Hurip iku Hurup
Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.
Senin, 22 Agustus 2011
Rummikub
Kita melingkar. Berempat. Di meja makan. Aku. Kau. Kamu. Dan Engkau. Kita cepat-cepat menyelesaikan makan malam agar cepat-cepat pula memainkan permainan.
Dulu aku selalu mengelak memainkan ini. Otakku pusing. Alasanku saat itu. Tapi Kau selalu memaksa. Aku mengalah. Dengan sigap, Kamu membalikkan buah-buah Rummikub agar tertutup. Aku sedikit membantumu. Permainan dimulai. Seperti biasa. Tujuh buah untukku. Tujuh buah untuk Kau. Tujuh buah untuk Kamu. Dan tujuh buah untuk Engkau. Kujejerkan buahku di papan penyangganya. Aku merengut. Angka-angka yang tertera di buahku tak berkompromi kali ini. Kulihat Kau biasa saja. Itu ekspresi yang rutin Kau tampakkan. Lalu kutatap raut mukamu. Tersenyum getir. Ah, mungkin itu kepura-puraanmu saja. Sementara Engkau? Sudah sedikit menggebrak-gebrak meja. Kutahu. Angkamu bukan maumu.
Kau selalu memulai permainan. Lalu kamu. Engkau. Dan terakhir aku. Angkaku belum juga pantas keluar. Sementara kalian sudah mencapai angka 30. Buahku semakin berkembang biak. Aku menahan napas. Buahmu tinggal beberapa, mungkin.
Akhirnya, angkaku mencapai 30 juga. 10 merah, 10 jingga, dan 10 biru. Kombinasi yang romantis.
Permainan semakin gerah. Kau selalu mendominasi permainan ini. Memakan waktu lama-lama untuk giliranmu. Untuk mengombinasikan angka-angka di meja agar angka punyamu habis.
Aku santai-santai saja. Meskipun takpernah tahu apa yang terjadi dengan angkaku selanjutnya.
Ah, jika bermain seperti ini. Aku teringat hidup.
"Apa hubungannya?" Engkau ikut campur dengan pikiranku.
Bermain Rummikub itu seperti hidup. Angka-angka yang kita pilih itu garis takdir kita. Kita asal memilih. Takpernah tahu berapa angka yang kita terima.
"Ah, ngaco!" Kau tiba-tiba datang menyusup di teoriku.
Buktikan saja. Kita takbisa menolak atau mengembalikan angka-angka itu ke tempat semula. Sama seperti takdir kita. Kita memilih menang atau kalah dengan angka yang ada. Semua tergantung kecerdasan kita mengombinasikan angka-angka kita dengan angka-angka lawan kita.
"Dasar bodoh! Ini hanya permainan!" Kamu mencercaku. Padahal Kamu yang mengenalkan permainan ini padaku. Katamu, ini dari negeri Kincir Angin. Aku percaya saja.
Permainan kadang-kadang terinspirasi dari hidup. Atau hidup yang terinspirasi dari permainan? Retoris!
Angka-angka itu akan tetap menjadi angka yang takberguna jika kita terlalu bodoh mengakalinya. Lawan pun taksepenuhnya membahayakan. Kadangkala, kita membutuhkan joker darinya untuk menyelamatkan angka kita. Menyelamatkan hidup kita dari kekalahan yang memalukan.
Kalah. Menang. Kalah. Hidup. Hidup. Mati. Hidup. Mati. Sungguh. Itu semua pilihan. Pilihan yang kadang kita takbisa memilih. Aku takpernah memilih hidup. Begitu juga aku takpernah memilih mati. Tapi itu pasti. Aku hidup. Aku pasti akan mati. Aku mati. Aku pasti tak akan hidup.
"Tik.. tik.. Rummikub!" teriakmu memecah keheningan. Itu kalimat wajib diucapkan ketika angka-angka di papan penyangga kita telah habis. Entah. Itu aturan internasional ataukah hanya aturan kita? Aku takpernah bertanya padamu.
Aku terbengong. Kalah lagi. Sudah sekian putaran aku belum juga menjadi pemenang. Tak apa.
Kulihat angka di papan penyanggaku masih banyak. Mungkin lima buah. Tak ada yang cocok. Aku kalah telak. Kalian menang lagi.
Baiklah. Aku akan ke dapur. Membawakan kalian jus jambu merah dan setoples kacang tupai.
Aku meletakkan jus dan kacang tepat di atas meja makan. Aku menunggu kalian memakannya. Sebab aku kalah. Aku takboleh makan.
Bergeming. Tak ada suara. Kalian belum juga ada yang menuang jus jambu segar ataukah membuka tutup toples kacang tupai. Hening.
Tiba-tiba Engkau menangis. Memandang buah-buah Rummikub yang berserakan. Kau hanya menatap kosong ke arahku. Sementara Kamu berkali-kali menarik napas panjang.
Tak biasanya.
Ayoo, jus jambu merah dan kacang tupai sudah menunggu! Segera makan dan minum. Lalu, permainan dilanjutkan! Teriakku pada kalian.
Percuma, sepertinya.
Tak ada yang mendengarkanku.
Ayoolah, aku ingin bermain. rengekku pada kalian. Geming.
Kamu menggeleng. Lalu, kalian menangis.
Oh, Tuhan! Aku hanya ingin bermain Rummikub seperti biasanya. Umpatku pada Tuhan.
Seperti biasanya, Tuhan diam.
Kamu memandangku sekali lagi. Tapi tak memandang mataku. Hanya menatap lurus pada kursi yang kududuki.
"Sudahlah, dia tak akan kembali. Kereta senja tak pernah memulangkan penumpangnya!" Kau mengusap lembut punggungmu. Lantas, kamu mengusap lembut kursiku. Bukan aku!
Apa maksudmu? Teriakku.
Takpernah ada jawaban. Hingga nanti.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar