Berbicara
tentang Negeri Kincir Angin, yang terlintas dalam benak saya adalah
naskah-naskah kuno Melayu yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden.
Naskah ini serupa buku harian yang tersimpan di dalam lemari milik orang lain.
Ironis. Sebab, yang memiliki tak bisa leluasa jika ingin membacanya. Begitulah
kondisinya. Setiap yang ingin mempelajari naskah Melayu Kuno, orang tersebut
harus pergi ke Belanda jika ingin versi lengkap atau aslinya. Lantas, apa yang
masih tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia? Mungkin, hanya
tentang kenangan.
Di dalam katalog naskah Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia, terdapat sejumlah naskah yang sudah rusak dan
tidak terdapat mikrofilmnya. Satu naskah hilang, mungkin seribu kearifan lokal
yang terkandung di dalamnya juga turut lenyap. Namun, naskah-naskah yang
tersimpan di Belanda, khususnya di Perpustakaan Universitas Leiden, berada
dalam kondisi baik. Semua naskah yang tersimpan di Belanda telah terdapat
mikrofilmnya. Hal ini dapat dilihat dalam tulisan Liaw Yock Fang (1991:23) yang
menyatakan bahwa perpustakaan Universitas Leiden telah membuat teknologi untuk
menyelamatkan naskah-naskah yang tersimpan di Belanda. Ada lebih dari seribu
naskah Melayu yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden.
Naskah-naskah
ini dapat tersimpan di Belanda karena beberapa faktor, semisal harta rampasan
perang, persembahan raja-raja Nusantara untuk pemerintahan Belanda, upeti, atau
memang dibeli oleh pihak Belanda. Sebagaimana karya sastra kuno, naskah-naskah
tersebut tidak ada kepemilikannya. Setiap orang berhak memilikinya, termasuk
pemerintahan Belanda. Hanya saja, naskah-naskah tersebut beraksara Jawi (aksara
Arab, bahasa Melayu). Jika boleh berpendapat, pada dasarnya, naskah-naskah yang
berumur ratusan tahun ini lebih aman disimpan di Belanda.
Belanda
memiliki teknologi yang cukup canggih untuk membuat naskah tetap bertahan dan
bisa dibaca. Tidak dapat dimungkiri bahwa Belanda merupakan negara maju yang
memiliki anggaran dana yang besar, bahkan untuk pemeliharaan naskah. Dengan
demikian, pembuatan mikrofilm dari setiap naskah tidak memiliki rintangan yang
cukup berarti. Selain itu, minat masyarakat—baik lokal maupun global—terhadap
naskah-naskah yang berada di Universitas Leiden cenderung lebih baik daripada
minat masyarakat terhadap naskah-naskah yang ada di Perpustakaan Nasional
Republik Indonesia.
Begitulah.
Entah mengapa, Belanda masih memesona. Bagi saya, Belanda merupakan negara yang
menarik sebab Belanda adalah negara maju yang masih peduli dengan hal-hal
budaya, contohnya kepeduliannya terhadap naskah. Itu mengagumkan. Meskipun
ketika harus membaca naskah Melayu di Belanda, saya merasa sedang membaca buku
harian saya di rumah orang. Rasanya ganjil dan aneh.
Referensi
Liaw Yock Fang. 1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik.
Jilid 1 dan 2. Jakarta: Erlangga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar