Setelah beberapa hari meratapi IP dan IPK saya yang terjun bebas, saya akhirnya menyadari bahwa bukan itu satu-satunya tujuan hidup saya. Masih ada banyak hal yang harus saya kejar. Ada banyak hal yang harus saya capai.
Tadi siang, saya bertemu dengan teman sekelas saya. “Ah, hidup menjadi lebih indah dengan cinta, ya?” dia bergumam di sebelah saya. Tentu saja, saya terhenyak dan hanya mengangguk takpasti. Saya tidak tahu mengapa airmuka saya berubah. Cinta? Ah, lagi-lagi satu kata itu. Teman saya itu bercerita bahwa dia baru saja menemukan seseorang yang selama ini dia impikan. Mirip dongeng, tapi biarlah. Dia terlihat sangat bahagia. Matanya berbinar-binar. Layaknya remaja yang baru saja menemukan cinta monyetnya. Saya ikut senang. Sangat senang. Namun, kesenangan itu hanya untuk dia. Lantas, saya berpikir ulang. Cinta. Satu kata itu. Lagi-lagi memenuhi rongga dada. Membuat sesak ruang yang sudah memang sudah menyempit. Membuat mata saya berkaca-kaca.
Aku takpernah tahu rasa yang ada ini cinta atau bukan. Yang pasti, aku bahagia melihatmu bahagia. Aku bahagia membiarkanmu bahagia dengannya. Ya. Kamu tiba-tiba saja pergi. Meninggalkanku di sini. Sendiri. Dan berharap padamu agar datang suatu saat nanti. Entah kapan. Tapi, mungkin, kamu takpernah hadir kembali di tengah-tengah kebahagiaanku. Alangkah sepi halaman. Alangkah sepi ladang hatiku. Lalu, pinus-pinus di halaman pun layu. Aku pun takbisa lagi merayumu. Atau mencumbumu agar tetap bersamaku. Aku kesepian sekarang. Tanpa namamu. Tanpa kamu.
Inikah cinta? Cinta yang membiarkanmu pergi tanpa menengok lagi ke perigi. Perigi yang pernah kita lukis bersama di langit. Sumber kisah kita yang tak pernah kering, katamu. Aku hanya mengangguk senang. Ataukah inikah kisah? Kisah yang selalu saja berulang padaku. Yang takpernah berubah formula ceritanya. Layaknya tradisi lisan yang didongengkan berkali-kali. Mungkin, hanya berubah tempat dan waktu. Tokohnya aku dan kamu. Entahlah.
Aku pun takpernah mengerti. Apa yang ada di otakku. Aku bahagia bersamamu. Itu saja. Yang membuatku senang di dekatmu. Itu saja. Yang membuatku menangis ketika kamu lebih memilih dia meskipun aku rela. Kamu dan dia taksalah. Di antara kita takpernah ada komitmen. Apa pun. Hanya saja. Aku yang terlalu menikmati setiap detik bersamamu.
“Emang kamunya yang gak membuka diri, gimana bisa dia tahu?” teman saya berceloteh tiba-tiba. Seolah tahu apa yang saya pikirkan. Saya mengangkat bahu. Sedikit setuju. Sedikit taksetuju. Selama ini, saya tidak merasa menutup diri dari orang-orang. Saya senang berteman dengan banyak orang. Saya senang berkenalan dengan banyak orang. Tapi, entahlah. Saya belum terlalu memikirkan jodoh atau apa pun yang berkaitan dengan itu.
Kembali lagi ke paragraf pertama, saya masih ingin mengejar mimpi-mimpi saya. Masih ingin mendapatkan apa pun yang saya mau. Saya tidak ingin jatuh dan terjebak pada kisah cinta picisan seperti ini. Saya tidak ingin karier saya hancur hanya gara-gara saya perempuan lemah yang jatuh cinta pada lelaki yang tidak mencintai saya. Tidak. Itu tidak akan terjadi. Saya menulis ini hanya ingin menyadarkan diri saya sendiri bahwa kisah seperti ini hanya layak masuk dustbin hidup saya. Tidak untuk dikenang. Ya. Orang tua saya jauh lebih bahagia ketika melihat saya berprestasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar