Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Minggu, 07 November 2010

Hati-Hati, Ya!

Sebuah pesan singkat diucapkan nenekku saat aku mencium pipinya. Kupeluk tubuh ringkihnya. Ada kehangatan. Ada kenyamanan. Rasanya, tak ingin aku berpisah dengannya. Tak bisa. Aku harus kembali ke kota yang katanya megapolitan ini. Aku harus mengulik-ulik lagi mimpiku. Mewujudkannya. Lalu mempersembahkan pada nenek.
"Hati-hati, ya!" hanya itu pesannya. Seperti biasa. Tak banyak suara.
Aku mengangguk. Sekali lagi aku menciumi kedua pipinya bergantian. Tak ada air mata. Tak ada tangis. Tanpa ada kejadian dramatis. Semuanya biasa saja.
Nenekku orang hebat. Nenekku orang hebat.
Itu yang berkali-kali kutanamkan dalam otakku. Nenekku memang hebat. Masakannya lezat. Pelukannya hangat.
Kulambaikan tangan padanya. Pada tanteku. Pada sepupuku. Pada kota Bandung. Bandung mendung. Bandung dingin. Tapi ada hangat di pelukan nenekku.

"Hati-hati, ya!"
Itu pesan biasa. Terasa biasa saja.
Namun, saat nenekku mengucapkan itu, ada hal lain. Makna itu terasa dalam. Padahal, sebenarnya memang, makna klausa itu harus dalam. Tak sekadar ungkapan tanpa maksud. Tak sekadar klausa pemisah raga. Tak sekadar salam yang kehilangan jiwa.
Hati-hati

Sebuah bentuk reduplikasi dari kata hati.
Hati itu peka. Hati itu lembut. Hati itu perasaan. Jadi, kata hati-hati memiliki makna melakukan segala sesuatu dengan perasaan. dengan rasa. dengan lembut. Hah? Ngaco?
Biarlah. Tapi, inilah kenyataan. Klausa itu harusnya tak sekadar angin lalu. Harusnya, menjadi bagian dalam setiap langkah kita.
Yeah, hati-hati, ya!

Tidak ada komentar: