Warna. Warna-warni. Setiap yang oranye, paling tidak, harus berpasangan dengan yang serupa oranye. Senada, katanya. Tak bolehkah yang oranye berpasangan dengan yang hijau atau biru?
Kalau itu takboleh, betapa kasihan si warna. Oranye hanya bersama (serupa) oranye!
Paling tidak, itulah yang saya lihat di pusat perbelanjaan hari ini. Tas warna oranye dipadupadankan dengan sepatu dan dompet oranye. Begitu halnya dengan warna merah, biru, ungu, dan lainnya.
Kemudian, tante saya ribut. Dia ingin membeli tas oranye tersebut, namun bingung harus dipasangkan dengan baju warna apa. Masalahnya, dia hanya punya sedikit baju yang bernada oranye. Pada akhirnya, tas tersebut tak jadi terbeli. Hanya karena taktahu harus memakai baju apa.
Entahlah. Hal-hal seperti ini siapa yang mengonstruksikan. Siapa yang memulai.
Jika menanyakan hal ini, nantinya, akan sama dengan permainan telur dan ayam. Siapa yang duluan? Takada yang mengaku!
Pusat perbelanjaan tidak akan mengonstruksikan pola dan warna senada untuk setiap produk yang mereka tawarkan jika takada konsumen yang meminta. Sementara itu, pola pikir konsumen juga tidak akan terbentuk jika takada pola dari produsen. Masalah ini sederhana. Hanya saja, banyak yang enggan peduli.
Masalah warna dalam berpenampilan. Ya itu saja. Dari sini. dapat terlihat adanya konstruksi sosial yang lekat. Streotip masyarakat yang kuat bahwa yang tidak senada akan terasing!
Pada dasarnya, manusia membutuhkan komunitas untuk mengakui keberadaannya. Menjadi bagian dari kerumunan. Akan merasa termarginalisasi jika tidak mengikuti perkembangan zaman. Boleh juga disebut sebagai budaya populer untuk fenomena semacam ini. Dalam budaya populer, penyeragaman cita rasa pada masyarakat itu menjadi unsur yang penting.
Warna dalam penampilan pun dapat menjadi identitas seseorang. Ada semacam peraturan taktertulis dalam diri setiap penikmat warna. Keberpikiran seperti ini takelak dimanfaatkan dengan sangat baik oleh pemilik modal. Produk diciptakan dengan asas keterserasian. Belum afdol jika memakai tas warna ungu tanpa sepatu warna ungu juga. Mungkin itu paradigma yang digembar-gemborkan secara diam-diam dan menyelinap. Display pada manekin dan etalase toko semakin menguatkan ideologi itu. Masyarakat berebut di depan kasir untuk memuaskan keinginan yang sebenarnya takpernah cukup. Merasa sangat puas jika bisa membeli tas dan sepatu yang sepaket dengan harga selangit. Kemudian dengan bangga memakainya ketika bertemu dengan orang lain. Dengan begitu, mereka dapat dianggap bagian dari sebuah komunitas yang takdisadari: budaya populer.
Warna adalah konsep. Realitasnya berupa ungu, hijau, oranye, dan sebagainya. Klasifikasi warna yang mengatur adalah manusia menurut budaya masing-masing. Lantas, mengapa masih meributkan warna yang taksenada dalam sebuah penampilan? Padahal, boleh saja kau memakai warna sesukamu di satu waktu! Bukan berarti kau bukan bagian dari komunitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar