Hurip iku Hurup
Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.
Jumat, 26 Agustus 2011
Sangat Cinta Sapardi Djoko Damono!
Sudah lama saya tidak menulis. Lama sekali. Mungkin sebelum lebaran tahun lalu. Sekarang hampir lebaran lagi. Ada kerinduan. Ada gejolak tertahan. Dulu. Saya suka sekali menulis puisi. Masa-masa labil. Sekarang pun saya masih sangat menikmati puisi. Hanya menikmati. Tak lagi bisa menulis puisi seperti dulu. Sepertinya, puisi-puisi saya sekarang tak bernyawa. Tak pernah hidup.
Ya, tentu saja beda sekali dengan puisi-puisinya maestro. Sapardi Djoko Damono, misalnya. Dari saya mengenal puisi hingga saya menjadi puisi, saya masih sangat mengagumi puisi-puisinya Sapardi. Yang mana pun. Yang dalam kumpulan apa pun.
Saya beruntung. Saya kebetulan bisa berkuliah di jurusan Sastra Indonesia Universitas Indonesia. Ya. Itu adalah rumah bernaung Sapardi Djoko Damono. Saya cinta dia! Ah.
Beberapa kali saya bertemu dengan beliau, dari sekadar lewat lalu saya memandanginya hingga punggungnya menghilang, sampai saya duduk di depannya untuk menyaksikannya membaca puisinya. Romantis sepertinya. Haha.
Kalau saja. Ya. Kalau saja. Sapardi masih seumuran saya. Saya tidak akan mampu menolak untuk menjadi kekasihnya. Aduh, saya mulai ngelantur.
Suatu ketika, saya harus tertegun, ketika beliau ngomong bahwa sampai sekarang beliau belum menikah. Ah, penyair. Entah. Usianya mungkin lebih dari 70 tahun. Kekasihnya beda agama. Masing-masing dari mereka masih sangat mencintai Tuhannya. Tak ada yang mengalah, sepertinya.
Miris.
Beberapa waktu lalu, saya kembali bertemu dengan beliau dalam acara Renungan Malam Kemerdekaan yang diadakan oleh Rektor Universitas Indonesia. Acaranya romantis dan eksotis. Bertempat di audit perpustakaan pusat UI, di depan danau dan rektorat. Ada banyak lilin sebab acaranya tengah malam. Sapardi membacakan sajaknya yang berjudul "Kemerdekaan". Benar-benar bagus, seperti biasanya. Analogi yang digunakannya sungguh takterpikirkan oleh otak saya.
Ah, kalau ada yang tanya, puisi Sapardi yang paling saya suka apa. Saya bingung harus menjawab apa. Sebab, hampir semua puisinya saya suka. Tapi, ada satu puisi yang sering membuat saya menarik napas, yaitu "Sajak Kecil tentang Cinta".
Mencintai angin harus menjadi siut
Mencintai air harus menjadi ricik
Mencintai gunung harus menjadi terjal
Mencintai api harus menjadi jilat
Mencintai cakrawala harus menebas jarak
Mencintaimu harus menjelma aku
Ya, itulah liriknya. Sederhana. Hanya saja ada konsep yang ditawarkan oleh Sapardi. Mencintai adalah meleburnya dua menjadi satu. Angin dan siut, air dan ricik, gunung dan terjal, api dan jilat, cakrawala dan jarak adalah dua hal yang takpernah terpisah. Manunggal. Satu. Saya jadi teringat konsep "Manunggaling Kawula Gusti" atau bersatunya hamba dengan Tuhannya. Begitulah kira-kira yang ingin disampaikan oleh Sapardi. Mencintai sesuatu berarti harus siap menjadi seperti sesuatu tersebut.
Ah, yang membuat saya sedikit merinding itu adalah lirik "Mencintaimu harus menjelma aku". Saya suka kalimat ini. Suka sekali. Ya. Jika saya mencintai seseorang, saya sudah merasa bahwa diri saya adalah bagian daripadanya. Saya dan dia adalah satu hal yang menjadi dua hal. Sehingga, saya cukup menjelma menjadi "aku" untuk dapat menyatu kembali dengannya.
Ah, romantis.
*gambar dari google.co.id
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar