"Si A hamil." suara mama saya di seberang sana. A adalah teman SD saya. Cukup akrab. Saya kaget. Sedikit tidak menyangka. A anak yang cukup pendiam. Tentu saja, dia hamil di luar nikah sehingga membuat saya keheranan.
Ini negeri timur. Masih sangat menganggap tabu perempuan yang hamil sebelum pernikahan.
Entahlah. Saya tidak mengerti apa yang dilakukan A. Saya tidak menyalahkan siapa pun jika perbuatannya atas dasar suka sama suka. Sudahlah. Pernyataan ini terbebas dari agama mana pun. Saya tidak berniat melawan agama apa pun.
Saya menyayangkan kejadian ini. Kali ini teman saya. Kemarin, sepupu saya. Saya hanya bisa menghela napas panjang. Mereka perempuan. Saya perempuan. Saya tidak mempermasalahkan jika mereka hamil lalu menikah dan hidup berbahagia. Tapi, sayangnya, cerita negeri dongeng seperti itu memang hanya ada di dalam negeri dongeng. Faktanya, mereka tersisih. Laki-lakinya pergi entah ke mana. Melepas tanggung jawab begitu saja. Sungguh. Saya selalu sakit hati dengan cerita seperti ini. Ingin rasanya mengejar "pacar-pacar" mereka untuk meminta pertanggungjawaban. Atau jika perlu memakinya.
(Lagi-lagi) perempuan. Teman dan sepupu saya (bisa-bisanya) masih membela "pacar-pacar" mereka. Yang dipersalahkan memang perempuan. Yang menanggung beban juga perempuan.
Entahlah. Saya tidak tahu apa yang dipikirkan oleh teman dan sepupu saya ketika menyerahkan keperawanannya begitu saja pada lelaki yang belum tentu bertanggung jawab padanya. Mungkin, termakan rayuan. Mungkin, memang takbisa menahan nafsu. Atau mungkin, larut dalam suasana. Saya tidak habis pikir.
Baiklah. Pemikiran setiap orang memang berbeda. Saya terbiasa menghadapi sesuatu dengan logika saya. Bukan dengan perasaan! Bahkan, untuk sekadar urusan jatuh cinta. Saya menimbang baik-buruk dalam setiap langkah yang saya lakukan. Mungkin, saya terlalu ekstrem menjadi perempuan. Biarlah.
Ah, sudahlah. Saya hanya mengingatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar