidak tahu. Kapan hujan ini akan reda. Kulupakan setiap wajahmu yang pernah tiba. Aku ingin melupakanmu sebaik aku melupakan UTS dan tugas-tugas makalahku.
Ah, sebenarnya kau tak penting untukku. Hanya saja, aku terlalu sayang melewatkanmu untuk tugas menulis kisah cinta ini. Aku harus menulis tentangmu. Agar kau mengerti. Aku juga bisa menulis sebaik kau. Aku juga bisa memilih diksi seteliti kau. Aku juga bisa merangkai kalimat serunut kau. Dan aku juga bisa berimajinasi seliar kau. Itu saja sebenarnya. Tak lebih. Tapi itu tak mudah, aku butuh stimulus. Berikan aku ide untuk ini. Aku benar-benar iri padamu. Tulisanmu bagus. Tulisanku jelek. Tak pernah bisa sebagus kau. Argh!

Selasa, 19 Oktober 2010

Festival Perdamaian Dunia

Ini acara apa? Pemberantasan kemiskinan? Bodoh!! Berapa uang yang dihabiskan untuk ini. Mengapa tak dibuat sesuatu yang lebih bermanfaat laiinnya? Pembangunan sebuah sekolah kurasa cukup bila dibarter dengan semua huruhara ini. Tak dapat dimungkiri, acaranya bagus, tapi hanya hiburan. Tanpa nilai. Cukup menikmati, tapi hati kecil tak menemani. Lelucon. Ironi.
Agamaku, agamaku. Agamamu, agamamu. Saling menghormati sudah cukup. Tak perlu doktrin, "Satu Keluarga, Satu Tuhan". Tuhan kita beda, tak pernah sama. Hah.
Katanya pemberantasan kemiskinan. Katanya cinta perdamaian. Katanya ingin membangkitkan rasa peduli sesama. Sepertinya memang hanya katanya, kata ganti -nya tak jelas yang digantikan. Semua mengelak bila dituntut. Katanya memang kata yang paling mudah. Tak perlu pembuktian. Tak perlu argumen.
Oh, sudah terlanjur. Biarlah. Aku tak peduli. Hanya ingin mengisi. Nanti. Bila ada acara lagi. Dengan sesuatu yang jauh lebih berguna dari ini. Semoga saja.