Akhirnya. Semester ini berlalu juga. Semester yang saya jalani dengan rasa bosan kuliah yang sudah di ujung ubun-ubun. Semester yang hampir tingkat akhir. Dan sekarang saya resmi menjadi mahasiswa tingkat akhir.
Banyak hal. Seperti biasanya. Tapi kali ini sedikit beda. Saya sedang tidak ingin ikut organisasi dan kepanitiaan apa pun. Saya hanya kuliah-ngajar-pulang. Sesederhana itu. Bagaimana lagi? Saya sedang sangat malas kuliah semester ini. haha
Meskipun demikian, target IP saya masih 4.00. Bagaimana? Lebih konyol lagi kan? Sudahlah. Saya memang gila. Tapi, Tuhan masih sangat baik. Dengan tugas dan ujian yang saya kerjakan asal-asalan, IP saya turun tidak terlalu banyak. IPK masih tetap. Tidak berkurang ataupun bertambah seangka pun. Terima kasih.
Ketika mengetik tulisan ini, saya sedang berada di Korps Marinir Cilandak. Sedang mengikuti tes fisik dan mental sekaligus pembekalan untuk Kuliah Kerja Nyata (K2N) 2012 di daerah perbatasan. Lebih tepatnya sedang mengerjakan proposal program K2N. Di sini banyak hal. Pendidikan disiplin semi semi-militer. Tapi, tetap saja. Saya senang. Di tempat ini, saya mengingat ayah saya lebih. Teringat pada obsesinya pada militer. Saya mendapat tugas di Desa Wanabakti, Kecamatan Ketungau Tengah, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Mengabdi pada negeri sekira 30 hari. Semoga saja saya benar-benar bisa mengabdi. Besok berangkat. Pukul 17.00. Naik KRI. Mungkin selama 2-3 hari. Lalu dilanjut perjalanan darat sekira 25 jam. Dan diakhiri dengan perjalanan sungai menaiki long-boat sekira 12 jam. Baiklah. Bisa dibayangkan bagaimana jauhnya tempat itu. Nanti sajalah cerita episode ini secara lebih lengkap.
Ya. Saya ingin mereview semester ini. Selain kuliah-ngajar-pulang, saya banyak menghabiskan waktu untuk memuaskan jiwa saya. Ah, ini terlalu berlebihan. haha
Ketika digempur dengan UAS, saya malah enak-enakan hadir dalam "Sapardi Membaca Sita" atau launching buku puisi Sapardi Djoko Damono di Salihara. Kemudian dilanjutkan dengan menonton teater "Balada Nabi Kembar" di Salihara juga. Hari kemarinnya, saya juga menghabiskan waktu untuk menonton "Malam Jahanam" di Auditorium Gedung IX FIB UI. Sebelumnya, saya juga sempat hadir dalam "Petang Puisi". Dan masih dalam semester ini, saya juga sempat menonton teater "Goyang Penasaran". Ah, saya memang takbisa menolak untuk acara-acara seperti itu. Yang penting, kuliah jangan sampai mengganggu jadwal senang-senang. INI SESAT!
Yang tidak kalah menarik dalam semester ini, banyak doorprize-doorprize yang saya menangkan. Iya sih, sedikit tidak penting. Tapi cukup membuat saya berterima kasih pada Tuhan. Tiba-tiba saja saya mendapat penghargaan IPK tertinggi. Ah, ini juga mencengangkan. Saya malas kuliah. Malas mengerjakan tugas. Kuliah ogah-ogahan. Sumpah. Ini hanya keberuntungan. Dan bisa disebut sebagai doorprize. Kedua, kemarin saya mendapat hadiah Blacberry karena berhasil menang menulis berita media cetak di Media Indonesia. Ini semakin ngaco. Berita saya sama sekali takpenting. Sudahlah. Tuhan memang baik. Saya bersyukur pada apa yang telah saya dapat.
Ini sudah pukul 03.30. Hampir pagi. Saya harus tidur. Besok KRI akan membawa saya mengarungi samudra raya. Membawa saya pada pengabdian di pelosok negeri ini. Mungkin, selama 40 hari ke depan, saya tidak bisa menulis tentang apa pun di jejaring sosial yang saya miliki. Sebab sinyal ponsel pun terancam takada. Tidak apa-apa. Saya juga masih bisa bertahan hidup tanpa ponsel dan kawan-kawannya itu kok. haha
Hurip iku Hurup
Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.
Senin, 18 Juni 2012
Minggu, 10 Juni 2012
Suatu Waktu, Saya akan Kehilangan
Pagi-pagi tadi, Mama telepon. Katanya sakit, habis jatuh. Tangannya takbisa gerak. Saya tertegun. Sejenak. Mencemaskan waktu yang taktahu malu. Ada bening mengalir di pipi. Harusnya saya bisa pulang. Memeluk Mama. Atau sekadar memijit tangannya itu. Paling tidak, bisa menyuapinya atau memasak makanan untuknya. Tapi sayangnya takbisa. Saya tetap di sini. Makalah yang takjua saya kerjakan menahan saya. Sudahlah. Saya takmau menyalahkan makalah lagi.
Kemarin-kemarin juga sudah jarang telepon. Sudah jarang bercerita. Saya terlalu (sok) sibuk. Padahal rindu. Sangat. Dua minggu yang lalu Mama meminta saya pulang. Segera memesan tiket. Agar sebelum pergi ke perbatasan, saya bisa bertemu dengannya. Saya diam saja. Mengiyakan. Tapi ternyata, saya malah banyak main di sini. Takjadi pulang. Sama sekali.
Ah, waktu selalu terlalu cepat. Membawa hidup pada usia tua dengan cepat. Uban. Tubuh ringkih. Selalu mengingatkan saya pada satu hal: kehilangan. Saya benar-benar takut hal itu terjadi. Iya. Saya tahu. Saya takbisa mengelak pada waktu. Pada ketetapan. Entah Mama yang kehilangan, atau saya, bahkan mungkin kami berdua. Tuhan takpernah membocorkan jawaban.
Saya takut. Waktu itu sebentar lagi. Saya terlalu cepat berlari. Tapi takpernah sadar, bahwa waktu lebih cepat larinya, mencuri cantik Mama. Mencuri tegap Ayah. Mencuri bahagia kami.
Mengapa waktu takmembiarkan saja saya bersandar hangat di bahu Ayah lebih lama? Mengapa waktu takmembiarkan saja saya memeluk pinggul Mama lebih lama? Entahlah. Sepertinya dia hidup untuk merasa kehilangan. Untuk dirinya sendiri.
Agar semuanya indah pada waktu-Nya. Mungkin.
Kemarin-kemarin juga sudah jarang telepon. Sudah jarang bercerita. Saya terlalu (sok) sibuk. Padahal rindu. Sangat. Dua minggu yang lalu Mama meminta saya pulang. Segera memesan tiket. Agar sebelum pergi ke perbatasan, saya bisa bertemu dengannya. Saya diam saja. Mengiyakan. Tapi ternyata, saya malah banyak main di sini. Takjadi pulang. Sama sekali.
Ah, waktu selalu terlalu cepat. Membawa hidup pada usia tua dengan cepat. Uban. Tubuh ringkih. Selalu mengingatkan saya pada satu hal: kehilangan. Saya benar-benar takut hal itu terjadi. Iya. Saya tahu. Saya takbisa mengelak pada waktu. Pada ketetapan. Entah Mama yang kehilangan, atau saya, bahkan mungkin kami berdua. Tuhan takpernah membocorkan jawaban.
Saya takut. Waktu itu sebentar lagi. Saya terlalu cepat berlari. Tapi takpernah sadar, bahwa waktu lebih cepat larinya, mencuri cantik Mama. Mencuri tegap Ayah. Mencuri bahagia kami.
Mengapa waktu takmembiarkan saja saya bersandar hangat di bahu Ayah lebih lama? Mengapa waktu takmembiarkan saja saya memeluk pinggul Mama lebih lama? Entahlah. Sepertinya dia hidup untuk merasa kehilangan. Untuk dirinya sendiri.
Agar semuanya indah pada waktu-Nya. Mungkin.
Rabu, 06 Juni 2012
Yang Fana adalah Waktu. Kita Menurut Saja.
Sesajak milik Sapardi itu bergema. Entahlah. Saya memang terlalu sering mengingatnya. "Yang fana adalah waktu. Kita abadi." seperti itu harusnya. Ya. Waktu memang terlalu fana. Tetiba pagi. Siang. Malam. Lalu kembali pagi. Begitu terus. Berlari. Meninggalkan saya. Saya yang takpernah sadar dimakan waktu. Lantas, menurut saja. Hendak di bawa ke mana.
Siang ini hujan. Bulan Juni. Ah, Sapardi lagi. Tidak. Saya taksedang ingin bercerita tentang Sapardi. Hanya saja tentang hujan yang telah membawa saya pada ingatan. Pada kenangan. Cepat-cepat memutar.
Memandang hujan di kota ini. Entah yang keberapa kalinya. Tapi, saya masih merasa itu hujan yang pertama. Hujan tiga tahun lalu. Hujan yang saya maknai sebagai ucapan selamat datang di kota ini. Kota yang mengajari saya banyak hal.
Tiga tahun yang lalu. Saya datang ke kampus ini. Dengan tawa yang menggema. Yang seolah-olah akan menaklukkan dunia. Menggenggamnya dalam sekali tangkup. Ya. Rasanya baru kemarin saya berteriak girang melihat akun sisa ujian. Sekarang hampir habis. Sudah tiga tahun. Rasanya baru kemarin. Baru kemarin. Waktu terlampau fana. Ataukah saya yang terlampau lambat berjalan? Bisa jadi.
Rasanya baru kemarin. Saya melihat hujan di titik yang sama. Di jendela kelas yang sama. Dulu saya tersenyum. Hari ini pun saya tersenyum. Dulu, saya tersenyum untuk keberanian saya datang ke kota ini sendirian. Hari ini, saya tersenyum sebagai ucapan terima kasih pada diri saya karena sudah bertahan. Paling tidak, bertahan dari sergapan rindu tiba-tiba. Pada apa? Tentu saja pada rumah.
Saya berjalan. Melewati rute yang sama dalam tiga tahun. Rasanya baru sekali melewati jalan itu. Tapi, sudah tiga tahun. Mungkin ribuan kali. Hitung saja. Sudah saya katakan, waktu memang terlalu angkuh. Meninggalkan saya tertatih. Hampir menyerah.
Sudah tiga tahun. Saya di sini. Merah-Biru-Ungu. Semuanya berbaur menjadi satu. Takada yang benar-benar jelas. Atau takada yang benar-benar takjelas. Semuanya sama saja. Boleh dianut. Boleh dirujuk. Tapi, saya belum mendapat apa-apa. Usia saja yang bertambah, tapi kedewasaan? Saya kira perlombaan sudah dimenangkan oleh waktu. Dan saya menurut saja.
Siang ini hujan. Bulan Juni. Ah, Sapardi lagi. Tidak. Saya taksedang ingin bercerita tentang Sapardi. Hanya saja tentang hujan yang telah membawa saya pada ingatan. Pada kenangan. Cepat-cepat memutar.
Memandang hujan di kota ini. Entah yang keberapa kalinya. Tapi, saya masih merasa itu hujan yang pertama. Hujan tiga tahun lalu. Hujan yang saya maknai sebagai ucapan selamat datang di kota ini. Kota yang mengajari saya banyak hal.
Tiga tahun yang lalu. Saya datang ke kampus ini. Dengan tawa yang menggema. Yang seolah-olah akan menaklukkan dunia. Menggenggamnya dalam sekali tangkup. Ya. Rasanya baru kemarin saya berteriak girang melihat akun sisa ujian. Sekarang hampir habis. Sudah tiga tahun. Rasanya baru kemarin. Baru kemarin. Waktu terlampau fana. Ataukah saya yang terlampau lambat berjalan? Bisa jadi.
Rasanya baru kemarin. Saya melihat hujan di titik yang sama. Di jendela kelas yang sama. Dulu saya tersenyum. Hari ini pun saya tersenyum. Dulu, saya tersenyum untuk keberanian saya datang ke kota ini sendirian. Hari ini, saya tersenyum sebagai ucapan terima kasih pada diri saya karena sudah bertahan. Paling tidak, bertahan dari sergapan rindu tiba-tiba. Pada apa? Tentu saja pada rumah.
Saya berjalan. Melewati rute yang sama dalam tiga tahun. Rasanya baru sekali melewati jalan itu. Tapi, sudah tiga tahun. Mungkin ribuan kali. Hitung saja. Sudah saya katakan, waktu memang terlalu angkuh. Meninggalkan saya tertatih. Hampir menyerah.
Sudah tiga tahun. Saya di sini. Merah-Biru-Ungu. Semuanya berbaur menjadi satu. Takada yang benar-benar jelas. Atau takada yang benar-benar takjelas. Semuanya sama saja. Boleh dianut. Boleh dirujuk. Tapi, saya belum mendapat apa-apa. Usia saja yang bertambah, tapi kedewasaan? Saya kira perlombaan sudah dimenangkan oleh waktu. Dan saya menurut saja.
Jumat, 01 Juni 2012
Catatan Pagi Hari
Sepagian tadi saya sudah tidak bisa terpejam. Selepas subuh, saya tidak terbiasa untuk tidur lagi. Hanya merenung. Atau membaca. Bahkan melamun. Lantas, saya teringat pada tugas makalah saya yang menumpuk. Tidak tahu harus berkata apa. Jujur saja. Semester ini saya terlampau malas mengerjakan semua makalah yang takbeda jauh dengan masalah itu. Saya tahu. Tapi saya diam saja. Membiarkan mereka terlunta. Siapa tahu mereka mencari penyelesaiannya sendiri. Abaikan. Ini saya berkhayal.
Biasanya. Pada bulan Juni. Saya sudah di rumah. Menunggu hujan yang kata Pak Sapardi tabah itu. Bersandar di bahu ayah. Atau menggelung dipeluk mama. Sekarang tidak. Saya masih di sini. Di kota yang sudah mengambil banyak hal dari hidup saya.
Sepertinya, saya akan pulang dua bulan lagi. Menjelang lebaran, mungkin. Ya. Saya akan pergi. Ke mana? Ke perbatasan. Ke pulau terdepan negeri ini. Beruntung. Saya bisa ikut kegiatan K2N yang diadakan oleh kampus saya. Pengabdian masyarakat. Menjangkau negeri ini hingga ke pelosok. Memberikan kasih pada mereka yang merasa tidak diperhatikan. Berbagi kebahagiaan. Saya bahagia. Semoga mereka juga bahagia.
Lantas, otak saya memikirkan setelah liburan. Apa yang akan saya kerjakan? Sementara SKS saya sudah hampir habis. Dan saya masih punya dua semester lagi. Tinggal 3 mata kuliah dan skripsi. Setelah itu sudah. Apakah saya akan mengejar target lulus 3.5 tahun? Dulu iya. Saya sudah mempersiapkan lulus 3.5 tahun mulai semester 1. Tapi, sampai sini. Saya berubah pikiran.
Lulus 3.5 tahun. Takada salahnya memang. Tapi, entah mengapa. Sekarang saya merasa sayang. Terlalu cepat meninggalkan tempat belajar. Dan setelahnya belum tahu harus berbuat apa. Saya masih ingin belajar. Mungkin, semester depan saya akan mengambil banyak mata kuliah (lagi). Belajar saja. Menikmati kampus. Lulus tepat 4 tahun.
Ya. Setelah lulus. Saya akan kuliah lagi. Melanjutkan belajar. Entahlah. Saat paling menyenangkan itu ada di kelas. Mendengar dosen. Belajar banyak. Lalu, saya bisa mengamati lingkungan sekitar saya. Menambah kepekaan saya.
Paling tidak. Saya sudah menghabiskan pagi ini dengan merenung. Semoga melegakan.
Biasanya. Pada bulan Juni. Saya sudah di rumah. Menunggu hujan yang kata Pak Sapardi tabah itu. Bersandar di bahu ayah. Atau menggelung dipeluk mama. Sekarang tidak. Saya masih di sini. Di kota yang sudah mengambil banyak hal dari hidup saya.
Sepertinya, saya akan pulang dua bulan lagi. Menjelang lebaran, mungkin. Ya. Saya akan pergi. Ke mana? Ke perbatasan. Ke pulau terdepan negeri ini. Beruntung. Saya bisa ikut kegiatan K2N yang diadakan oleh kampus saya. Pengabdian masyarakat. Menjangkau negeri ini hingga ke pelosok. Memberikan kasih pada mereka yang merasa tidak diperhatikan. Berbagi kebahagiaan. Saya bahagia. Semoga mereka juga bahagia.
Lantas, otak saya memikirkan setelah liburan. Apa yang akan saya kerjakan? Sementara SKS saya sudah hampir habis. Dan saya masih punya dua semester lagi. Tinggal 3 mata kuliah dan skripsi. Setelah itu sudah. Apakah saya akan mengejar target lulus 3.5 tahun? Dulu iya. Saya sudah mempersiapkan lulus 3.5 tahun mulai semester 1. Tapi, sampai sini. Saya berubah pikiran.
Lulus 3.5 tahun. Takada salahnya memang. Tapi, entah mengapa. Sekarang saya merasa sayang. Terlalu cepat meninggalkan tempat belajar. Dan setelahnya belum tahu harus berbuat apa. Saya masih ingin belajar. Mungkin, semester depan saya akan mengambil banyak mata kuliah (lagi). Belajar saja. Menikmati kampus. Lulus tepat 4 tahun.
Ya. Setelah lulus. Saya akan kuliah lagi. Melanjutkan belajar. Entahlah. Saat paling menyenangkan itu ada di kelas. Mendengar dosen. Belajar banyak. Lalu, saya bisa mengamati lingkungan sekitar saya. Menambah kepekaan saya.
Paling tidak. Saya sudah menghabiskan pagi ini dengan merenung. Semoga melegakan.
Langganan:
Postingan (Atom)