"Hati-hati, ya!" hanya itu pesannya. Seperti biasa. Tak banyak suara.
Aku mengangguk. Sekali lagi aku menciumi kedua pipinya bergantian. Tak ada air mata. Tak ada tangis. Tanpa ada kejadian dramatis. Semuanya biasa saja.
Nenekku orang hebat. Nenekku orang hebat.
Itu yang berkali-kali kutanamkan dalam otakku. Nenekku memang hebat. Masakannya lezat. Pelukannya hangat.
Kulambaikan tangan padanya. Pada tanteku. Pada sepupuku. Pada kota Bandung. Bandung mendung. Bandung dingin. Tapi ada hangat di pelukan nenekku.
"Hati-hati, ya!"
Itu pesan biasa. Terasa biasa saja.
Namun, saat nenekku mengucapkan itu, ada hal lain. Makna itu terasa dalam. Padahal, sebenarnya memang, makna klausa itu harus dalam. Tak sekadar ungkapan tanpa maksud. Tak sekadar klausa pemisah raga. Tak sekadar salam yang kehilangan jiwa.
Hati-hati
Sebuah bentuk reduplikasi dari kata hati.
Hati itu peka. Hati itu lembut. Hati itu perasaan. Jadi, kata hati-hati memiliki makna melakukan segala sesuatu dengan perasaan. dengan rasa. dengan lembut. Hah? Ngaco?
Biarlah. Tapi, inilah kenyataan. Klausa itu harusnya tak sekadar angin lalu. Harusnya, menjadi bagian dalam setiap langkah kita.
Yeah, hati-hati, ya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar