Barangkali, patah hati lebih berjuta rasanya dibandingkan dengan jatuh cinta. Kukira begitu.
**
Ini, cerita patah hati pertama yang kamu tulis setelah kamu harus mempersiapkan segala sesuatunya. Setelah kamu merasa siap untuk mengurai sedikit demi sedikit perasaanmu. Ah, tapi, bukankah kata orang patah hati akan membuat seseorang lebih banyak memiliki kesedihan untuk ditulis? Itu hanya berlaku untuk orang lain. Tidak untukmu. Sebab, kamu terlalu sibuk melawan ketakutan-ketakutan setelah hatimu itu harus pecah lagi. Entah menjadi berapa bagian. Kamu terlalu sibuk memunguti satu per satu serpihannya. Mencoba membalutnya, yang kamu sendiri pun tahu, entah berapa lama lagi hatimu itu akan berbentuk seperti sedia kala.
**
Namun, kukira lagi, patah hati dan jatuh cinta memiliki banyak kesamaan: tentang seseorang.
**
Tentu saja tentang seseorang. Tentang seseorang yang sudah puluhan purnama menemanimu, yang menjadi orang pertama yang kamu ingat sebelum dan sesudah tidur. Tentang seseorang yang sudah menggenggam erat tanganmu, lalu memastikan semua akan baik-baik saja selama ada "kita". Atau tentang seseorang yang membuat rindumu membatu di matanya. Kamu tak bisa ke mana-mana, selain tertaut dengan matanya. Yang pada matanya itu pun kamu jatuh cinta berkali-kali.
**
Seseorang itu akan terus mengikutiku, semacam bayanganku terbelah: satu tentangku, satu tentangnya.
**
Bahkan, kamu pun tak memerlukan hujan untuk mengingatkanmu padanya. Pada detak jam di ruang tamumu atau angka-angka kembar pada jam digital ponselmu, cukup membuatmu merasakan kehadirannya. Adakah yang lebih sedih daripada kamu masih merasakan kehadiran seseorang yang tak lagi menemanimu? Dan, semua ada hanya di dalam bayanganmu? Coba kamu ingat-ingat, berapa kali kamu harus menarik napas panjang-panjang agar pelupukmu kuat menahan butiran air ketika kamu sedang berbelanja di supermarket, lalu tak sengaja matamu tertumbuk pada merek sabun muka yang sering ia pakai? Atau ketika kamu sedang ingin melupakan kesedihanmu dengan menonton film, dan kamu sibuk membuka-buka folder filmmu, tetapi kemudian pindaian kursormu tertuju pada film Before Sunrise, Before Sunset, dan Before Midnight? Atau setiap kali kepalamu menengadah ke langit, ada bulan bulat sempurna? Atau bahkan tentang kematian Robbin Williams, yang langsung mengingatkanmu pada film Dead Poet Society, yang serta-merta membawa kenanganmu tentangnya.
**
Kukira, aku tak bisa menyalahkan siapa pun, terlebih kenangan meskipun ia hadir tanpa tahu waktu.
**
Kamu pun cukup bijak untuk tidak menangis di lorong-lorong supermarket atau di jendela kereta. Ah, kamu pasti selalu mengingat kencan pertamamu di atas kereta, bukan? Perjalanan dari kotamu ke kotanya yang memakan waktu hampir semalam itu. Yang membuat jantungmu berdetak lebih cepat dari biasanya ketika tahu bahwa seseorang yang matanya selalu membuatmu jatuh cinta berkali-kali itu sedang duduk tepat di sampingmu. Ia sedang menjagamu semalaman. Kencan yang sempurna, bukan? Perjalanan ke kotanya, kota yang katanya dicipta Tuhan ketika sedang rindu itu, selalu bisa membuatmu hatimu bergetar. Mungkin rindu, terlebih pada dia.
**
Pun tentang jarak, yang katanya membuat rindu semakin khidmat, pada akhirnya pun melenyapkan.
**
Lalu, ingatanmu pun menambat pada percakapan-percakapan panjang pada malam-malam yang terasa pendek itu. Percakapan tentang segala hal yang bukan tentang kamu dan dia. Atau tentang kucing tetangga yang mati. Atau tentang rumah yang akan ia bangun bersamamu: tentang ruang keluarga, tentang kamar anak-anak, tentang perpustakaan kecil, atau tentang di kota mana rumah itu akan dibangun. Semua terasa sempurna hingga akhirnya kamu sadar bahwa itu hanya kenangan, yang barangkali lebih baik ditinggalkan, bukan ditinggali. Sebab kenangan sama sekali bukan rumah. Pun dengan hatinya kini, yang tak lagi seenaknya bisa kamu sebut rumah.
**
Dan, hari yang terus berjalan semakin membuatku sepi, membuat sadar bahwa aku (se)harus(nya) baik-baik saja.
**
Berapa kali juga kamu mengecek ponselmu. Siapa tahu, seseorang yang pernah menemanimu itu menghubungimu, sekadar bertanya "apa kabar?" atau mengucapkan "selamat tidur", seperti dulu. Dan, pada akhirnya kamu pun harus tahu, bahwa kotak masukmu akan kembali diisi oleh pesan-pesan dari operator atau sekadar broadcast message dari organisasi yang kamu ikuti. Lalu, kamu pun seharusnya kembali menata diri agar semuanya baik-baik saja. Agar kamu terbiasa melakukan segala hal sendiri lagi.
**
Barangkali memang benar, rusak susu sebelanga karena nila setitik, ah, jika memang begitu, semoga kamu masih mengingat alasanmu jatuh cinta padaku.
**
Entahlah. Hatimu sekarang sedang bercabang: untuk tetap tinggal atau segera berkemas. Kamu masih sangat mengingat rasa ketika hatimu berdetak menunggu pesan-pesannya atau pertemuan-pertemuan singkat yang harus ditempuh ratusan kilometer itu. Kamu masih sangat mengingat segala hal tentangnya. Tapi, kamu sangat percaya, hanya ada dua alasan seseorang tak lagi menemanimu: untuk digantikan dengan yang lebih baik atau untuk kembali. Itu saja. Bukankah kepergian dan kedatangan itu adalah hubungan yang sangat sederhana. Yang akan datang, pasti akan pergi. Pun yang pergi, akan terganti atau kembali. Sesederhana itu.
**
Aku tak pandai membalut luka, tetapi aku harus segera berkemas, lalu jatuh cinta lagi!
**
Lihatlah sekelilingmu, suara decit ferum rel kereta api, burung-burung di belakang rumahmu, sisa bau hujan semalam, bukankah itu terasa lebih menyenangkan? Daripada kamu harus sibuk membalut luka yang kedalamannya kamu tentukan sendiri itu. Atau tentang nenek di depan rumah yang tinggal sendiri, tetapi masih bisa tertawa karena guyonan ayahmu? Atau barangkali tentang rajutan dan kue-kuemu itu, yang telah menemanimu membalut luka. Jatuh cintalah! Jatuh cintalah pada benda-benda atau orang-orang yang selama ini luput dari pandanganmu. Jatuh cintalah, pada orang-orang yang selama ini tak pernah berjeda menemanimu. Maka, tak ada alasan untuk tidak jatuh cinta lagi, bukan? Jika demikian, maka selamat! Sebab kamu telah patah hati, tanpa berniat bunuh diri!