"Kalau kamu butuh seseorang agar terbebas dari tekanan orang tua atau sosial, aku siap buat jadi pasangan bohonganmu," kata lelaki di depanku. Lelaki yang beberapa jam lalu mengabariku bahwa ia sedang pulang, lalu ingin bertemu. Lelaki yang dulu, dulu sekali, selalu bisa membuatku merasakan kupu-kupu terbang dalam perutku. Dulu, dulu sekali, jauh sebelum banyak-banyak orang yang datang dan pergi begitu saja.
Aku tertawa kencang. Lelucon itu terdengar lucu. Padahal, sesungguhnya jantungku berdebar. Kenapa harus bohongan coba?
"Aku serius, Dek, dengan tawaranku. Aku tahulah gimana tekananmu menjadi perempuan yang sudah bisa bergerak bebas, tetapi masih takbisa lepas dari hal-hal di belakangmu. Aku tahu rasanya," katanya dengan wajah serius.
"Kayaknya belum perlu, sih, Mas. Aku masih bisa mengatasi segala pertanyaan dan penghakiman itu. Orang tuaku masih baik-baik saja, kok! Semacam sedikit nggak peduli aja, sih, kalau yang ngomong orang lain. Haha."
Sementara itu, ada jantung yang sedang berdetak takseperti biasanya, ada otak yang juga sedang mengingat-ingat. Entah tujuh, entah delapan tahun lalu. Ada yang sedang diam-diam kudoakan tiap malam, ada yang sedang diam-diam banyak-banyak kutulis dalam setiap lembar buku harian, dan ada yang sedang diam-diam menunggu seseorang pada pagi-pagi buta di halte bus kampus.
Seseorang yang kutahu akan berjarak jutaan tahun cahaya. Seseorang yang dulu selalu berdebat, pekerjaan apa yang paling susah, menganyam kerangka ketupat atau menghias pohon Natal. Seseorang yang dulu tempat bertukar buku bagus. Dan, seseorang yang selalu rajin pergi ke gereja, sedangkan aku masih belum berniat meninggalkan sholat. Begitulah. Tuhan memang senang bercanda.
"Syukurlah kalau gitu. Terus kamu gimana? Mau penelitian tentang apa?"
"Mas, dulu, dong, cerita. Gimana kuliahnya di Chicago? Mau disertasi tentang apa? Pulang ke Indonesia berapa lama? Penelitian ke mana aja?" cercaku.
"Lha, panjang, Dek! Haha. Oke, oke. Jadi, risetku itu
tentang karet."
"Karet? Diapain?"
"Aku pakai metode follow
a thing. Aku mengikuti proses karet dari lahir sampai pensiun dari sudut
pandang social science.
Yang menarik dari karet, kan, karet itu bahan alam, tetapi setelah diproses ia
tidak lagi bisa diurai oleh alam. Bagaimana relasi dan interaksi sosial dari
setiap proses itu yang ingin aku kaji. Bla bla bla.... Makanya, ini
aku pulang buat penelitian, buat bahan disertasi, tapi ini masih riset awal,
sih." jelasnya panjang lebar. Lelaki di depanku ini selalu membuatku
kagum.
"Kok, keren, sih?" hanya kalimat itu yang bisa
muncul. Bolehlah aku bilang bahwa aku hanya remah-remah meses kiloan di
hadapannya.
"Namanya riset, ya, harus total, Dek. Gantian, kamu gimana? Mau penelitian disertasi tentang apa?
"Tentang Timor Timur, tapi pakai korpus karya sastra,
mau lihat memori kolektif antara dua negara, Indonesia dan Timor Leste, yang
pernah konflik dari sudut pandang yang berbeda," jawabku sekenanya.
"Kamu butuh lulus cepat atau nggak?" tanyanya
kemudian.
"Nggak harus. Yang penting puas dalam risetnya,"
jawabku sok idealis.
"Bagus! Kalau nggak butuh lulus cepat, kamu bisa ikut
beasiswa programku ini. Nanti aku bantu segala sesuatunya, deh. Mungkin butuh 6
sampai 7 tahun untuk dapat gelar Ph. D. Orang-orang di yayasan ini sedang butuh penelitian tentang Timor Timur."
"Akan sangat-sangat kupertimbangkan, Mas! Selama nanti kalau ada pertanyaan tentang hal-hal yang tidak bersifat akademis dalam jangka waktu enam atau tujuh tahun itu, kamu siap menjadi orang pertama yang membelaku, loh! Haha."
"Haha. Siyaaaaaappppppp!"
Lalu, lelaki di depanku itu pamit. Sudah ada janji dengan teman lainnya, katanya. Selalu saja begitu. Temannya terlalu banyak. Tapi aku bisa apa selain melepasnya, seperti yang lalu-lalu. Sebuah gantungan kunci darinya sudah ada di genggamanku. Kebetulan saja, aku sedang mencari gantungan kunci untuk menggantikan gantungan kunci kamarku yang sudah lepas bagian gambar utamanya. Jika saja lelaki itu tahu, aku baru tiga kali ini aku mengganti gantungan kunci kamarku dari tujuh atau delapan tahun yang lalu, pertama gantungan kunci oleh-oleh dari lelaki itu, kedua gantungan kunci dari Mama yang sekarang sudah rusak, dan ketiga oleh-oleh dari lelaki itu lagi.
Percayalah, itu satu-satunya cara untuk tetap mengingatnya. Diam-diam.