Hurip iku Hurup
Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.
Sabtu, 31 Desember 2011
Selalu Ada Akhir untuk Mengawali
Buncah. Bersyukur. Paling tidak, Tuhan sudah berbaik hati. Memanjangkan usia saya hingga detik ini.
Saya selalu suka hingar bingar yang timbul ketika malam pergantian tahun. Warna-warni yang indah. Nada dar-der-dor yang sedikit memekakkan. Tapi saya tidak berniat untuk menjadi bagian dari euforia itu. Berdiam diri di rumah jauh lebih indah.
Selalu ada akhir untuk mengawali sesuatu yang baru. Yang dianggap akhir sebenarnya adalah pijakan untuk melompat lebih tinggi. Menyelam lebih dalam. Atau berlari dengan lebih cepat. Itulah yang saya harapkan.
Mengutip kicauan dari Goenawan Mohamad, "Yang baru bukan tahun. Tapi hidup."
Itu indah sekali. Tahun tidak pernah merasa menjadi baru. Hanya hidup yang seharusnya baru setiap hari. Semoga. Semoga Tuhan selalu baik kepada saya.
Jumat, 23 Desember 2011
Senja
selain menyusuri jalanan lengang kampus ketika senja.
Duduk saja. Di tepi danau hijau.
Menatap lekat. Lama-lama.
Takada jingga. Hanya abu-abu.
Tidak masalah. Sebab angin telah mengganti
Semuanya.
Mengibarkan rok seolah bendera.
Menarik tubuh. Jatuh ke tanah.
Suatu saat.
Senja akan merindu
pada hujan yang membasahkan atau
angin yang menerbangkan.
Rabu, 21 Desember 2011
Natal
Sudah hampir Natal. Sekarang sudah pagi. Sedangkan mataku belum terpejam. Gejala insomnia? Bukan.
Aku hanya sekadar mengingatmu. Mengenangmu. Lalu, tiba-tiba terjaga. Tanpa air putih atau segelas cokelat.
Sekali lagi. Aku selalu heran pada kenangan yang taktahu malu. Lama-lama aku membencinya. Sebab dia selalu membawamu kembali. Mengolokku yang takbisa melawan. Membiarkanmu datang. Lantas, menari-nari. Sudahlah.
Sudah berapa Natal yang kita lewatkan sendiri? Mungkin tiga. Mungkin empat. Ya. Aku tahu. Pada akhirnya kita akan berjalan masing-masing. Tapi, tetap saja. Melihatmu beranjak itu seperti pecandu yang sakaw. Bagaimana kabarmu sekarang?
Dari dulu. Aku takpernah punya pohon Natal. Sama sekali. Aku takpernah tahu rasanya menghias cemara itu dengan gantungan-gantungan yang lucu. Aku hanya mendengar ceritamu. Menghias pohon Natal itu seperti sebuah persembahan pada Tuhan. Sukacita menyambut hari kelahiran Tuhan-mu. Padahal, aku ingin sekali memasang bintang di pucuk cemaramu. Atau menggantungkan kaus kaki kecil di setiap dahan. Atau melilitkan kapas putih--yang seolah-olah salju itu.
"Mungkin, sama halnya dengan menganyam janur untuk dibuat ketupat di hari Lebaran," celotehmu lalu.
Aku menggeleng. Mamaku takpernah memasak masakan lebaran. Sama sekali.
"Aku takpernah dan takbisa menganyamnya," kataku. Kamu mendengus. Tertawa kecil. Aku ikut tertawa.
Kita hanya terdiam setelah itu. Pikiranku dan pikiranmu mungkin sama: kita sampai di sini. Menyakitkan. Sangat.
"Percayalah. Kita akan menemukan kedamaian di jalan Tuhan kita masing-masing," kamu berkata pelan. Ada bening di matamu. Suaramu tertahan.
Aku hanya mengangguk perlahan. Aku masih ingat semua kalimatmu. Terima kasih.
Kenangan. Semoga Natal tahun depan, kenangan tentangmu sudah berubah cerita.
Setiap Natal tiba. Aku selalu mengingatmu. Seperti kali ini. Di dini hari--hampir pagi. Dan lagu "Someday"--John Legend masih berputar sendiri di playlist-ku. Entah. Sudah putaran ke berapa.
Kepada Ibu
Kepada Ibu. Maaf.
Aku takpernah sempat mengirimkan ucapakanku untukmu. Lewat sepotong
kartu pos atau mungkin berbisik pada senja.
Bagaimana kabarmu hari ini?
Aku yakin, engkau akan menjawab, "sangat baik."
Padahal aku tahu. Ada lelah di matamu. Ada letih di hatimu.
Ada sedikit luka di balik kata baik-mu.
Tapi bibirmu masih merasa baik-baik saja.
Kepada Ibu. Terima kasih.
Terima kasih kepada Tuhan. Yang memilihmu untuk menjagaku. Menjadi malaikat.
Tanpa sayap.
Pukul dua nanti aku ingin terlelap.
Berharap bisa memelukmu dalam dunia takberbatasku.
Aku tahu. Mata ini akan bengkak besok.
Sebab terlalu lama menahan rindu untukmu. Takapa.
Aku janji, sebelum matahari terbit,
aku akan mengirimkan satu kalimat untukmu. Semoga Ibu senang.
Selamat hari Ibu. Semoga setiap hari Ibu selamat. (Aku mengutip kicauan dari temanku, tak apa, kan?)
Ah, tunggu dulu.
Kemarin. Engkau mengirimkan satu klausa untukku.
Singkat. Dan menyayat.
"Dan kau wujudkan mimpi yang terindah di setiap malamku"
Masuk berjejal di dalam kotak masukku.
Aku tertegun di antara padat jadwal. Ada bening menggenang.
Terima kasih.
Tahukah engkau, Ibu?
apa mimpi terindahku di setiap malam?
ENGKAU!!
Melihatmu tersenyum. Mendengarmu bercerita riang.
Tidak ada yang lebih baik dari itu semua.
Ah, mungkin, coretan ini taksampai padamu.
Internet takbisa menyampaikan semua rasa, ternyata.
Iya. Takapa.
Aku yakin. Engkau sudah merasa bahwa aku (selalu) menulis
sesuatu untukmu setiap saat.
Selasa, 20 Desember 2011
Dan Ponsel Saya pun Bisa Cemburu!
Ah, tapi sayang. Segala sesuatu memang selalu berbatas. Termasuk ponsel saya. Akhir-akhir ini ponsel saya sudah menunjukkan tanda-tanda penuannya. Angka 2 sudah terlalu sensitif. Sudah tidak bisa bekerja secepat dulu. Otaknya sudah enggan diajak menampung banyak kenangan. Tanda getarnya juga sudah tidak berlaku lagi. Kasihan. Waktunya beristirahat.
Setelah mempertimbangkan banyak hal, saya memutuskan untuk membuat dia istirahat. Menemani saya kala senggang saja. Tidak harus bekerja keras untuk membantu pekerjaan saya. Saya membeli penggantinya. Mungkin generasi cicit dari ponsel saya tersebut. Harganya hanya setengah dari harga ponsel saya, tapi (mungkin) fiturnya jauh lebih banyak.
Sudah seminggu saya memakai ponsel baru. Ponsel lama sedikit terbengkalai, karena memang, saya mengisinya dengan nomor baru--yang hanya beberapa orang yang tahu. Sementara itu, ponsel baru--dengan nomor saya yang lama--menemani saya bekerja dan berhaha-hihi.
Ah, saya salah. Tidak hanya manusia, ponsel pun bisa cemburu. Kemarin, ponsel baru saya sama sekali tidak bisa digunakan. Tidak ada jaringan meskipun sudah saya refresh berkali-kali. Jadinya, saya harus menggunakan nomor baru dengan ponsel lama untuk menghubungi teman-teman saya. Padahal, kemarin saya sedang sibuk menjadi panitia tayang bincang di kampus saya.
Sesampainya di rumah, saya mencoba menukar nomor. Ajaib. Dua-duanya bisa mendapat jaringan. Aneh.
Tapi, tetap saja. Nomor lama saya memang sepertinya minta ganti cip. Nomor lama saya tidak bisa digunakan untuk mengirim sms, padahal masih bisa digunakan untuk menerima sms, menelpon, dan menyelancar dunia maya. Benar-benar aneh.
Ya ya ya. Saya sedikit mengambil kesimpulan bahwa ponsel pun bisa cemburu dan merajuk dengan caranya. Saya tertawa. Baru sekali saya ganti ponsel. Setelah enam tahun. Selalu (terlalu) setia pada apa pun!
Senin, 19 Desember 2011
Penelitian Dialektologi ke Kresek-Tangerang
Saya senang berada di semester 5 ini. Mata kuliah yang menyenangkan. Dosen yang menyenangkan. Dan (semoga) juga nilai yang memuaskan. haha.
Hari Sabtu (17/12), saya dan teman sekelompok saya—Inung—melakukan penelitian bahasa di desa Sukasari, kecamatan Kresek, kabupaten Tangerang. Ya. Penelitian ini adalah salah satu syarat kelulusan di mata kuliah Pengantar Dialektologi. Penelitian ini menyenangkan. Sangat.
Kami berangkat dari kamar kosan pukul 08.00 WIB. Pukul 09.00 baru mendapatkan bus yang jurusan Depok—Kalideres. Kami pun naik bus tersebut. Berhubung hari Sabtu, jalanan di Jakarta tidak terlalu macet. Sampailah kami di Kalideres pukul 10.50. Perjalanan belum selesai. Kami harus naik lagi (semacam) Kopaja yang menuju ke arah Kresek. Pukul 11.00, bus jurusan Kalideres—Kresek akhirnya berangkat. Kami mengira perjalanan ini tidak memakan waktu lama, ternyata salah. Kami baru sampai di Kresek pukul 13.45. Entahlah. Itu berapa jam jika dihitung dari awal keberangkatan. Dalam perjalanan tersebut, saya pun harus menyaksikan kenorakan Inung yang (mungkin) baru pertama kali tahu aplikasi navigasi di ponsel barunya. Haha
Kami sampai di sebuah terminal yang merangkap fungsinya menjadi pasar. Sedikit kotor dan bau. Sudahlah. Tidak apa-apa. Untunglah. Di depan situ terdapat sebuah masjid. Kami pun sholat dhuhur sekaligus ashar. Ah, jujur. Saya seperti jetlag ketika awal-awal sampai. Kepala pusing karena terlalu lama dalam perjalanan. Norak. Haha. Ini foto masjid tempat kami sholat.
Kami bertanya rumah Pak RT setempat untuk meminta izin mengadakan penelitian ini. Ya. Sekaligus meminta tolong ke Pak RT untuk mencarikan informan yang sesuai dengan kriteria informan penelitian dialektologi ini, yaitu NORM’s. Yang pertama, Nonmobile, maksudnya orang tersebut jarang bepergian dari kampungnya. Yang kedua, Older, orang tersebut harus berusia sekitar 40—60 tahun. Yang ketiga, Rural, maksudnya orang tersebut haruslah penduduk asli daerah tersebut minimal dari dua generasi. Yang keempat, Male, diharapkan informan dalam penelitian ini adalah laki-laki karena laki-laki dianggap dapat menyimpan bahasa etnisnya dengan baik. Namun, kriteria yang terakhir ini masih diperdebatkan.
Akhirnya, kami dipertemukan dengan Ibu Salminah. Penelitian pun dimulai. Karena kami menghindari idiolek, kami pun mewancarai dua orang. Ibu Salminah dan Pak RT itu. haha
Inung mewancarai Ibu Salminah dan saya mewancarai Pak RT—yang saya lupa namanya. Penelitian pun berlangsung. Ah iya, namanya penelitian dialektologi, yang kami tanyakan pun seputar kosakata. Misalnya, mereka menyebut kata abu dengan kata apa. Daftar tanyaannya berupa 200 kosakata Swadesh dan 32 kosakata sistem kekerabatan—sapaan. Total ada 232 kosakata yang kami tanyakan.
Penelitian berlangsung selama kurang lebih 1 jam 15 menit. Pak RT itu baik sekali. Ibu Salminah juga. Mau meladeni mahasiswa kurang kerjaan seperti kami. Sekitar pukul 15.30 penelitian selesai. Untuk kenang-kenangan, saya sempat memotret Inung, Pak RT, dan Ibu Salminah.
Bisa ditebak kan yang mana Inung, Ibu Salminah, atau Pak RT. Haha
Setelah itu, kami langsung pamit pulang. Takut terlalu malam pulang. Bus yang ke Kresek—Kalideres hanya sampai pukul 17.00, sedangkan Kalideres—Depok hanya sampai pukul 19.00. Wah, itu waktu yang terlalu riskan untuk berleha-leha. Sebelum benar-benar pulang, kami makan siang (atau sore) di warung samping Masjid.
Sembari menunggu bus yang takkunjung berangkat, saya memotret-potret saja keadaan yang di sana. (Dari kiri atas ke kanan) Gambar pasar di sana. Dan yang membuat saya kagum, di sana masih ada wartel sekaligus merangkap warnet. Oh waw! Sudah ada minimarket juga. Ckck. Investasi minimarket memang sudah merambah ke setiap pelosok. Jalanan lengang menuju rumah Pak RT.
Akhirnya, bus jurusan Kalideres berangkat juga. Sudah pukul 16.10. Hampir senja. Saya bosan di perjalanan. Baterai ponsel menipis. Membaca buku pun tidak memungkinkan. Yang saya lakukan hanya memotret apa pun yang ada di jalanan.
Kami tiba di Kalideres pukul 18.40. Fiuh. Masih ada bus yang lewat untuk ke Depok. Perjalanan pulang lebih panjang. Jakarta Macet lagi. Saya sampai di kosan pukul 22.00 dengan wajah kusut dan bau bus. Ini perjalanan gila. Penelitian hanya satu jam, sedangkan waktu tempuhnya 10 jam.
Ah, tapi jika tidak ada tugas ini, saya tidak akan jalan-jalan ke Kresek. Tidak akan tahu bahwa kamar mandi di sana masih belum tertutup sempurna. Tidak akan tahu bahwa ada daerah dekat Kota Metropolitan yang masih asli. Tidak akan tahu bahwa ada bahasa Jawa yang digunakan orang-orang tersebut. Kosakata Jawa dengan logat Sunda dan beberapa campuran kata sapaan bahasa Betawi. Itu sangat menarik. Ya. setelah penelitian ini, saya tertarik untuk mengambil skripsi dialektologi. Ingin meneliti dialek di sebuah tempat yang belum terjamah. Tentu saja. Keinginan utama saya adalah jalan-jalan. :P
Minggu, 18 Desember 2011
Kepada Kamu
Sudah lama tak menyapamu. Ada rindu. Sepasang ngilu. Kamu.
Kamu. Masih kamu.
Kemarin hujan. Di jalanan. Menyusun ingatan. Masih tentang kamu. Remah-remah imajinasi. Sedikit saja.
Aku selalu mengingat. Bagaimana kenangan tentang imajinasiku.
Berjalan berdua. Beriringan. Bergandengan. Di bawah hujan.
Atau kita berada dalam bus kota. Bernyanyi. Mengusap nako.
Aku lebih suka berjalan kaki. Bersamamu. Daripada harus kedinginan di dalam mobilmu. Sederhana bukan? Sebab, berjalan membuat waktu berhenti sejenak. Agar aku bisa lebih lama menggenggam tanganmu.
Mungkin kita akan menikah kelak. Aku menjadi pasanganmu. Tapi aku takmau menukar nama belakangku dengan nama belakangmu. itu nama ayahku.
Kelak, akan lahir anak-anak lucu dari rahimku. Lakilaki dan perempuan sama saja.
Lantas, kita akan menghabiskan waktu di toko buku. Memilah dan memilih buku dongeng atau puzzle untuk anak kita. Atau kita akan membacakan sebuah dongeng setiap malam. Mengecup anak kita sebelum mereka tidur.
Membawa mereka jalanjalan. Menemani mereka membaca dan belajar. Itu menyenangkan bukan?
Kepada kamu,
aku senang menghabiskan waktuku bersamamu.
Selasa, 13 Desember 2011
Jarak
biarlah
kaumemandangnya sayu
Bukan itu mauku, katamu
lantas?
kamu! katamu lagi
aku jengah
mana mungkin?
sekali lagi
kita harus mengalah
pada jarak yang serta
merta tunduk pada waktu
mengapa kita taktumbuh
di tempat yang sama?
lalu kita dapat berjalan
beriringan
oh.
Senin, 12 Desember 2011
Rindu Hujan Pagi Hari
Kemarin, saya melihat postingan teman saya. Saya hanya mengingat dua baris di antara berbaris-baris yang dia tulis. Dia menulis puisi. Sederhana. "You say you love the rain, but you open your umbrella when its rain. This is why I'm afraid. You say you love me"
Yeah. Masih ada beberapa baris yang saya lupa. Kadang-kadang, manusia memang seperti itu. (Seolah-olah) mencintai sesuatu. Padahal hanya sebatas mengikuti orang lain mencintai sesuatu.
Percaya atau tidak. Saya tidak pernah menyelipkan payung di antara kosong tas saya. Ke mana pun saya pergi.
"Wah, hujan nih. Lo gak bawa payung?" teman saya bertanya pada saya dengan muka sedikit manyun.
"Mana pernah!" saya menjawab singkat. Teman saya mendengus. Terserah. Tapi itulah. Saya memilih bermain dengan hujan atau menungguinya hingga hujan pergi sama sekali.
Tentang kesetiaan. Ah, saya selalu terlalu sok tahu tentang hal ini. Ketika saya memilih sesuatu, saya akan tetap bersamanya atau meninggalkannya dari awal. Ya. Itu jugalah yang membuat saya enggan membuka payung ketika hujan.
Saya jadi ingat. Dulu saya selalu senang ketika hujan datang. Saya bisa bermain-main di bawah hujan dengan ayah dan adik saya. Kaki telanjang. Berkeliling kebun. Lempar-lemparan lumpur. Mencari ikan di empang. Bahkan, bermain bola. Saya, ayah, dan adik. Selalu senang ketika hujan. Itu berarti kami bisa bermain bersama. Walaupun setelah bermain, kami harus mendengar ocehan Mama. Tentu saja, Mama mengoceh. Karena kami masuk rumah dalam keadaan basah. Tetesan dari baju kami mengotori lantai yang sudah dipel paginya. Kami hanya tergelak, lalu bersama-sama mengepel kembali lantai rumah kami yang basah. Lalu, setelah mandi dan keramas, saya dan adik saya berlomba mencium pipi Mama. Tapi sayang, pasti ayah saya yang lebih dulu sampai ke pipi Mama saya.
Entah. Itu berapa tahun yang lalu. Mungkin sebelum saya menstruasi untuk pertama kalinya. Sudah sangat lama. Sekarang tidak lagi. Adik saya sudah besar. Sudah enggan berkotor-kotoran dengan hujan. Meski terkadang, masih sering saya melihat ayah saya berhujan-hujanan dengan ayam-ayamnya. Dan saya hanya melihat dari dalam rumah.
Banyak hal yang berubah. Meski rasa hangat itu takpernah berubah. Saya lebih suka menggelung di balik selimut ketika hujan sambil tetap mendengarkan rintiknya. Adik saya lebih senang berhubungan dengan teman-temannya di jejaring sosial. Mama saya lebih senang bermain Zuma di komputernya. Dan ayah saya lebih tertarik bercengkerama dengan ayam, burung, atau bebeknya di kebun.
Saya rindu pada mereka. Pada mereka yang telah memberi rasa hangat pada saya. Hujan hanya pengingat. Benang merah yang menghubungkan kenangan saya tentang tiga malaikat tanpa sayap itu. Terlampau banyak kenangan manis di rumah mungil--yang catnya tidak pernah tetap.
Tanggal 28 November kemarin, Ayah saya ulang tahun. Ke berapa? Saya pun lupa. Mungkin sudah kepala lima. Ah, ayah saya sudah setengah abad. Rambutnya sudah banyak yang memutih. Harapannya ada pada saya. Sungguh. Sekali pun saya tak ingin mengecewakannya.
Tanggal 7 Desember kemarin, adik saya ulang tahun. Yang ke-17. Oh, dia sudah besar sekarang. Padahal, rasanya, baru kemarin dia lahir. Menjadi bayi mungil yang menyedot banyak perhatian orang. Yang sering saya ciumi ubun-ubunnya. Rasanya, baru kemarin. Saya dan dia pergi bersama ke sekolah. Atau bertengkar rebutan remote TV di rumah. Berkejaran. Saling meneriaki. Mandi bareng. Tidur dalam satu ranjang. Dan sama-sama kena marah Mama atau Ayah. Mengesankan.
Tanggal 22 Desember nanti, hari ibu. Hari Mama. Tak ada kata yang bisa dirangkai untuk mendefinisikan perempuan ini. Terlampau sempurna. Dari Mama juga, saya belajar memberi dan mengasihi sesama. Belajar sabar dan menerima sesuatu. Bersyukur. Mama saya bukan ibu yang cerewet. Tidak panik ketika saya sakit atau mendapat masalah. Memang, seolah-olah Mama membiarkan saya berjalan sesuka saya. Tapi, di kota ini, saya baru mengerti pengajaran yang diterapkan Mama pada saya. Saya belajar untuk bertanggung jawab terhadap pilihan dan kehidupan saya. Belajar mengurusi keperluan saya tanpa terlalu bergantung pada orang lain. Ah, sudahlah. Mama saya tidak akan cukup diceritakan dalam ruang ini.
Yang pasti. Sekarang. Saya merindukan mereka. Ah, paling tidak. Saya sudah meluapkannya di sini. Siapa tahu kicauan ini sampai pada mereka. Entah terbawa hujan atau angin.
Kamis, 08 Desember 2011
Tentang Kepedulian
Ya. Kebetulan saja kita "terlahir" di tempat yang sama. Tapi bukan berarti kita harus selalu bersama-sama. Jujur saja, saya sedikit risih ketika kalian berteriak-teriak di depan saya. Menanyakan di mana kepedulian saya terhadap "rumah kita"? Dalam hati, saya tergelak. "Rumah kita"? Rumah adalah tempat pulang yang hangat. Yang memberikan ruang untuk menjadi diri. Maaf. Saya tidak menemukan kehangatan itu di tempat yang kalian sebut "rumah kita" ini.
Kepedulian itu tidak harus kasat mata. Tidak harus muncul di setiap suasana. Setiap orang memiliki prioritas masing-masing. Yang mungkin tidak bisa dimengerti oleh orang lain. Kalian punya kerjaan. Saya punya kerjaan. Baiklah. Tidak perlu mengunggulkan kerjaan siapa yang paling berat dan yang paling sibuk. Semua adalah soal pilihan. Saya memilih keluar. Dan kalian memilih masuk. Bukan masalah besar sebenarnya. Lantas, mengapa kalian mempermasalahkan pilihan saya, sedangkan saya tidak pernah mempermasalahkan pilihan kalian?
Ada banyak alasan (jika saya mau beralasan). Tapi saya memilih diam. Membiarkan kalian meneriaki dan memaki saya. Apakah kalian peduli terhadap pilihan saya? Saya rasa tidak. Dan mengapa saya harus peduli pada pilihan kalian? Saya tidak punya komitmen dan tanggung jawab apa pun terhadap kalian!
Maaf. Saya memang tidak terbiasa dengan kerumunan. Tidak terbiasa terpesona dengan huru-hara yang ada. Saya lebih senang menghabiskan waktu saya sendirian. Terkesan egois dan autis, memang. Tapi, apakah seseorang hanya dinilai dari kesannya? Semoga saja tidak.