kau takperlu takut hujan. sebab ia hanya air. yang sebentar lagi terhempas. menyatu dengan rindumu. atau mungkin tangismu.
kau takperlu membuka payung saat hujan. sebab ia hanya tetes. yang takakan membuat basah puisi-puisimu. yang malah akan membuat puisimu menyatu. dengan hatimu mungkin.
kau juga takperlu cepat-cepat berteduh ketika hujan. sebab ia hanya rindu. ingin bercumbu dengan kamu. sesederhana itu kan hujan datang? lalu mengapa kau terlalu cepat resah?
Hurip iku Hurup
Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.
Rabu, 30 Mei 2012
Minggu, 27 Mei 2012
Kepada Euforia
Saya ingin menyapamu kali ini. Dalam dini hari. Seperti ini. Tetiba saja pikiranku penuh. Ingin dituang. Ke mana lagi. Kalau tidak di sini.
Baru saja, saya menghabiskan sisa malam dengan bercerita kepada teman saya. Tentang apa? Tentang apa saja. Kemudian saya teringat pada banyak hal. Pada hal-hal yang kadang membuat kita harus menjadi bagian dari sesuatu. Harus masuk ke dalam komunitas tertentu. Harus diakui oleh banyak orang. Untuk apa? Saya pun tidak pernah tahu jawabannya. Mungkin, untuk hal-hal yang di bawah sadar.
Kadang, kita juga terlalu mudah untuk mengikuti sesuatu yang sedang marak. Ah, mungkin kamu tidak, saya saja. Atau ikut-ikutan meneriakkan sesuatu tanpa mengerti apa yang sedang diteriakkan. Wajar saja. Hidup memang seperti itu. Dituntut memihak atau memilih pada apa yang takpernah diketahui. Lantas, jika tidak memilih, kita akan dihakimi.
Banyak yang bilang, hidup adalah soal pilihan. Pilihan pada apa? Pada iya dan tidak? atau pada tidak dan tidak? Lagi-lagi saya tidak tahu. Apakah dengan tidak memilih kita tidak hidup? Masih hidup rasanya. Tapi, benar juga. Sebab tidak memilih pun sebuah pilihan.
Maaf. Semakin dini hari. Pikiran saya semakin ngaco.
Baiklah. Judul tulisan saya kali ini adalah "Kepada Euforia". Tentang apa? Kamu bisa menceritakannya tentang apa saja. Pilihan-pilihan itu membawa kita pada arus dan anti-arus. Tinggal pilih saja, banyak teman atau terasing. Lantas, karena pada dasarnya manusia ingin diakui keberadannya, kemudian banyak yang berbondong-bondong mengikuti arus. Berteriak-teriak seolah-olah mereka bahagia pada pilihannya. Padahal, hanya ikut-ikutan. Yah. Mungkin itulah definisi euforia menurut saya. Saya tidak tahu makna leksikalnya. Kondisi gembira yang berlebihan. Yang (sok) senang pada hal yang tidak dimengerti. Sudah saya bilang. Ini definisi menurut saya. Protes saja pada yang mencipta kata euforia.
Ya. Sebenarnya, bisa saja kamu teguh pada pilihanmu meskipun itu harus melawan arus. Atau kamu tidak harus mengikuti arus agar dianggap sebagai manusia. Bukankah layang-layang terbang tinggi karena melawan arah angin?
Baru saja, saya menghabiskan sisa malam dengan bercerita kepada teman saya. Tentang apa? Tentang apa saja. Kemudian saya teringat pada banyak hal. Pada hal-hal yang kadang membuat kita harus menjadi bagian dari sesuatu. Harus masuk ke dalam komunitas tertentu. Harus diakui oleh banyak orang. Untuk apa? Saya pun tidak pernah tahu jawabannya. Mungkin, untuk hal-hal yang di bawah sadar.
Kadang, kita juga terlalu mudah untuk mengikuti sesuatu yang sedang marak. Ah, mungkin kamu tidak, saya saja. Atau ikut-ikutan meneriakkan sesuatu tanpa mengerti apa yang sedang diteriakkan. Wajar saja. Hidup memang seperti itu. Dituntut memihak atau memilih pada apa yang takpernah diketahui. Lantas, jika tidak memilih, kita akan dihakimi.
Banyak yang bilang, hidup adalah soal pilihan. Pilihan pada apa? Pada iya dan tidak? atau pada tidak dan tidak? Lagi-lagi saya tidak tahu. Apakah dengan tidak memilih kita tidak hidup? Masih hidup rasanya. Tapi, benar juga. Sebab tidak memilih pun sebuah pilihan.
Maaf. Semakin dini hari. Pikiran saya semakin ngaco.
Baiklah. Judul tulisan saya kali ini adalah "Kepada Euforia". Tentang apa? Kamu bisa menceritakannya tentang apa saja. Pilihan-pilihan itu membawa kita pada arus dan anti-arus. Tinggal pilih saja, banyak teman atau terasing. Lantas, karena pada dasarnya manusia ingin diakui keberadannya, kemudian banyak yang berbondong-bondong mengikuti arus. Berteriak-teriak seolah-olah mereka bahagia pada pilihannya. Padahal, hanya ikut-ikutan. Yah. Mungkin itulah definisi euforia menurut saya. Saya tidak tahu makna leksikalnya. Kondisi gembira yang berlebihan. Yang (sok) senang pada hal yang tidak dimengerti. Sudah saya bilang. Ini definisi menurut saya. Protes saja pada yang mencipta kata euforia.
Ya. Sebenarnya, bisa saja kamu teguh pada pilihanmu meskipun itu harus melawan arus. Atau kamu tidak harus mengikuti arus agar dianggap sebagai manusia. Bukankah layang-layang terbang tinggi karena melawan arah angin?
Selasa, 22 Mei 2012
Mencintaimu adalah Mencintai Kekuranganmu.
Bagaimana mungkin aku bisa mencintaimu, sementara aku takpernah bisa mencintai kekuranganmu?
Terdengar klise? Bagaimana lagi. Itulah kenyataannya. Bagiku. Mencintaimu adalah mencintai kekuranganmu. Bukan yang lain.
Aku bisa penuh mencintaimu jika aku bisa dengan tulus mencintai kekuranganmu.
Maaf. Apakah aku menyakitimu dengan ini? Sungguh. Aku minta maaf.
Aku sama sekali takbermaksud menyakitimu. Bukankah akan lebih sakit jika aku (pura-pura) mencintaimu? Bukankah lebih sakit aku mencintaimu karena kelebihanmu saja?
Maaf. Jika begitu, takadil bagimu. Kamu sudah bersedia menyediakan bahagiamu untukku. Sementara aku? Aku masih terlalu payah untuk dimiliki. Untuk kaumiliki, tepatnya!
Maaf.
Sekali lagi. Aku belum mampu membagi letihku denganmu. Mungkin, suatu saat. Aku berharap begitu.
Terdengar klise? Bagaimana lagi. Itulah kenyataannya. Bagiku. Mencintaimu adalah mencintai kekuranganmu. Bukan yang lain.
Aku bisa penuh mencintaimu jika aku bisa dengan tulus mencintai kekuranganmu.
Maaf. Apakah aku menyakitimu dengan ini? Sungguh. Aku minta maaf.
Aku sama sekali takbermaksud menyakitimu. Bukankah akan lebih sakit jika aku (pura-pura) mencintaimu? Bukankah lebih sakit aku mencintaimu karena kelebihanmu saja?
Maaf. Jika begitu, takadil bagimu. Kamu sudah bersedia menyediakan bahagiamu untukku. Sementara aku? Aku masih terlalu payah untuk dimiliki. Untuk kaumiliki, tepatnya!
Maaf.
Sekali lagi. Aku belum mampu membagi letihku denganmu. Mungkin, suatu saat. Aku berharap begitu.
Sabtu, 19 Mei 2012
Liberalisme dan Hal-Hal yang Membuat Ragu
Seperti yang saya duga dan saya harapkan. Workshop kali ini memang mengarah pada hal itu. Liberalisme. Takmasalah. Hanya saja, saya belum bisa menolak atau mengiyakan seluruhnya. Ada beberapa hal yang bisa saya terima. Ada beberapa hal yang saya tolak. Wajar bukan?
Kemarin. Setelah makan siang. Pembahasan sudah bukan tentang iklim lagi. Sudah mengarah pada permasalahan negara. Sudah mengarah pada hal-hal yang memang seharusnya sudah dibicarakan.
Saya memang "tersesat" masuk ke dalam workshop ini. Tapi saya bersyukur. Paling tidak. Saya mengerti sudut pandang mereka.
Dari awal workshop ini saya sudah curiga. Ya ya ya. Saya memang terbiasa membaca teks. Yang segala sesuatunya harus dicari struktur batinnya. Harus dicari makna eksplisitnya. Seperti kali ini. Saya bisa membaca ketika mereka memulai acara dengan permainan. Ada empat blok. Lalu, fasilitator memberikan pilihan berbeda di setiap blok. Peserta diberi kebebasan untuk memilih menurut hatinya. Ya. Saya tahu. Kebebasan individu yang ditekankan di situ. Lantas, kebebasan yang seperti apa? Kebebasan yang tanpa mengganggu kebebasan orang lain, kata mereka. Sampai sejauh mana? Ini masih sangat bias.
Mereka berpendapat bahwa tidak ada yang salah dengan dunia ini. Kaya. Miskin. Masuk UI. Tidak masuk UI. Adalah sebuah pilihan. Well, bisalah itu disebut pilihan. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang terkungkung karena sistem kapitalis. Mereka tidak bisa bergerak. Bahkan memilih untuk hidup mereka pun takbisa. Apakah mereka dengan sengaja memilih untuk menjadi tidak kaya? Atau mereka sengaja memilih tidak punya rumah? Saya rasa tidak.
Mereka takpunya pilihan yang bisa diperjuangkan. Terbentur banyak hal. Lantas mereka terperangkap dalam sistem tersebut.
Saya memang sedikit sok tahu tentang hal ini. Tapi, saya gelisah. Unsur kemanusiaan saya memberontak. Oke. Banyak hal memang. Banyak hal yang berbenturan. Bias. Dan takterjelaskan. Pertanyaan saya tidak pernah dijawab. Padahal sederhana, saya hanya menanyakan nasib orang-orang yang takpunya pilihan itu. Nasib orang-orang yang terbentur sistem. Mau diapakan mereka? Masih tetap menganggap itu pilihan mereka? Konyol!
Liberalisme membuat orang berhak menentukan pilihan hidupnya, termasuk tentang mengembangkan modal. Hal ini memunculkan persaingan bebas, yang nantinya berujung pada kapitalisme. Saya juga tidak memungkiri jika saya juga pengguna produk kapitalis. Tapi, menjadi tidak wajar ketika yang kaya menjadi semakin kaya. Yang miskin akan semakin miskin. Pemilik modal itu sama sekali tidak peduli pada orang-orang yang takpunya akses. Sepertinya, bagi mereka, profit menjadi tujuan utama. Pragmatis. Praktis. Yang penting eksis. Mungkin seperti itu.
Saya juga taksuka menganut sistem sama rata sama rasa. Itu pun takadil. Orang yang bekerja keras layak mendapatkan lebih. Tapi sungguh menjadi takadil ketika menjadi takpeduli pada orang-orang yang membutuhkan uluran tangan.
Kata mereka lagi. Pada dasarnya, setiap orang liberal. Setiap orang sudah memilih kehidupannya masing-masing. Tapi, banyak yang tidak mengakui itu. Untuk bagian ini, saya masih takbegitu paham. Ketika diskusi di luar forum pun, saya takmendapat jawaban lugas. Paling tidak. Saya sudah mengerti jalan pikiran orang-orang liberal. Mengikuti atau tidak, itu penuh menjadi hak saya.
Lantas, apakah saya salah jika meragukan bahwa liberalisme dapat diterapkan secara utuh di negeri ini?
Kemarin. Setelah makan siang. Pembahasan sudah bukan tentang iklim lagi. Sudah mengarah pada permasalahan negara. Sudah mengarah pada hal-hal yang memang seharusnya sudah dibicarakan.
Saya memang "tersesat" masuk ke dalam workshop ini. Tapi saya bersyukur. Paling tidak. Saya mengerti sudut pandang mereka.
Dari awal workshop ini saya sudah curiga. Ya ya ya. Saya memang terbiasa membaca teks. Yang segala sesuatunya harus dicari struktur batinnya. Harus dicari makna eksplisitnya. Seperti kali ini. Saya bisa membaca ketika mereka memulai acara dengan permainan. Ada empat blok. Lalu, fasilitator memberikan pilihan berbeda di setiap blok. Peserta diberi kebebasan untuk memilih menurut hatinya. Ya. Saya tahu. Kebebasan individu yang ditekankan di situ. Lantas, kebebasan yang seperti apa? Kebebasan yang tanpa mengganggu kebebasan orang lain, kata mereka. Sampai sejauh mana? Ini masih sangat bias.
Mereka berpendapat bahwa tidak ada yang salah dengan dunia ini. Kaya. Miskin. Masuk UI. Tidak masuk UI. Adalah sebuah pilihan. Well, bisalah itu disebut pilihan. Tapi bagaimana dengan orang-orang yang terkungkung karena sistem kapitalis. Mereka tidak bisa bergerak. Bahkan memilih untuk hidup mereka pun takbisa. Apakah mereka dengan sengaja memilih untuk menjadi tidak kaya? Atau mereka sengaja memilih tidak punya rumah? Saya rasa tidak.
Mereka takpunya pilihan yang bisa diperjuangkan. Terbentur banyak hal. Lantas mereka terperangkap dalam sistem tersebut.
Saya memang sedikit sok tahu tentang hal ini. Tapi, saya gelisah. Unsur kemanusiaan saya memberontak. Oke. Banyak hal memang. Banyak hal yang berbenturan. Bias. Dan takterjelaskan. Pertanyaan saya tidak pernah dijawab. Padahal sederhana, saya hanya menanyakan nasib orang-orang yang takpunya pilihan itu. Nasib orang-orang yang terbentur sistem. Mau diapakan mereka? Masih tetap menganggap itu pilihan mereka? Konyol!
Liberalisme membuat orang berhak menentukan pilihan hidupnya, termasuk tentang mengembangkan modal. Hal ini memunculkan persaingan bebas, yang nantinya berujung pada kapitalisme. Saya juga tidak memungkiri jika saya juga pengguna produk kapitalis. Tapi, menjadi tidak wajar ketika yang kaya menjadi semakin kaya. Yang miskin akan semakin miskin. Pemilik modal itu sama sekali tidak peduli pada orang-orang yang takpunya akses. Sepertinya, bagi mereka, profit menjadi tujuan utama. Pragmatis. Praktis. Yang penting eksis. Mungkin seperti itu.
Saya juga taksuka menganut sistem sama rata sama rasa. Itu pun takadil. Orang yang bekerja keras layak mendapatkan lebih. Tapi sungguh menjadi takadil ketika menjadi takpeduli pada orang-orang yang membutuhkan uluran tangan.
Kata mereka lagi. Pada dasarnya, setiap orang liberal. Setiap orang sudah memilih kehidupannya masing-masing. Tapi, banyak yang tidak mengakui itu. Untuk bagian ini, saya masih takbegitu paham. Ketika diskusi di luar forum pun, saya takmendapat jawaban lugas. Paling tidak. Saya sudah mengerti jalan pikiran orang-orang liberal. Mengikuti atau tidak, itu penuh menjadi hak saya.
Lantas, apakah saya salah jika meragukan bahwa liberalisme dapat diterapkan secara utuh di negeri ini?
Jumat, 18 Mei 2012
Workshop "Freedom and the Politics of Climate Change"
Baiklah. Kali ini saya memang berdosa. Mencuri-curi waktu di tengah seminar. Tapi bagaimana lagi. Saya sudah tidak tahan untuk tidak menulis. Hanya catatan sebenarnya.
Pada awalnya, saya ikut seminar ini karena diajak teman. Hanya itu. Jujur. Saya tidak tahu bagaimana bentuk seminar. Bahkan judulnya pun saya taktahu. Parah. Iya memang.
Namun, setelah sampai di tempat, ternyata judul diskusinya adalah "Freedom and the Politics of Climate Change". Well, saya tidak tahu itu apa. Haha. Saya memang payah.
Namun, pembahasan-pembahasan berikutnya (tentu saja) tentang perubahan iklim.
Apa coba? Saya masih tidak mengerti apa yang sedang diomongkan di depan. Climate Change. Perubahan Iklim. Sama saja. Iya. Saya tahu. Iklim akan terus berubah. Seiring manusia yang juga terus berubah. Bagaimana mungkin iklim tidak berubah, sedangkan manusia saja setiap hari berubah. Letih. Dari dulu yang dipermasalahkan tetap sama. Penyebab. Dampak. Solusi yang tidak solutif. Lantas bagaimana? Dari dulu, saya juga tidak pernah merasakan bagaimana dampak pemanasan global. Setiap waktu juga sama. Panas. Terus dengan kita melakukan hal-hal yang dianjurkan panas akan berubah dingin? Saya rasa tidak. Wajar saja iklim berubah. Lalu, mengapa harus dipermasalahkan? Bosan!
Abaikanlah itu.
Hei, saya baru sadar. Judul acara ini adalah "Freedom and the Politics of Climate Change". Freedom. Kebebasan. Liberal. Saya suka kata itu. Mengapa kita tidak membahas hal itu saja? Biar ramai. Biar teriak sampai serak. Dari kemarin. Saya menunggu.
Di luar berisik. Di dalam terganggu. Lantas menegur yang di luar. Terus? Di mana liberalnya? Katanya liberal. Batasannya apa? Saya semakin pusing dengan satu kata itu. Batasan mengganggu. Batasan tidak mengganggu.
Haha
Sangat mengingat jelas. Akhir-akhir ini bahasan tentang liberalisme sedang hangat. Panas malah. Seminarnya sih tentang perubahan iklim. Tapi, saya tahu. Ada tiupan perlahan tentang paham liberal yang disisipkan dalam workshop ini. Ah, saya tadi menyebutnya seminar. Maafkanlah saya. Ini workshop yaa. Haha
Setiap kali diskusi, kami diperbolehkan memilih. Memilih pendapat. Memilih tempat. Suka-suka. Lantas, yang masih saya pertanyakan sampai sekarang adalah batasan memilih itu sampai mana? Sampai ujung dunia? Saya semakin ngaco.
Ini masih pagi. Masih hari kedua. Mudah-mudahan nanti sesi selanjutnya bahasan tentang liberalisme sudah tidak gerilya lagi. Sudah blak-blakan. Toh, katanya liberal. Bebas saja mengajukan paham. Saya juga bebas saja menerima paham baru. Bukan berarti harus masuk ke dalamnya. Ah, tidak memilih apa pun juga sebuah kebebasan, bukan?
Pada awalnya, saya ikut seminar ini karena diajak teman. Hanya itu. Jujur. Saya tidak tahu bagaimana bentuk seminar. Bahkan judulnya pun saya taktahu. Parah. Iya memang.
Namun, setelah sampai di tempat, ternyata judul diskusinya adalah "Freedom and the Politics of Climate Change". Well, saya tidak tahu itu apa. Haha. Saya memang payah.
Namun, pembahasan-pembahasan berikutnya (tentu saja) tentang perubahan iklim.
Apa coba? Saya masih tidak mengerti apa yang sedang diomongkan di depan. Climate Change. Perubahan Iklim. Sama saja. Iya. Saya tahu. Iklim akan terus berubah. Seiring manusia yang juga terus berubah. Bagaimana mungkin iklim tidak berubah, sedangkan manusia saja setiap hari berubah. Letih. Dari dulu yang dipermasalahkan tetap sama. Penyebab. Dampak. Solusi yang tidak solutif. Lantas bagaimana? Dari dulu, saya juga tidak pernah merasakan bagaimana dampak pemanasan global. Setiap waktu juga sama. Panas. Terus dengan kita melakukan hal-hal yang dianjurkan panas akan berubah dingin? Saya rasa tidak. Wajar saja iklim berubah. Lalu, mengapa harus dipermasalahkan? Bosan!
Abaikanlah itu.
Hei, saya baru sadar. Judul acara ini adalah "Freedom and the Politics of Climate Change". Freedom. Kebebasan. Liberal. Saya suka kata itu. Mengapa kita tidak membahas hal itu saja? Biar ramai. Biar teriak sampai serak. Dari kemarin. Saya menunggu.
Di luar berisik. Di dalam terganggu. Lantas menegur yang di luar. Terus? Di mana liberalnya? Katanya liberal. Batasannya apa? Saya semakin pusing dengan satu kata itu. Batasan mengganggu. Batasan tidak mengganggu.
Haha
Sangat mengingat jelas. Akhir-akhir ini bahasan tentang liberalisme sedang hangat. Panas malah. Seminarnya sih tentang perubahan iklim. Tapi, saya tahu. Ada tiupan perlahan tentang paham liberal yang disisipkan dalam workshop ini. Ah, saya tadi menyebutnya seminar. Maafkanlah saya. Ini workshop yaa. Haha
Setiap kali diskusi, kami diperbolehkan memilih. Memilih pendapat. Memilih tempat. Suka-suka. Lantas, yang masih saya pertanyakan sampai sekarang adalah batasan memilih itu sampai mana? Sampai ujung dunia? Saya semakin ngaco.
Ini masih pagi. Masih hari kedua. Mudah-mudahan nanti sesi selanjutnya bahasan tentang liberalisme sudah tidak gerilya lagi. Sudah blak-blakan. Toh, katanya liberal. Bebas saja mengajukan paham. Saya juga bebas saja menerima paham baru. Bukan berarti harus masuk ke dalamnya. Ah, tidak memilih apa pun juga sebuah kebebasan, bukan?
Senin, 14 Mei 2012
menanam luka
pada seikat kata aku percaya. ada kamu di sana. menungguku. dalam gelap. oh. mungkin aku yang malah menunggumu dalam senyap. aku takpernah tahu. apakah kamu. kapankah kamu.
kadang. aku terlalu haru. lupa pada hakikat. buncah pada gelisah. siapakah aku. aku (mungkin) yang tumbuh bergeliat di hatimu. rajin menanam luka. atau perih. lantas, kamu juga rajin menanam cinta.
"agar luka yang kautanam takjadi belukar," katamu suatu waktu ketika kutanya apa yang sedang kamu kerjakan.
meleleh. siapa yang takmeleleh jika terbakar terus menerus. kamu yang membakar aku. serupa lilin. yang dibakar gelap.
tapi tetap saja. aku takpernah bisa mengalah pada altar egoku. terlalu angkuh. kamu juga bilang begitu.
sudahlah. terlalu banyak aku menulis tentangmu. nanti muak. aku taktanggung jika kamu bosan. maaf.
kadang. aku terlalu haru. lupa pada hakikat. buncah pada gelisah. siapakah aku. aku (mungkin) yang tumbuh bergeliat di hatimu. rajin menanam luka. atau perih. lantas, kamu juga rajin menanam cinta.
"agar luka yang kautanam takjadi belukar," katamu suatu waktu ketika kutanya apa yang sedang kamu kerjakan.
meleleh. siapa yang takmeleleh jika terbakar terus menerus. kamu yang membakar aku. serupa lilin. yang dibakar gelap.
tapi tetap saja. aku takpernah bisa mengalah pada altar egoku. terlalu angkuh. kamu juga bilang begitu.
sudahlah. terlalu banyak aku menulis tentangmu. nanti muak. aku taktanggung jika kamu bosan. maaf.
Kamis, 10 Mei 2012
World Class University: Antara Merakyat dan Melarat.
Saya teringat. Setiap hari senin, setiap mata kuliah Kritik Sastra di gedung IV FIB UI. Kami harus berbagi LCD dengan kelas sebelah. Kami memulai kelas pada pukul 10.00, sedangkan kelas sebelah pukul 11.00. Kami sama-sama membutuhkan LCD untuk presentasi, tetapi yang ada hanya ucapan, "LCD habis. Semuanya terpakai. Kalau mau gantian."
Baiklah. Berbagi LCD. Mungkin, istilahnya terlalu romantis. Tapi, jujur ini miris. Bagaimana mungkin, kami harus memotong presentasi kami pada pukul 11.00 karena kelas sebelah harus memulai presentasinya juga. Sementara, pembahasan belum selesai.
Mau takmau. Kami pun harus merelakannya. Berbagi LCD. Meski harus mengelus dada. Enthlah. Universitas yang (katanya) berkelas internasional tidak memiliki LCD sejumlah kelas. Mungkin, kami harus merakyat. Menggunakan papan tulis dan spidol. Kembali pada zaman antahberantah.
Takhanya itu. Hampir setiap hari. Kami pun harus berbagi bangku. Lagi-lagi kami diajari untuk berbagi dengan sesama. Ya. Berbagi bangku. Lebih romantis bukan kedengarannya?
Setiap pagi. Ada saja pemindahan bangku dari satu kelas ke kelas yang lain. Bangku diseret-seret. Diangkat-angkat. Mengganggu! Kelas takpunya bangku sejumlah mahasiswanya. Parahnya, berbagi bangku ini terjadi antarlantai. Mahasiswa harus naik atau turun untuk mengambil bangku di kelas yang kosong.
Baiklah. Masih beruntung bisa kebagian. Yang datang terlalu telat dapat dipastikan akan duduk lesehan. Atau tidak perlu masuk kelas karena tidak ada bangku.
Suatu saat, kami harus terheran-heran kembali. Pasalnya, bangku yang ada adalah bangku seminar (tanpa ada meja). Well, ini lucu. Kami tidak boleh menulis karena tidak ada sandaran untuk menulis. Terpaksa lagi. Kami harus menerima keadaan itu dengan lapang dada.
Itu masih belum seberapa. Hari Rabu, 9 Mei 2012, kami harus kuliah di ruang 4309. Kelas kosong. Hanya ada papan tulis, meja dan kursi dosen, serta meja LCD. Taksatu pun bangku untuk mahasiswa di sana. Kami harus lesehan. Duduk di bawah. Seperti akan pengajian. Bangku di gedung itu sudah terpakai semuanya. Tidak mungkin kami mengambil bangku di gedung lainnya.
Lantas, bagaimana dengan gembar-gembor World Class University? Ataukah kami harus diajari merakyat agar takketahuan kalau melarat? Entah. Berbagi LCD dan berbagi bangku. Miris. Lalu, berbagi apa lagi nanti? Mungkin berbagi kelas. Sebab mahasiswa yang diterima melebihi kuota.
Baiklah. Berbagi LCD. Mungkin, istilahnya terlalu romantis. Tapi, jujur ini miris. Bagaimana mungkin, kami harus memotong presentasi kami pada pukul 11.00 karena kelas sebelah harus memulai presentasinya juga. Sementara, pembahasan belum selesai.
Mau takmau. Kami pun harus merelakannya. Berbagi LCD. Meski harus mengelus dada. Enthlah. Universitas yang (katanya) berkelas internasional tidak memiliki LCD sejumlah kelas. Mungkin, kami harus merakyat. Menggunakan papan tulis dan spidol. Kembali pada zaman antahberantah.
Takhanya itu. Hampir setiap hari. Kami pun harus berbagi bangku. Lagi-lagi kami diajari untuk berbagi dengan sesama. Ya. Berbagi bangku. Lebih romantis bukan kedengarannya?
Setiap pagi. Ada saja pemindahan bangku dari satu kelas ke kelas yang lain. Bangku diseret-seret. Diangkat-angkat. Mengganggu! Kelas takpunya bangku sejumlah mahasiswanya. Parahnya, berbagi bangku ini terjadi antarlantai. Mahasiswa harus naik atau turun untuk mengambil bangku di kelas yang kosong.
Baiklah. Masih beruntung bisa kebagian. Yang datang terlalu telat dapat dipastikan akan duduk lesehan. Atau tidak perlu masuk kelas karena tidak ada bangku.
Suatu saat, kami harus terheran-heran kembali. Pasalnya, bangku yang ada adalah bangku seminar (tanpa ada meja). Well, ini lucu. Kami tidak boleh menulis karena tidak ada sandaran untuk menulis. Terpaksa lagi. Kami harus menerima keadaan itu dengan lapang dada.
Itu masih belum seberapa. Hari Rabu, 9 Mei 2012, kami harus kuliah di ruang 4309. Kelas kosong. Hanya ada papan tulis, meja dan kursi dosen, serta meja LCD. Taksatu pun bangku untuk mahasiswa di sana. Kami harus lesehan. Duduk di bawah. Seperti akan pengajian. Bangku di gedung itu sudah terpakai semuanya. Tidak mungkin kami mengambil bangku di gedung lainnya.
Lantas, bagaimana dengan gembar-gembor World Class University? Ataukah kami harus diajari merakyat agar takketahuan kalau melarat? Entah. Berbagi LCD dan berbagi bangku. Miris. Lalu, berbagi apa lagi nanti? Mungkin berbagi kelas. Sebab mahasiswa yang diterima melebihi kuota.
Rabu, 02 Mei 2012
jatuh cinta
waktu memang terlalu cepat membawa kita pada hal lain. termasuk jatuh cinta. siapa sangka. aku bisa jatuh cinta padamu. setelah banyak waktu yang kita habiskan bersama.
Langganan:
Postingan (Atom)