Apa yang lebih menyedihkan daripada dua orang yang saling mencintai, tetapi takpernah bisa bersatu hanya karena rumah ibadah yang berbeda? Kukira kesedihan kita jauh melampaui itu.
Entahlah. Apa yang sedang ada di pikiran Tuhan ketika mempertemukan kita, lalu membuat kita jatuh cinta, dan perasaan itu entah sampai berapa lama bertumbuh. Tuhan memang senang bercanda, bukan? Tiba-tiba aku harus datang ke kotamu untuk menyelesaikan pekerjaan yang entah-apa, sedangkan kamu memang tinggal di sana. Sebagaimana FTV, kisah kita sudah tertebak setelah itu.
Dulu, dulu sekali, aku pernah berkata pada seseorang, “Ya, buat apa dipertahankan. Beda agama, apalagi LDR. Tidak ada yang perlu diperjuangkan!” kataku lantang pada waktu itu ketika ia bertanya pendapatku tentang temanku yang sedang menjalani hubungan beda agama meskipun mereka satu kota.
Lalu kita? Aku suka diam-diam tertawa, menertawakan kekonyolan yang sedang terjadi. Kotamu jauh di timur, di Pulau Komodo, yang dulu hanya bisa kubaca di cerita pendek penulis favoritku itu. Sementara kotaku masih tetap di sini, kota yang katanya metropolitan dan masih saja penuh dengan ingar-bingar.
Aku masih rajin bangun tengah malam untuk bersujud ketika kamu juga rajin pergi memimpin doa. Entah mengapa, selalu saja ada sedikit sesak ketika aku melihat Rosario yang sering kau kalungkan di leher itu. “Aku ke gereja dulu, ya,” katamu selalu. Tiap kali aku menatapmu yang sudah berpakaian rapi. Aku hanya bisa mengangguk.
"Kenapa kamu nggak ikut aku aja, sih? Lalu kita menikah, dan aku mau tinggal di mana pun, termasuk di kotamu. Aku bisa mengajar di mana saja," kataku suatu waktu. "Nanti kalau aku ikut kamu, kamu akan mudah meninggalkanku jika aku sedang dalam kondisi terpuruk," katamu kemudian. Aku diam-diam menarik napas.
Seharusnya kamu tahu, aku tidak pernah menjadi pihak yang meninggalkan dalam sebuah komitmen. Menjadi pihak yang pernah ditinggalkan—berkali-kali oleh orang yang sama—mengajarkanku banyak hal. Bahwa aku pun seharusnya tidak menorehkan luka yang sama, terlebih kepadamu.
Atau memang barangkali kita takperlu lagi mempermasalahkan, siapa ikut siapa. Sebab, jarak yang harus ditempuh terlalu jauh. Sebab dinding terlalu tinggi. Dan, sebab kita sedang berbatas jutaan tahun cahaya. Barangkali juga, seharusnya kita tidak perlu lagi saling mengingat. Membatasi diri untuk hal-hal yang akhirnya akan berakhir pada kesepian.
Lantas, apa yang sedang kita pertahankan? Atau barangkali yang sedang kita perjuangkan dari setiap panggilan dan pesan yang masih kita jaga sampai hari ini? Barangkali jawabannya sedang tertinggal di jutaan bintang yang berhamburan di langit kotamu itu.
Entahlah. Apa yang sedang ada di pikiran Tuhan ketika mempertemukan kita, lalu membuat kita jatuh cinta, dan perasaan itu entah sampai berapa lama bertumbuh. Tuhan memang senang bercanda, bukan? Tiba-tiba aku harus datang ke kotamu untuk menyelesaikan pekerjaan yang entah-apa, sedangkan kamu memang tinggal di sana. Sebagaimana FTV, kisah kita sudah tertebak setelah itu.
Dulu, dulu sekali, aku pernah berkata pada seseorang, “Ya, buat apa dipertahankan. Beda agama, apalagi LDR. Tidak ada yang perlu diperjuangkan!” kataku lantang pada waktu itu ketika ia bertanya pendapatku tentang temanku yang sedang menjalani hubungan beda agama meskipun mereka satu kota.
Lalu kita? Aku suka diam-diam tertawa, menertawakan kekonyolan yang sedang terjadi. Kotamu jauh di timur, di Pulau Komodo, yang dulu hanya bisa kubaca di cerita pendek penulis favoritku itu. Sementara kotaku masih tetap di sini, kota yang katanya metropolitan dan masih saja penuh dengan ingar-bingar.
Aku masih rajin bangun tengah malam untuk bersujud ketika kamu juga rajin pergi memimpin doa. Entah mengapa, selalu saja ada sedikit sesak ketika aku melihat Rosario yang sering kau kalungkan di leher itu. “Aku ke gereja dulu, ya,” katamu selalu. Tiap kali aku menatapmu yang sudah berpakaian rapi. Aku hanya bisa mengangguk.
"Kenapa kamu nggak ikut aku aja, sih? Lalu kita menikah, dan aku mau tinggal di mana pun, termasuk di kotamu. Aku bisa mengajar di mana saja," kataku suatu waktu. "Nanti kalau aku ikut kamu, kamu akan mudah meninggalkanku jika aku sedang dalam kondisi terpuruk," katamu kemudian. Aku diam-diam menarik napas.
Seharusnya kamu tahu, aku tidak pernah menjadi pihak yang meninggalkan dalam sebuah komitmen. Menjadi pihak yang pernah ditinggalkan—berkali-kali oleh orang yang sama—mengajarkanku banyak hal. Bahwa aku pun seharusnya tidak menorehkan luka yang sama, terlebih kepadamu.
Atau memang barangkali kita takperlu lagi mempermasalahkan, siapa ikut siapa. Sebab, jarak yang harus ditempuh terlalu jauh. Sebab dinding terlalu tinggi. Dan, sebab kita sedang berbatas jutaan tahun cahaya. Barangkali juga, seharusnya kita tidak perlu lagi saling mengingat. Membatasi diri untuk hal-hal yang akhirnya akan berakhir pada kesepian.
Lantas, apa yang sedang kita pertahankan? Atau barangkali yang sedang kita perjuangkan dari setiap panggilan dan pesan yang masih kita jaga sampai hari ini? Barangkali jawabannya sedang tertinggal di jutaan bintang yang berhamburan di langit kotamu itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar