Hidup sendirian di rumah bersama dengan seorang penjaga rumah membuat saya harus berpikir berulang kali lipat untuk nantinya merekrut seorang asisten rumah tangga. Kedua orang tua saya sedang pergi haji, saya bertugas untuk menjaga dua rumah, satu rumah oma saya dan satu rumah keluarga saya. Seorang penjaga rumah akan datang ketika malam menjelang dan tidur di rumah oma saya, sedangkan saya tetap sendirian di rumah saya.
Meskipun demikian, ada hal-hal yang kadang membuat saya jengkel karena saya tidak terlalu berani menegur pada si penjaga rumah. Jadi, begini, kadang saya harus bernapas panjang-panjang ketika bangun tidur dan membuka pintu, kemudian mendapati sampah kupasan kulit mangga di pinggir kolam. Atau kulit telur yang tercecer di bawah jemuran. Atau juga gelas dan piring kotor yang diletakkan begitu saja di meja. Atau sampah-sampah daun yang dibiarkan menumpuk. Dan, tentu saja, yang akan membersihkan semua itu adalah saya.
Saya tidak berani menyuruh si penjaga rumah untuk membersihkan segala macam persampahan itu--meskipun sebenarnya bayaran yang diterimanya sudah termasuk bayaran membersihkan rumah--karena alasan ia hampir seusia oma saya. Ada lapisan tebal rasa sungkan dan takut untuk menegurnya. Pun dengan omelan-omelan yang harus saya simpan rapat-rapat agar tidak perlu menyakiti siapa pun. Seharusnya memang hal itu remeh-temeh dan saya tidak perlu jengkel, hanya saja itu tidak terjadi sekali atau dua kali. Atau mungkin saya saja yang bersikap berlebihan. Sesungguhnya, saya pun tidak terlalu rajin membersihkan rumah, tapi saya tidak pernah tahan melihat sampah atau piring kotor yang tidak pada tempatnya.
Dari kejadian semacam ini, saya jadi berpikir ulang berkali-kali untuk nantinya merekrut asisten rumah tangga, terlebih baby sitter. Bukan maksud saya untuk menggeneralisasikan bahwa semua orang yang berprofesi sebagai asisten rumah tangga selalu seperti itu--tipe orang-orang yang tidak sepenuhnya peduli pada rumah yang dijaganya--tetapi ternyata saya bukan tipe orang yang bisa percaya untuk menyerahkan pekerjaan kepada orang lain.
Saya jadi berpikir, pasti akan lebih menenangkan jika semua pekerjaan rumah dikerjakan sendiri saja, semampunya. Tidak perlu terlalu ambisius untuk rumah yang selalu tertata sangat rapi, yang penting bersih, tidak bau, dan cukup rapi. Barangkali bagi saya itu cukup daripada harus merekrut asisten rumah tangga, tetapi saya tidak pernah berani menegur perihal kebiasaan-kebiasaan kecil yang tidak sesuai dengan kebiasaan saya. Yang pada akhirnya, saya harus menahan emosi setiap hari, yang bisa jadi meledak pada malam Lebaran.
Begitulah. Barangkali keputusan saya hingga kalimat terakhir ini sudah bulat, saya tidak akan menggunakan jasa asisten rumah tangga nanti setelah saya sudah berumah tangga atau mulai memiliki rumah sendiri.