Saya selalu senang melakukan perjalanan pada malam hari. Ada banyak hal yang takterlihat pada siang hari akan tampak pada malam hari. Ah, ini bukan cerita seram.
"Kamu kalau pulang jangan malam-malam!" nasihat Oma saya setiap kali saya akan pulang ke Bandung. Saya diam. Tidak menolak ataupun mengiyakan. Masalahnya, hari terakhir sebelum akhir pekan yang panjang, urusan saya di kota ini baru selesai menjelang senja. Saya hanya bisa naik bus dari terminal pukul enam. Itu mungkin bus yang terakhir.
Kemarin, akhirnya saya pun pulang. Setelah melalui perdebatan panjang dalam diri saya. Antara urusan di kota ini yang takpernah selesai atau meluangkan sedikit waktu untuk bisa memeluk Oma, Tante, Om, dan dua adik sepupu saya. Untunglah, saya memilih pilihan yang kedua.
Perjalanan yang menyenangkan meskipun terlalu dingin. Saya suka duduk di samping jendela. Menatap keluar. Tidak memasang headset. Membaca buku. Melihat pengamen-pengamen kecil di lampu merah-kuning-hijau. Menatap nanar pada kakek atau nenek yang masih belum istirahat di usianya yang senja.
Melihat mereka. Mengingat negeri ini. Banyak protes di sana sini. Menolak kebijakan itu ini. Miris.
Banyak ketimpangan. Sang pemilik modal tetaplah pada posisinya yang aman. Sang proletar juga harus tetap menerima nasibnya. Lantas, bagaimana dengan kelas menengah? Kelas setengah-setengah. Yang takbisa dianggap pemilik modal juga takpantas dianggap proletar? Saya kira, kelas menengah akan terombang-ambing. Mencoba dengan keras meraih "gaya hidup" yang di atas sebab takmau dicap kelas bawah. Dilematis.
Perjalanan malam selalu mengingatkan saya pada hal-hal yang takterduga. Seperti kali ini, saya teringat pada Marx yang membagi dunia atas dua kelas: borjuis dan proletar. Sementara kelompok menengah yang sulit teridentifikasi takpernah dipikirkan oleh Marx.
Ada kesenjangan di sini. Saya selalu kasihan pada orang-orang yang di pinggir jalan itu, pada sopir angkot, pedagang asongan, mungkin juga pada makelar penumpang. Bagaimana jika mereka tak mendapatkan cukup uang untuk mencukupi kebutuhan anak istri mereka di rumah.
Kadang, di tengah keterbatasan mereka, masih ada senyum yang tulus. Ya. Bahagia memang sederhana. Kemarin, saya sempat melihat sepasang kakek nenek yang bergandengan di trotoar. Berjalan. Berdua saja. Saling menopang tubuh ringkih masing-masing. Membuat iri. Termasuk saya. Mereka bahagia. Bahkan dengan cara yang sangat sederhana.
Setiap kali ke Bandung, saya tidak pernah absen pergi ke pusat perbelanjaan. Sekadar jalan-jalan atau memang ada urusan. Jujur saja, saya tidak begitu tertarik pergi ke arena modern ini. Hanya saja, saya menikmati kebersamaan saya dengan tante dan kedua adik [sepupu] saya. Saya bisa ngobrol atau sekadar menggandeng tangan mereka. Itu hal yang takbisa ditukar dengan apa pun. Termasuk kemewahan yang ada di pusat perbelanjaan. Setiap kali tante saya memilih dan memilah produk, saya hanya menungguinya. Mengajak ngobrol tante atau duduk jika memungkinkan. Melihat-lihat pengunjung lain. Mencatat apa pun yang dapat disimpan.
Banyak yang datang dan pergi di setiap gerai. Masing-masing membawa gayanya. Setiap orang berusaha berpenampilan sangat menarik--paling tidak menurut dia.
Mungkin, mereka termasuk kelas menengah. Yang takpernah mau disebut ketinggalan zamam. Sepertinya, gadget terbaru selalu ada dalam genggaman mereka. Berjalan tanpa mendongak karena (mungkin) sibuk membuat livetweet tentang perjalanannya ke mall. Atau sedang check-ini di foursquare.
Entahlah. Itu hanya sekilas pemikiran liar saya. Boleh setuju boleh tidak.
Sudah saya bilang. Perjalanan malam selalu membuat saya semakin meracau. Melamun ke mana-mana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar