Tak ada yang benar-benar murni di dunia ini.
Mungkin, itulah ungkapan yang sedikit tepat untuk menggambarkan dunia literasi kita. Atau mungkin takhanya di dunia literasi, teknologi, sosiologi, atau mungkin biologi. Semua hal yang ada di dunia ini hanyalah mimesis atau, mungkin, hanya kelanjutan gagasan yang pernah ada. Bahkan mungkin, menurut salah satu filsuf, semua hal di dunia ini hanyalah tiruan dari ide. Entahlah. Boleh percaya, boleh tidak. Saya tidak begitu paham mengenai dunia filsafat yang dihubungkan dengan sastra.
Yang pasti, kemarin saya membaca berita bahwa cerpen terbaik Kompas 2010 sudah ditentukan pemenangnya, yaitu “Dodolitdodolitdodolibret” karya Seno Gumira Ajidarma. Saya senang bukan kepalang. Penulis favorit saya kembali berjaya di cerpen terbaik Kompas. Saya sudah membaca cerpen itu semenjak dimuat di Kompas, sekitar 9 atau 10 bulan yang lalu. Saya takingat tepatnya. Inti ceritanya pun lupa-lupa ingat. Untuk memuaskan rasa penasaran saya, saya kembali membuka file laptop untuk membaca kembali cerpennya.—saya mengopi dari web www.cerpenkompas.wordpress.com, Fiuh. Saya bernapas lega. Karena memang, cerpennya layak menang. Cerita yang sederhana, namun menyadarkan saya untuk tidak merasa paling benar terhadap segala sesuatu yang saya anut dan menyalahkan segala sesuatu yang tidak saya anut, termasuk kepercayaan pada Tuhan.
Namun, tiba-tiba, raut muka saya sedikit berubah, ketika membaca obrolan singkat Goenawan Mohamad, Sitok Srengenge, dan satu kawannya lagi (Saya takingat namanya) di sebuah jejaring sosial yang berkarakter 140. Mereka membahas cerpen SGA yang katanya mirip sekali dengan short story karya Tolstoy yang berjudul “Three Hermits”.
Daripada saya mati penasaran, saya akhirnya mencari cerpen yang mereka maksud. Untung. Pencarian cerpen Tolstoy tidak memakan banyak waktu. Singkat cerita, mau tak mau, saya membandingkan juga antara “Dodolitdodolitdodolibret” dan “Three Hermits”.
Hemm. Ada beberapa kemiripan alur. Hanya saja, cerpen SGA lebih singkat dan gaya bahasanya masih Seno. Dalam “Three Hermits”, cerita dibuka dengan pelayaran seorang Uskup (Bishop) yang pada akhirnya singgah ke sebuah pulau kecil karena cerita sang nelayan yang ikut dalam pelayarannya. Nelayan bercerita bahwa di pulau kecil itu ada tiga pertama yang hidupnya untuk keselamatan bagi jiwa mereka. Di pulau tersebut, Uskup bertemu juga dengan tiga pertapa yang dimaksud. Mereka berdoa terus menerus, tapi cara mereka berdoa sangat salah dan tidak tunduk pada aturan Tuhan. Lantas, Uskup memutuskan tinggal sementara di pulau tersebut untuk mengajari mereka cara berdoa hingga mencapai tahap benar. Setelah berhasil, Uskup kembali pulang dengan hati yang lega. Namun, tanpa disangkanya, dalam perjalanan pulang, Uskup tersebut melihat ketiga pertapa menyusul kapalnya dengan berlarian di atas laut tanpa menggunakan suatu alat pun. Mereka berteriak pada Uskup agar kembali untuk mengajari mereka cara berdoa yang benar. Sebab, mereka sudah lupa ketika berhenti sejenak saja. Uskup terdiam. Akhirnya, Uskup berkata bahwa masing-masing dari kita memiliki cara berdoa untuk mencapai Tuhan, tidak seharusnya dia mengajari para pertapa itu berdoa. “Pray for us sinners”, ucapnya terakhir kali.
Sementara itu, cerpen “Dodolitdodolitdodolibret” karya Seno Gumira Ajidarma dibuka dengan polemik dalam diri Kipli (tokoh dalam cerpen “Dodolitdodolitdodolibret”). Kipli memikirkan bagaimana mungkin seseorang dapat berjalan di atas air. Bagaimanapun seseorang yang ingin membaca doa, haruslah diucapkan dengan benar. Karena keyakinannya itu, dia mengajarkan caranya berdoa kepada siapa pun yang ditemuinya. Mengajarkan kebahagiaan, katanya. Suatu ketika, Kipli—yang sekarang berubah panggilan menjadi Guru Kipli—tiba di tepi danau. Singkat cerita, Guru Kipli tiba di pulau yang berada tepat di tengah-tengah danau tersebut. Dia bertemu dengan sembilan orang penduduk pulau tersebut takhenti-hentinya berdoa. Namun, sayang, mereka berdoa dengan cara yang salah, pikirnya. Akhirnya, Guru Kipli pun mengajari mereka cara berdoa yang benar. Setelah merasa sudah berhasil, Guru Kipli pamit dan ingin meneruskan perjalanannya. Takselang berapa lama perahunya berlayar, seseorang berteriak dan menunjuk-nunjuk ke arah laut. Guru Kipli tercengang. Sembilan orang tersebut berlari-lari di atas air. Dia berpikir bahwa orang-orang itu sudah sangat benar cara berdoanya sehingga mampu melakukan hal seperti itu. Sembilan orang itu mendekati perahu Guru Kipli dan mengatakan bahwa mereka ingin diajari lagi cara berdoa yang benar sebab mereka telah lupa.
Diakui atau tidak, kedua cerpen ini memiliki kesamaan garis besar cerita dan susunan alur. Jika dalam “Three Hermits” ditutup dengan penyesalan Uskup, dalam “Dodolitdodolitdodolibret”, Seno tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai reaksi Guru Kipli. Saya tidak tahu harus berkomentar apa. Entahlah. Saya pun tidak tahu siapa terinspirasi siapa. Yang pasti kedua cerpen tersebut secara keseluruhan dapat dikatakan mirip. Untung saja. Seno tidak serta merta hanya mengganti prolog dan ending cerita, seperti yang dilakukan oleh Dadang Arimurtono dalam cerpen “Nenek Tua dalam Rashomon” yang isinya hanya menyalin tempel dari cerpen “Rashomon” karya Akutagawa Ryonosuke. Bahkan, cerpen tempelan ini juga termuat di Kompas pada tanggal 30 Januari 2011.
Urusan jiplak menjiplak memang terlalu sensitif untuk dibicarakan ketika menyangkut nama penulis besar, seperti Seno. Kasus seperti ini bukan yang pertama kali, saya kira. Ketika novel Tenggelamnya Kapal van der Wijk karya Hamka terbit, kelompok Lekra sempat ramai menyebut novel tersebut jiplakan dari novel Magdalena karya Al-Manfalutfhi, pengarang dari Mesir. Atau sajak Chairil Anwar yang “Krawang—Bekasi” juga pernah dituduh sebagai sajak jiplakan dari sajak yang berjudul “The Young Dead Soldiers” karya Archibald MacLeish. Dan pada akhirnya, sajak “Karawang—Bekasi” disebut sebagai sajak saduran oleh HB. Jassin.
Saya suka pada pemikiran positif Goenawan Mohamad. Mungkin saja Seno mengadaptasi dongeng yang sama dengan Tolstoy. Di akhir tulisannya, Seno menuliskan cerita ini hanyalah versi penulis atas berbagai cerita serupa, dengan latar belakang berbagai agama di muka bumi. Aha, mungkin Seno sudah mengantisipasi kejadian seperti ini sehingga dia berdalih demikian. Oh, lupakan. Yang ini hanya pemikiran nakal saya. Jika dipikir-pikir, sesuatu yang berasal dari dongeng, otomatis menjadi sebuah tradisi lisan. Semua orang berhak menceritakannya kembali. Ya, seperti dongeng Sangkuriang, Puteri Salju, atau apa pun lainnya, setiap orang memiliki hak yang sama untuk membuat varian bahkan versi dari induk cerita yang sama. Meskipun demikian, sebuah formula--bahasa mudahnya alur cerita--tetaplah sama. Mungkin, ya, sekali lagi ini masih kemungkinan saya, Seno dan Toltstoy bisa saja mengadaptasi dari dongeng yang sama. Tolstoy pun menuliskan di awal ceritanya bahwa ini berasal dari legenda tua dari daerah Volga. Ya, semoga saja benar seperti itu.
Terlepas dari plagiat, menjiplak, menyadur, atau apa pun namanya. Saya rasa, itu adalah sesuatu yang wajar. Meniru sesuatu untuk kemudian menemukan jati diri. Bahasa yang digunakan Seno tidaklah sama persis dengan yang digunakan Tolstoy. Redaksi yang dipilih masih mewakili pemikiran Seno. Selain itu, sumbangan Seno terhadap perkembangan kesusastraan Indonesia takbisa dibilang remeh. Kecuali, Seno hanya menerjemahkan karya Tolstoy lalu diakuinya sebagai karyanya. Itu mungkin sedikit membuat geram pembacanya, apalagi penggemarnya.
Ah iya, plagiat atau tidak sebuah karya sastra, tergantung dari sudut pandang apa yang dipakai untuk melihat.
PS.
Ini link untuk melihat cerpen “Three Hermits” karya Tolstoy http://www.online-literature.com/tolstoy/2896/
Ini link untuk melihat cerpen “Dodolitdodolitdodolibret” karya Seno Gumira Ajidarma http://cerpenkompas.wordpress.com/2010/09/26/dodolitdodolitdodolibret/
2 komentar:
:)
tersenyum membaca posting ini...
?
Posting Komentar