Beberapa tahun terakhir ini, saya jarang sekali, bahkan hampir tidak pernah, dan pada akhirnya memutuskan untuk tidak mengikuti perkembangan berita dengan saksama, baik dari surat kabar cetak, surat kabar elektronik, terlebih televisi. Saya hanya cukup tahu apa yang terjadi, tanpa harus memiliki niat untuk mengikuti perkembangannya secara mendalam. Meskipun demikian, saya masih saja kebanjiran informasi dari linimasa jejaring sosial yang berasal dari unggahan teman-teman saya.
Mengapa saya memutusukan untuk tidak lagi membaca koran dan menonton televisi? Saya hanya ingin bahagia. Itu saja. Begini, setiap kali mencoba mengikuti berita, saya selalu saja menarik napas panjang-panjang, adakah berita yang tidak lebih buruk dari ini? Barangkali memang benar bahwa a bad news is a good news. Tapi, apakah dengan mengunggah foto korban yang berdarah-darah juga termasuk sebuah kebaikan bagi sebuah media?
Saya masih bisa sedikit memaklumi ketika berita hanya berisi perspektif dari para jurnalis atau penulisnya sebab saya percaya bahwa segala sesuatu yang didengar adalah opini, bukan fakta, dan segala sesuatu yang dilihat adalah perspektif, bukan kebenaran. Termasuk tulisan ini, termasuk nukilan--yang entah dari siapa--itu. Dan, mungkin memang perspektif saya berbeda dengan perspektif para jurnalis tersebut sehingga saya tidak terlalu setuju dengan segala hal yang dikemukakannya.
Namun, saya masih percaya, jurnalis yang memang benar-benar memahami dan menerapkan kode etik, tidak akan pernah melanggar segala sesuatu yang sudah tertera di dalam kode etik. Akan tetapi, permasalahan tidak berhenti pada itu saja. Perkembangan arus teknologi dan informasi memungkinkan setiap orang memiliki "media" secara pribadi, yang dikelola secara mandiri dan dikonsumsi oleh orang-orang dalam lingkarannya. Katakanlah, jejaring sosial. Setiap orang pasti punya seminimalnya satu akun yang bebas diisi dengan apa pun.
Media yang dikelola oleh satu orang saja sudah cukup membentuk sebuah "kebenaran", terlebih media yang dikelola oleh jutaan netizen. Media punya andil besar dalam menggiring opini massa. Tentu saja. Itu sudah dibahas berabad-abad tahun yang lalu oleh para ahli media. Bahwa media adalah tangan kapitalis, bahwa media adalah kapital paling berpengaruh pada abad ini. Semacam bahasan yang sudah basi. Percuma saja grandtheory itu digaung-gaungkan kalau masih saja keenakan menerima suapan dari media. Lantas, bagaimana? Barangkali tidak terlalu menyalahkan media adalah salah satu jalan untuk menghentikan informasi yang tidak pada tempatnya. Memulai membatasi diri dari informasi-informasi yang takperlu mungkin bisa sedikit membahagiakan dan membantu agar kebodohan tidak terlalu cepat meluas.
Misalnya saja, satu hari yang lalu, Masjidil Haram tertimpa alat berat, banyak orang luka-luka, bahkan meninggal. Seharusnya, informasi sudah sangat cukup pada hal-hal yang mencakup 5W+1H. Tidak perlu ada foto korban yang berdarah-darah yang dibagikan di setiap akun jejaring sosial, lantas yang melihat kemudian ikut membagikan foto-foto itu. Terlebih, akun-akun yang membagikan foto-foto tersebut adalah akun-akun semacam Golongan Darah, Berdakwah, Dagelan, atau sejenis itu yang entah siapa administratornya dan entah bagaimana cara mendapatkan berita tersebut.
Lalu, setiap orang dengan tidak merasa berdosa mengeklik tombol like atau share, yang otomatis akan turut serta menyebarluaskan berita tersebut dengan alibi turut berempati. Terlebih berita yang entah dari mana datangnya itu disebarkan secara personal melalui aplikasi pesan. Oh, tolong. Empati atau apa pun itulah namanya bukan dengan hanya menge-like atau menge-share sesuatu yang diposting oleh akun-akun yang entah apa dan entah siapa itu. Tolong, menjadi cerdas tidak perlu sekolah setinggi langit, kok.
Saya memang sedikit emosional kali ini. Orang tua saya sedang berada di Makkah ketika kejadian. Sungguh saya tidak tahu-menahu perihal jatuhnya alat berat sampai ketika banyak pesan yang masuk menanyakan kabar orang tua saya kepada saya. Saya yakin orang tua saya baik-baik saja, tetapi menjadi miris ketika foto-foto jamaah haji yang terluka disebarluaskan tanpa ada pertanggungjawaban. Saya membayangkan saja, bagaimana jika yang terekam dalam foto itu adalah orang tua saya, tentu saja kesedihan saya akan berkali lipat.
Sebenarnya, sudah sejak lama saya ingin menulis tentang permohonan dengan sungguh-sungguh untuk tidak menyebarluaskan foto korban apa pun, baik foto dengan blur terlebih foto yang tampak jelas. Barangkali itu adalah salah satu empati yang bisa dilakukan--selain doa--ketika tangan taksanggup terulur untuk membantu korban maupun keluarga korban. Sekian.