Hurip iku Hurup
Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.
Sabtu, 21 November 2009
Cerita tentangku, tentangmu, dan tentangnya
Kawan, hari ini aku menulis tentang kita. Aku dan kalian. Aku menulis tentang sebuah masa yang tak kan pernah hilang dalam memori terakhir kita. Ingatan yang terlalu indah untuk dilupakan dan tak kan pernah pahit untuk dikenang.
Sebuah persahabatan. Seulas senyum. Sesungging tawa. Setetes air mata. Itulah hal yang sering kita lewati bersama, minimal untuk tiga tahun kebersamaan kita. Tak sedikit di antara kita yang merasa “tersesat” berada dalam sebuah kelas yang hanya diisi oleh 24 gelintir manusia. Merasa tak cocok dengan menyandang predikat kelas internasional. Sebab, kelas yang berawal dari Klazhea, Sepasi, hingga entahlah apa namanya hanyalah sebuah kelas yang berisi manusia-manusia dari negeri antah berantah yang mengidap penyakit sejenis authis, imbisil, bahkan polidaktil. Kita bangga menyandang gelar kebangsaan itu, sebab itulah yang menjadikan kita satu. Satu keluarga “penyakitan”.
Ingatkah Kau, Kawan?
Saat awalnya kita masuk dengan wajah-wajah yang terkesan asing, merasa minder dengan kemampuan sendiri sebab mengira semua orang yang berada di kelas kita adalah orang-orang hebat yang bisa mengalahkan kemampuan kita.
Kemudian kita saling berdebat, mempersalahkan formasi bangku, karena wali kelas kita bilang jika bangku kita saat itu mirip dengan orang naik bis. Kita saling usul, saling memberi formasi bangku yang ideal dalam ukuran kelas yang sangat minim. Akhirnya, untuk sementara kita bertahan dengan susunan “naik bis”. Empat pasang bangku di sisi kanan kiri, dan enam pasang bangku dibagi dua di tengah.
Masih ingat jugakah Kawan?
Pelajaran olahraga renang setiap hari Kamis. Pagi-pagi kita sudah berangkat dari rumah, siap menceburkan diri ke dalam air, meskipun air masih bersuhu rendah. Kembali ke sekolah dengan naik mobil Bu Dahlia, guru olaharaga tercinta kita. Aih, Bu Dahlia, kita sudah tak sempat lagi mencium punggung tangannya yang terakhir, tak sempat lagi untuk sekadar mengucapkan selamat tinggal atau mengucapkan kalimat ribuan terima kasih yang terakhir. Sekarang Kawan, sejenak saja kita menundukkan kepala untuk mendoakan beliau agar Tuhan membalas segala kebaikannya dan sejenak melupakan kekhilafannya.
Masih adakah dalam ingatanmu, kawan?
Ulangan fisika pertama yang membuat shock seluruh kelas. Kita remidi semua. Mungkin sebagian besar ini adalah remidi pertama sejak SMP. Nilai fisika yang berawal dari angka 1—4, sebuah nilai yang memalukan bagi P. Zul dan Bu Yiyin. Wajah-wajah lesu mulai menghiasi setiap air muka kita, tapi sayang atau bahkan untunglah wajah-wajah lesu itu tak berlangsung lama, bahkan berubah menjadi tawa cekikikan, sebab remidi itu berulang, berulang, dan terus berulang. Kita sama-sama tertawa. Menertawakan kemampuan fisika kita, lebih tepatnya.
Kita pindah kelas! Syukuran! Menata susunan bangku kembali, sebab P. Sam, wali kelas pertama kita, masih tak ingin kita belajar seperti naik bis. Akhirnya, kita memutuskan untuk mengubahnya menjadi bentuk U, tapi itu tak berlangsung lama. Kita menggantinya dengan bentuk bis lagi, sebab kepala orang yang menghadap samping merasa capek.
Kita selalu mengadakan “opyokan” bangku setiap dua minggu sekali. Undian yang lebih mendebarkan dari undian berhadiah milyaran rupiah. Setiap kali membuka gelintiran kertas, ekspresi muka kita bermacam-macam. Ada yang berteriak gembira, bergumam kecewa, bahkan ada yang biasa-biasa saja.
Les pagi Mama yang selalu membuat senam jantung. Kita berangkat mendahului matahari. Membahas soal TOEFL di buku merah, saling tukar pendapat, informasi, bahkan tak jarang contekan.
Kita sempat pergi bersama satu angkatan ke Blitar, kita terpisah atau lebih tepatnya tercampur dengan kelas sebelah. Karena kita berjumlah sedikit, panitia dengan seenaknya mencampur kita sehingga kita tak bisa terbahak di dalam bis. Ah iya, siapa yang mengira, saat jatah makan siang belum dibagikan, Riza yang duduk di bangku belakang berteriak-teriak minta makan. Wajahnya pucat pasi karena kelaparan.
Kemudian di Candi Singasari kita foto sekelas didampingi oleh Pak Wiyono. Yah... kita harus kehilangan beliau. Kita juga sudah tak sempat lagi mencium punggung tangannya, mengaturkan ribuan terima kasih dan maaf kita. Sekali lagi Kawan, kita menundukkan kepala. Mengingat ribuan kebaikan beliau kepada kita dan mencoba melupakan segala kekhilafan beliau kepada kita. Dengan begitu, kita sudah sedikit membantu perjalanan beliau menuju surga-Nya. Amien...
Masih jelaskah di benakmu Kawan?
Ketika kita sudah mulai berkompetisi?
Kita mulai membentuk blog-blog kecil, kelompok-kelompok kecil. Kita saling menatap curiga terhadap kelompok lain. Takut idenya diambil. Saat itu, kita terkesan tak kompak. Banyak masalah. Tak ada penyelesaian. Semua orang merasa hebat. Kita sudah enggan berbagi informasi, bahkan untuk sebuah lomba karya tulis. Memang, banyak dari kita yang terkenal di luar kelas. Berjaya dengan prestasi kita, bahkan di luar sekolah. Dipandang orang lain dengan tatapan kagum. Kita berada di atas angin. Lupa untuk berpijak, sebab kita sudah tak percaya lagi pada pijakan kita, yaitu kelas kita tercinta. Banyak masalah yang timbul sebenarnya, tapi kita memilih diam. Bukan diam sebenarnya, tapi diam di depan orangnya. Kita memilih berkoar di belakang. Tak berani menatap langsung. Ah, sudahlah! Ini hanya terjadi beberapa saat saja.
Pagi-pagi kita sudah berangkat. Duduk manis di bangku masing-masing. Untuk apa? Tentu saja untuk menyalin jawaban PR Matematika, fisika, kimia, atau biologi dari Idris, Fitri, Mita, Riza, Nung, atau Candra. Ha ha ha
Terutama untuk matematika P.Mualim, kita sudah seperti jeruk kepanasan saat beliau mengajar di depan.
Masih ingatkah? Saat Idris dikeluarkan dari pelajaran matematika hanya gara-gara dia bermain pulpen ketika Mr. Mualim menjelaskan tentang lingkaran?
Saat pertama kali Bu Umi mengajar?
Ketika Bu Retno mogok mengajar gara-gara kita mengerjakan fisika di pelajaran Bahasa Jerman?
Waktu semua guru menuntut kita mempunyai nilai yang lebih tinggi dari nilai kelas reguler?
Saat P.Budi sedikit kecewa dengan kita, gara-gara jadwal remidi kimia bentrok dengan biologi
Masihkah ada rekaman video kegiatan kita di otakmu, Kawan?
Hari kebalikan
Rujakan di rumah Ariny
Hiking dan makan mie instan di rumah Ranis
Buka bersama di rumah I’a
Buka bersama di rumah Pupudh
Halalbihalal tiga tahun yang selalu naik angkot
Rame-rame ke rumah baru Bu Ida dengan kerupuk pentil
Les Bahasa Inggris di Wendy’s
Syukuran kelas baru
Pensi yang sepi pendukung
Pertandingan olahraga yang tak pernah menang
Mendekor kelas untuk lomba kebersihan
Air mancur yang jadi air muncrat
Nonton foto-foto kita yang disatukan Angga
Maen game di komputer yang sebenarnya untuk pembelajaran
Rujakan di kelas
Bahkan, nonton film horor diselingi dengan teriakan tak jelas
Kelas kita memang seperti gado-gado
Yang tentu saja tak lengkap tanpa cerita cinta
Ingatkah Kau, waktu memergoki Arin dan Angga yang sedang ngobrol malu-malu?
Andi yang digosipkan dengan hampir seluruh cewek di kelas
Irma dan Budi yang telah diresmikan sebagai pasangan pemimpin negara
Dea dan Debby yang tak putus-putus dari kelas X sampai XII
Doming dan Jasmine yang setia saling menunggu dan mungkin cintanya bersemi di sudut angkot H2
Ah, kisah cinta seperti itu sedikit membuat kita tertawa kecil untuk mengingatnya. Membingkainya di sudut hati kita masing-masing, mengingat-ingat siapa saja yang sempat ada di hati kala masa SMA.
Kita naik ke kelas XII
Sebuah perjuangan yang baru dimulai
Kita ada di antara dua keharusan
Lulus UAN dan masuk perguruan tinggi
Dua-duanya harus kita raih
Bulan yang sama di tahun kemaren, kita sama-sama ikut bimbel di sekolah. Pulang jam 5 sore. Bawa bekal. Saling menukar lauk. Saling incip bekal. Saling berbagi. Saling memberi. Saling meminta.
Tak jarang pula, kita diguyur tangisan langit sebelum kita sampai rumah. Terpaksa harus berteduh di bawah atap SMA kita tercinta. Menyanyi. Tertawa. Ingin cepat sampai rumah.
Hingga akhirnya, kita memilih dan memilah jalan sendiri-sendiri. Berpisah antara jarak, ruang, dan waktu. Rasanya, kita ingin cepat-cepat kuliah. Ingin meninggalkan segala sistem aturan yang ada di SMA. Menemukan teman baru di universitas. Menanggalkan seragam abu-abu kebanggaan kita.
Tak ada perpisahan antara kita, sebab kita berharap kita tak kan pernah pisah. Kita meninggalkan SMA seolah kita pergi untuk libur semesteran! Tak ada ucapan selamat tinggal, sebab kita masih ingin bertemu lagi.
Sekarang, kita benar-benar pisah. Sendirian. Pasti kita merasakan hal yang sama. Tak ada teman yang layak untuk berbagi selain di kelas kita.
Kita saling menanyakan kabar
Menanyakan bagaimana kuliah kita
Atau menanyakan kapan pulang ke kota kita tercinta, Jombang!
Saling bercerita tentang universitas dan teman baru kita
Jujur, kita masih merindukan masa-masa abu-abu kita. Kalau saja waktu bisa seenaknya diputar, kita mungkin ingin mengulang masa itu. Masa yang penuh kebahagiaan dan sedikit haru. Semangat sekaligus letih. Menyala sekaligus padam.
Kadang, aku sering berpikir. Merenung. Menangis. Tertawa. Mengingat kalian.
Bagaimana kabar kalian sekarang Kawan?
Masih seperti dulukah?
Atau sudah berubah?
Masih ingatkah kau denganku?
Atau bahkan kau sudah lupa tentang cerita-cerita kita?
Kawan, uraian di atas hanyalah sebuah bagian puzzle yang berhasil aku ambil. Masih banyak potongan-potongan puzzle lainnya yang belum sempat kutemukan. Maukah Kau Kawan, menyumbangkan sepotong puzzle yang Kau miliki untuk dibagi di sebuah coretan ini?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar