Dear adik-adikku,
Apa kabarmu? Semoga baik, sebaik kabarku ketika menulis surat ini. Kemarin aku sempat melihatmu. Di dalam angkot. Bercerita banyak. Bersenda gurau. Aku senang melihatmu tertawa. Aku juga senang melihatmu bahagia di remajamu.
Dear adik-adikku,
Maafkan aku yang tiba-tiba lancang menulis surat padamu. Kita mungkin takpernah kenal sebelumnya. Tapi, aku sudah menganggapmu sebagai adik. Adik yang harus aku lindungi—meski kita takpernah sedarah. Adikku, Perempuan itu terlihat lebih cantik tanpa make up. Sederhana. Murni. Berapa usiamu sekarang? Mungkin 7 atau 8 tahun di bawahku. Tapi lihatlah, pipimu sudah merona. Mata aslimu merana. Bibirmu memerah.
Aku takmenemukan lagi kejernihan dan keluguan gadis-gadis kecil yang berusia belasan. Berbagai merk kosmetik mungkin sudah kaupakai untuk memoles wajah polosmu.
“Biar terlihat lebih dewasa dan cantik!” katamu jujur.
Adikku, dewasa itu pilihan. Kau bisa memilih menjadi dewasa, tanpa harus memoles wajahmu. Kau juga bisa menjadi cantik tanpa peralatan itu. Kau mau tahu cantik itu apa? Pegang dadamu Adikku. Cantik itu di dalam sana. Di dalam kemurnian hatimu. Itu kecantikan terindah yang dimiliki perempuan. Bukan wajah yang penuh polesan. Kau percaya itu, bukan?
Dear adik-adikku,
Menjadi seorang perempuan adalah anugerah Tuhan yang takterkira. Aku dan kamu. Perempuan. Aku takmau cara berpikirmu mengikuti stereotip masyarakat: make up membuat perempuan cantik. Lantas, kau berlomba-lomba memoles wajahmu sedemikian. Tapi, kau lupa merias hatimu dengan sejuta kebaikan. Bukan itu, Adikku. Bukan itu yang disebut cantik.
Adikku, cantik itu ada dalam kebaikanmu. Kebaikanmu menghargai dirimu sebagai perempuan. Kebaikanmu menghormati orang lain. Kebaikanmu bersyukur pada Tuhan. Dan kebaikanmu memperbaiki hatimu.
“Bagaimana jika tak ada cowok yang suka padaku kalau aku tak memoles wajahku?” (mungkin) inilah pertanyaan yang muncul di kepalamu.
Adikku, laki-laki yang baik adalah laki-laki yang mencari kebaikan hatimu. Bukan lelaki yang menerimamu karena seberapa tebal make up-mu. Maafkan aku. Aku sama sekali takmelarang perempuan merias diri. Hanya saja, aku terlalu sayang padamu. Usiamu masih belasan. Belum waktunya kau mengenal peralatan itu. Kau bisa mengerti kekhawatiranku, bukan?
Percayalah. Perempuan itu cantik dari hatinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar