"Aku sudah di stasiun," katamu dalam sebuah pesan singkat. Diam-diam saya berdebar, kereta yang saya yakin kecepatannya takpernah berubah itu rasanya melambat. Perjalanan Solo--Jogjakarta yang hanya tertempuh waktu 50 menit itu semacam melambat menjadi 12 jam. Diam-diam saya merindukan kamu, merindukan kita.
Apa yang tersisa dari sebuah rindu, selain pertemuan? Saya pun takpernah tahu. Itu kali pertama kita bertemu kembali setelah malam-malam panjang yang hanya berisikan saya dan kamu, bukan kita. Pertemuan tanpa rencana yang akhirnya menyeret kembali segala debar yang sesungguhnya takpernah hilang itu.
Kereta berhenti tepat di stasiun pertama kali saya mengenalmu. Semacam cerita picisan memang, tapi begitulah nyatanya. Saya melihat kamu di sudut yang sama dengan pertemuan-pertemuan kita yang lalu, berdiri menunggu. Menghampirimu kala itu bukan perkara mudah. Ada hati yang diam-diam sedang ditata baik-baik agar takterlihat terlalu berantakan di matamu.
"Hai," sapamu mengawali pertemuan kala itu. Saya hanya menjawab sekadarnya, bukan taksenang, hanya terlampau bahagia. Saya takmau kamu melihat kebahagiaan itu atas alasan harga diri yang entah berapa harganya itu.
Selanjutnya, kamu berbicara tentang jadwal makan saya yang berantakan karena belum makan seharian, mengomeli saya karena terlalu lelah, dan hal-hal tentang saya yang masih kamu ingat dengan jelas. Dalam hati, saya bersorak. Kamu sama sekali takberubah, pun matamu yang membuat saya jatuh cinta berkali-kali itu.
Pertemuan yang takdirencanakan itu terasa sangat sebentar. Waktu terlalu cepat ketika ada kamu, saya kira. Sebuah pelukan yang lebih lama dari biasanya menjadi sebuah penanda bahwa akan ada pertemuan-pertemuan setelahnya. Kala itu, saya takberpikir banyak. Saya sudah terlampau bahagia ketika akhirnya bisa berbicara denganmu lagi setelah penantian panjang.
Adakah yang lebih dahsyat dari sebuah rindu, selain pertemuan (kembali)?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar