Dear Kakek,
Selamat malam Kek,
Apa kabar? Kakek di mana sekarang? Apakah di tempat yang sama saat kita terakhir bertemu? Atau di tempat yang menjadi tujuan Kakek? Tempat yang luas, indah, segar, dan menyenangkan. Itu yang Kakek sering ceritakan padaku. Itu tempat apa Kek? Tanyaku dulu. Itu surga. Jawab Kakek singkat. Yah, aku rasa Kakek sekarang di surga. Semoga surga memang tempat kebahagiaan, ya, Kek. Kalau Kakek bahagia, aku juga bahagia. Sangat bahagia malahan.
Kek, di luar sana, teman-temanku berlomba-lomba ingin menulis surat untuk presiden, sekjen PBB, Obama, rektor, atau siapalah. Namun, aku tidak, Kek. Aku hanya ingin menulis surat pada Kakek. Ya, hanya untuk Kakek. Sudah lebih dari 15 tahun Kakek meninggalkan aku. Meninggalkan Nenek. Meninggalkan Ayah, Om, dan Tante. Meninggalkan dunia ini. Aku ingin cerita banyak, Kek. Seperti dulu. Tapi Kakek tak pernah berkirim kabar padaku, bahkan sebuah senyum dalam mimpi pun tidak. Akhirnya, aku beranikan mengetik kalimat-kalimat ini. Sebab, aku rindu pada Kakek. Sangat rindu. Merindukan semua tentang Kakek. Merindukan dekap hangat Kakek. Aku berharap Tuhan akan menyampaikan surat ini pada Kakek. Ya, semoga saja Pak Pos masih mau mengantar surat walau sudah di surga. Atau merpati masih berkenan menjalankan tugasnya.
Kakek,
Aku sudah besar sekarang. Usiaku sudah 19 tahun, hampir 20 malah. Bukan lagi aku yang kecil. Yang merengek pada Kakek untuk dibelikan sekotak Buavita atau sebatang SilverQueen. Aku sudah tak tinggal di kampung kita, Kek. Aku sudah merantau jauh ke kota yang katanya metropolitan ini. Ada banyak hal di sini. Ada banyak peristiwa. Ada banyak senyum. Ada banyak airmata.
Aku senang Kek di sini. Aku senang kuliah di sini. Ada banyak yang kudapatkan. Ada banyak yang aku pelajari. Tak hanya teori, tetapi juga praktik. Dulu, aku hanya bisa membaca nama-nama sastrawan besar di sampul buku yang aku baca, Kek. Sekarang, aku bisa berdiskusi langsung dengan mereka. Mengobrol, bahkan aku bisa dengan leluasa bertanya pada mereka. Dulu, gedung-gedung tinggi itu hanya bisa kupelototi dalam layar kaca. Sekarang, aku bisa dengan mudah keluar masuk ke dalamnya. Bercengkerama dengan petinggi-petingginya, bahkan meminta nomor ponselnya. Aku senang Kek. Ada banyak malaikat di sini. Teman-temanku yang bisa menerimaku apa adanya. Yang mau mendengarkan ceritaku. Yang mau tertawa untuk leluconku. Mereka malaikat tak bersayap Kek. Tapi mereka mampu menerbangkanku.
Kakek,
Tahun baru Islam kemarin, aku ke Bandung Kek. Mengunjungi Nenek dan Tante di sana. Aku membantu nenek bikin kue. Ah, lebih tepatnya hanya membantu mencetaknya. Tak sempat aku membantu membuat adonannya, sebab saat itu, aku sedang sibuk ber-facebook-an ria.
"Untuk dibawa ke masjid," katanya. Nenek masih seperti dulu, suka membawa makanan ke masjid. Suka membuat kue untuk orang lain. Tapi Kek, cucumu ini memang benar-benar tak bisa membuat kue, cetakan satu sampai tiga tak tertolong. Gosong. Hitam. Pahit. Haha. Nenek tak marah, malah tertawa. Aku pun ikut tertawa. Setelah itu, aku masih mencetaknya, tak peduli bentuknya, yang penting rasanya.
Sambil mencetak, aku bercerita pada nenek, menanyakan sesuatu. "Bagaimana bila niat baik kita kepada seseorang tak mendapatkan timbal balik yang setimpal dari orang tersebut?" sebuah pertanyaan yang jawabannya sudah pernah aku nasehatkan pada seseorang, tapi aku sekarang merasakannya Kek. "Kamu masih punya Tuhan kan? Kenapa balasannya tak minta dari-Nya saja?" jawaban nenek masih seperti dulu. kaku. Tak puitis apalagi romantis. tapi selalu mengena di hati. Ah iya, niat baik kita pada seseorang memang tak selalu berbanding lurus dengan timbal balik darinya. Itu kalimat yang sering aku ucapkan pada seseorang dan setiap orang. Sekarang Kek, rasanya memang sulit, tapi aku yakin bisa Kek, menerima dengan lapang dada setiap hal buruk yang mereka lontarkan kepadaku. Seseorang yang pernah aku tolong ingin memperburuk citraku, Kek. Tak apa. Sungguh. Aku tak pernah peduli itu. Ya, Tuhan takkan pernah tidur.
Kakek,
Setelah mencetak kue, lalu membungkusnya. Aku iseng-iseng bertanya pada Nenek tentang perasaannya pada Kakek. Aku hanya menggoda. Tapi, Nenek malah terdiam. Nenek terkadang juga bahkan mungkin setiap detik sangat merindukan Kakek. Apa Kakek tak rindu pada nenek? Ah, kisah cinta sepanjang masa, pikirku. Terlalu manis. Sudah hampir 50 tahun, tapi nenek masih menyimpan rasa cinta yang sama pada Kakek. Semoga Kakek juga begitu. Ya, meski tanpa raga. Andai saja, Kakek masih bersama kami, sekarang ini pasti kami sudah sibuk menyiapkan perayaan ulang tahun emas Kakek dan Nenek. Romantis.
Kek, cucumu sekarang sudah ada 6 ekor. hehe. Ini buah cinta dari Kakek dan Nenek. Kami besar dengan cerita-cerita hebat tentang Kakek dan belaian lembut dari Nenek. Dua kombinasi yang sungguh hebat. Nenek sering bercerita tentang kehebatan Kakek. Aku senang mendengarnya dan menunggu cerita-cerita selanjutnya. Ada tawa. Ada haru. Ada canda. Ada tangis.
Kakek,
Sepertinya, surat pertamaku ini sudah cukup, aku hanya ingin bercerita itu saja. Tak perlu panjang lebar dulu. Aku takut Kakek terlalu lelah membaca tulisanku. Nanti, aku akan berkirim kabar lagi jika Tuhan mengizinkan. Ya, semoga surat ini bisa sampai walaupun Kakek di surga. Nanti, akan aku titipkan saja pada merpati yang biasa hinggap di pohon depan rumah sebab Pak Pos tidak tahu di mana alamat surga. Kakek, aku sangat merindukan Kakek. Apakah Kakek juga merindukanku?
*Di sebuah ruang tanpa batas, 21.17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar