Hurip iku Hurup
Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.
Minggu, 09 Oktober 2011
Ayah. Ayah. Ayah
Jika sedang banyak hal seperti ini, aku jadi kangen ayah. Kangen lelucon-leluconnya yang kadang terasa garing dan kering, tapi bisa membuatku terbahak. Kadang aku hanya menyenangkannya atau memang tak ada hal lain yang patut ditertawakan.
Tak ada nasihat yang diucapkannya untuk menyederhanakan masalahku. Tapi, aku tahu. leluconnya itu untuk memastikan bahwa aku masih baik-baik saja. Leluconnya itu mewakili kalimat-kalimatnya yang (seharusnya) panjang. Yang mungkin berinti, "Ini bahu dan telinga untukmu!"
Aku sering menangis di bahunya. Meski tak kekar, tapi mampu membuatku betah berlama-lama di sana. Aku sering bercerita banyak dan ayah hanya mendengarkan. Kadang menimpali ceritaku dengan lelucon yang sama sekali tak penting. Tapi itulah yang membuatku rindu.
Ah, ayah. Selalu mampu membuatku terharu.
Aku tak tinggal serumah lagi dengan ayah. Sudah lebih dari 2 tahun. Selalu. Ayah yang memulai percakapan denganku. meneleponku. Kadang terangkat, kadang tidak. Maaf. Aku selalu (terlalu) sibuk di kota ini. Hampir tak pernah ada waktu untuk sekadar bilang, "Aku baik-baik saja," pada ayah. Senggangku ketika sudah larut. Ketika malam seperti ini. Ketika di sana sudah tak ada kehidupan lagi. Aku tak bisa menelepon ayah. Jam di dinding kamarku sudah bertengger di angka 11.35. Hampir tengah malam. Ayahku sudah terlelap, pastinya. Dan aku tak mau mengganggu istirahatnya.
Aku tahu, tak ada laki-laki yang mencintaiku melebihi dirinya, selain ayahku.
Akhir-akhir ini terlalu banyak hal yang harus kukerjakan. Aku ragu. Apakah aku sanggup mengerjakannya atau tidak. Jika sedang begini. Aku butuh ayah. Butuh ayah untuk menenangkanku dan mengatakan semuanya akan terselesaikan dengan baik.
Sungguh. Aku rindu ayah.
**pada kamar yang menjagaku sepanjang malam
bangunkan aku pagi-pagi agar aku bisa menelepon ayah.
jangan sampai keduluan matahari
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar