Gambar diambil dari sini.
Apa yang tersisa dari penghujung bulan Juni selain gerimis yang hanya ada dalam tulisan penyair tua favoritmu itu? Gerimis yang tidak akan pernah datang. Jikalau memang datang, ia menjelma sebagai sebuah ketabahan, lalu menguap begitu saja dimakan waktu.
Terbuat dari apakah waktu? Apa pun itu. Saya rasa, waktu adalah hal yang paling rakus yang pernah Tuhan ciptakan. Ia suka menghabiskan hal-hal yang belum selesai sehingga selamanya takkan pernah selesai. Ia juga suka bersijingkat mencuri-curi segala tenggat yang terlewat begitu saja. Atau, diam-diam ia seringkali mengubah segala sesuatunya menjadi abu.
Saya takbisa mengeluh lagi tentang waktu yang takpernah tahu malu itu. Saya hanya bisa mengikutinya, kadang harus berlari atau berjalan sangat pelan. Agar segala sesuatu yang saya usahakan tidak pernah usang dimakan waktu.
Pun waktu yang tetiba membuat segalanya menjadi sendu. Pada selepas senja tadi. Pada jalanan kecil yang setiap kali saya lewati. Sudah hampir enam tahun, saya menempati kota ini. Kota yang pun dengan tetiba menjadi tempat pulang saya yang kesekian. Pada selepas senja tadi, temaram di langit dan jalanan kecil itu menjadi lebih syahdu. Seolah nantinya saya akan sangat merindukan hal-hal itu di luar sana. Di kota lain yang saya pun masih taktahu.
Segala sesuatunya hampir selesai pada hari ini meskipun sesungguhnya saya tahu segala sesuatunya hampir dimulai dari hari ini. Hari-hari setelah ini, saya harus segera memutuskan apakah tetap tinggal di kota ini atau pergi. Segalanya berubah menjadi dilematis karena jauh lebih rumit daripada sekadar pertanyaan "Akan memakai baju apa saya hari ini?" yang sering saya pertanyakan menjelang mandi pagi.
Dan, untuk kali ini, kali ini saja, saya harus menggantungkan pertanyaan itu kepada waktu. Sebab, takpernah ada yang tahu ke mana kaki melangkah setelah ini, selain waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar