Kamu apa kabar?
Kalimat aku bahagia melihatmu bahagia masih berlaku untukmu sampai saat ini. Jangan khawatir. Aku tidak akan menarik perkataanku, dalam sedih maupun bahagia.
Aku tahu tanpa kamu cerita. Kamu sudah menemukan kebahagiaanmu, bukan? Lama. Sudah lama sekali. Terlihat lengkap sekali kebahagiaanmu. Tentu saja, tanpa ada aku di dalamnya. Tidak masalah.
Lalu, aku bagaimana?
Tentu saja bukan kamu yang bertanya atas pertanyaan itu. Aku saja yang sedang mempertanyakan diriku sendiri.
Jika mungkin kau sempat memikirkanku, kubilang, tidak perlu terlalu mencemaskanku. Aku sudah sangat andal dalam menyembunyikan segala sesuatunya, termasuk kecemasan-kecemasan yang mulai menghantuiku. Aku masih bisa terbahak di antara banyak-banyak orang. Jangan sedih.
Kegiatan sehari-hariku masih seperti biasanya. Pagi mengajar hingga sore, kadang diselingi dengan menulis dan meneliti. Lalu sore menjelang malam, aku pulang. Dan, malam-malam sepi akan berulang setiap harinya.
Setelah kamu, hampir tidak ada lagi malam-malam yang berlalu begitu cepat. Semuanya melambat dan menyepi. Aku tak lagi bisa bercerita panjang-panjang pada seseorang lainnya. Aku tak lagi punya kepercayaan diri untuk menemukan rumah. Sebab, kamu yang kukira rumah saja, ternyata hanya singgah. Ternyata aku hanya sewa dari tubuh perempuan yang memintamu pulang.
Kamu pernah memintaku jangan pergi, nyatanya kamu yang pergi. Jauh, jauh sekali.
Sudah berapa lama dari terakhir kita berbicara? Mungkin empat, mungkin lima tahun yang lalu. Apa kamu juga masih mengingatnya? Kukira tidak. Dan memang tidak perlu.
Aku tetiba saja mengingatmu. Sebab, aku sedang rindu pulang. Terakhir kali aku merasa punya rumah adalah kamu. Sedang sekarang yang kukira rumah itu ternyata milik perempuan lain.
Tenang saja, aku sama sekali tidak ada niatan untuk menjadikanmu rumahku lagi. Aku hanya sedang membenci diriku sendiri yang tidak juga percaya bahwa rumah bukan hanya utopia.
Setelah kamu, perihal hati ini memang jauh lebih rumit.
Untuk K.
Depok, 9 Agustus 2019