Bagaimana bisa aku menemuimu, membayangkanmu saja susah.
Bagaimana bisa aku mengirim surat untukmu, menitip salam saja aku tak sanggup.
Oh, Kekasihku. Kekasihku.
Sedikit cuplikan lagu dari seorang pengamen kecil di angkot 04, jurusan Depok—Pasar Minggu, yang aku tumpangi. Senja itu. Gerimis. Suasana syahdu. Aku hampir menangis. Kuberikan selembar uang kertas untuknya. Entah berapa nilainya. Aku tak sempat melihat. Biarlah. Rezekinya.
Suaranya indah. Indah sekali. Dia mengucapkan kalimat pembuka sebelum dia bernyanyi. Ah, teknik komunikasi yang sudah cukup baik untuk anak seusianya, pikirku. Andai saja nasibnya sedikit lebih baik. Dia bisa sekolah. Dia bisa dengan mudah berpresentasi di depan teman-temannya. Dia bisa menjadi vokalis atau gitaris dalam band sekolah. Dia bisa menjadi juara 1. Ah, banyak sekali yang seharusnya bisa dia raih.
Namun, aku sedikit tersadar. Ada sesuatu yang salah di sini. Lagu yang dia bawakan. Entah. Itu lagu siapa. Aku tak pernah tahu. Harusnya dia masih anak-anak. Belum saatnya mengonsumsi lagu-lagu dewasa. Harusnya dia masih menyanyikan lagu anak-anak. Lagu tentang persahabatan, tentang cinta pada orang tua, tentang cinta pada Tuhan, tentang cinta pada alam, dan tentang cinta yang lebih universal. Tak sebatas hanya cinta romantis antara laki-laki dan perempuan yang seharusnya dikonsumsi oleh orang-orang yang sudah dewasa.
Siapa yang salah? Entahlah.
Begitu sulit menjawab pertanyaan itu. Dunia anak-anak tiba-tiba tak ada jejak. Tak ada batas antara anak, remaja, dan dewasa. Apa yang dikonsumsi oleh remaja dan dewasa juga turut dikonsumsi oleh anak-anak. Lagu anak seolah mati setelah penyanyi-penyanyi cilik seperti Trio Kwek-Kwek, Sherina, Joshua, Tasya, dan lain-lain beranjak dewasa. Lagu-lagu mereka pun hanya sebatas masanya. Tak ada regenerasi. Tak ada pembibitan baru. Demand akan lagu-lagu tentang cinta meningkat. Tak elak, band-band dengan lagu bertema cinta pun menjamur. Produser musik sepertinya terlena dengan munculnya band-band sejenis ini. Ya, penghasilan pun meningkat karena adanya trend baru di dunia musik di Indonesia. Membanggakan atau menyedihkan? (lagi-lagi) aku pun tak bisa menjawab. Kasihan anak-anak itu. Seharusnya mereka punya lagu sendiri yang bisa mereka kenang saat sudah dewasa nanti. Bukan menghapal lirik dari lagu-lagu band picisan yang (maaf) sedikit tidak mendidik untuk perkembangan psikologis anak-anak. Ironisnya, lagu yang dinyanyikan dalam program pencarian bakat penyanyi anak pun tergolong lagu dewasa. Lalu, di mana anak akan mencari tuntunan dan role mode untuk lagu anak-anak?
Fenomena ini tak hanya terjadi dalam lagu anak. Cerita anak pun mulai terkikis. Terlebih untuk cerita anak asli Indonesia, semakin hilang di peredaran. Kegiatan mendongeng hampir punah. Memang mencengangkan. Anak-anak sekarang jarang sekali yang paham dan tahu akan dongeng, seperti Malin Kundang, Si Kancil, Sangkuriang, dan sebagainya. Mereka lebih akrab dengan komik Sinchan, Pikatchu, Avatar, atau apa pun lah. Bahkan, karena ketiadaan buku cerita yang memadai, anak-anak usia sekolah dasar sudah membaca teenlit. Oh Tuhan. Padahal di dalam sebuah dongeng dan hikayat banyak terkandung nilai-nilai lokal yang membuat kecerdasan, daya analisis, dan kekritisan mereka meningkat. Dewasa ini, anak sangat dimanjakan dengan cerita-cerita yang mengajarkan kehidupan yang serba instan, easy going, kesenangan sesaat, bahkan hedonisme. Padahal, sebuah dongeng mengajarkan bagaimana kehidupan yang sesungguhnya. Sebagai contoh, dalam dongeng Si Kancil, anak akan diajarkan bagaimana memecahkan masalah dengan kepercayaan dirinya. Kancil adalah binatang yang kecil dan lemah, tetapi dia mampu mengalahkan buaya yang hendak memakannya dengan kecerdasan yang dimilikinya. Ini mengajarkan anak untuk memiliki nyali dan menyadari potensi dirinya. Bukan dengan cerita peri-peri atau Doraemon yang membuat anak memiliki mental ketergantungan.
Sayangnya, dunia anak yang terebut pun tak berhenti pada lagu dan cerita anak. Permainan anak pun harus menjadi korban berikutnya. Banyak permainan tradisional yang harus rela terenggut dari keceriaan anak-anak. Berapa banyak anak yang masih mahir memainkan bola bekel, gobak sodor, kucing & tikus, atau bahkan congklak? Tak terhitung. Ya tak terhitung sedikitnya. Teknologi sudah mampu mengalihkan perhatian mereka. Bermain play station, video game, game online, dan blackberry lebih menarik daripada harus bermain permainan tradisional yang membutuhkan partner. Sikap individualistik sepertinya sudah mendarah daging.
Dunia memang sudah berubah. Beralih ke hal-hal yang lebih instan. Seharusnya, orang tua menjadi agen penting untuk mengembalikan nilai-nilai budaya pada anak, tapi sayangnya, orang tua malah sebagai fasilitator yang mendukung adanya pemusnahan dunia anak ini. Dengan alasan tuntutan ekonomi, orang tua bekerja pagi—malam. Anak dibiarkan tumbuh tanpa ada pendampingan. Semua fasilitas diberikan tanpa ada pembelajaran. Kalau saja, 30 menit waktu orang tua diberikan pada anak dan digunakan secara maksimal, niscaya anak-anak itu tidak akan kehilangan masa kecilnya. Ya, tak banyak bukan? Orang tua bisa bermain, mengajarkan ke anak lagu-lagu yang semestinya dinyanyikannya, mendongeng, membuat mainan, bahkan bercerita. Ya, sosialisasi primer dalam keluarga memegang peran penting untuk pertumbuhan usia emas anak. Terbukti, bahwa sebagian besar orang-orang yang bermoral baik adalah orang yang diperlakukan baik di dalam keluarganya.
Semoga saja keadaan ini hanyalah kematian suri dari dunia anak-anak. Suatu saat, dia bisa bangkit kembali dan kembali menjadi dunia anak yang ceria, menyenangkan, dan sesuai.
Teman, kelak suatu saat, kita akan menjadi orang tua yang memiliki anak-anak. Anak-anak itu adalah sebuah pilihan. Kita akan membawa mereka ke mana? Karena pilihan kita menentukan kualitas bangsa ini ketika mereka menjadi pemegang kekuasaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar