sumber di sini!
Aku pernah berdoa suatu kali pada Tuhan: memohon agar aku sekali saja sempat dipertemukanmu kembali setelah malam-malam sepiku tanpa kamu. Pada saat itu, aku hanya rindu tentang banyak hal tentangmu. Namun, hidup harus tetap berjalan, bukan? Dengan atau tanpa kamu.
Aku mengobati lukaku sendiri, tanpa mencari orang lain sebagai pengering luka-luka yang diam-diam kamu tanam. Aku melakukannya seorang diri. Mencintai diri pun kulakukan berkali-kali lipat agar aku tak mudah terluka, agar panah dari orang tak mudah tertancap dalam. Aku belajar banyak darimu: mencintaimu yang terlalu, membuatku tak kebal peluru.
Hingga akhirnya, aku menyadari satu hal: hidupku ternyata jauh lebih baik tanpa kamu. Tangis berhari-hari untukmu kuanggap sebagai peluruh rindu. Hingga akhirnya, aku pun lupa pada doaku pada Tuhan yang terlalu itu: bertemu kamu. Kukira sudah tidak perlu lagi kamu hadir dalam hidupku.
Aku tetap bahagia melihatmu bersamanya, tanpa syarat dan embel-embel. Hanya saja memang, setelah kamu, hidupku jauh berubah. Aku tak lagi bisa menaruh hati sembarangan, aku setakut itu untuk terluka kembali.
Hanya saja, Tuhan memang suka bercanda, ya?
"Hei, apa kabar?" Ada suara yang bagiku sangat tidak asing. Aku mendongak. Kamu. Berdiri di depanku secara tiba-tiba. Untuk pertama kalinya, setelah kepergianmu yang tiba-tiba itu.
Pertemuan ini, sudah kuperhitungkan sebab aku melihat nama panjangmu di daftar peserta seminar yang juga kuikuti.
Aku hanya tersenyum, lalu menjawab baik dengan tersenyum lebar. Padahal, ingin sekali aku menjawab, "I'm totally fine. My life is running better without you!"
Aku tak ingin bercakap lebih lanjut. Itu saja.
"Duluan, ya!" Aku melambaikan tangan, gesture tubuhmu seolah menahan. Aku harus menyelesaikan sesuatu di tempat lain. Dan, memang, aku tak ingin terlibat apa-apa lagi denganmu, termasuk hanya menanyakan "Sedang sibuk apa sekarang?"
Bagaimanapun, aku harus berterima kasih padamu. Tanpamu, aku tidak tahu caranya mengobati luka yang begitu menyakitkan seorang diri.