Akhirnya, sekuel film Jagal atau The Act of Killing yang berjudul Senyap atau The Look of Silence diputar perdana di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki pada tanggal 10 November 2014. Film yang disutradarai Joshua Oppenheimer ini meraih banyak penghargaan dan pujian. Barangkali, memang kedua film ini layak dipuji atas dasar dedikasi untuk mengungkap sebuah sejarah yang selama ini dibungkam. Sejarah kontroversi yang hingga detik ini belum ada penyelesaiannya.
Sedikit berbeda dengan film Jagal, film Senyap bersudut pandang dari keluarga "korban". Dalam hal ini, saya menyebut "korban" dalam tanda petik karena memang harus dipertanyakan kembali siapa "korban" siapa "pahlawan". Film ini menyebut "korban" adalah setiap orang yang dianggap terlibat Partai Komunis Indonesia dan dibunuh. Film ini bermula ketika Adi Rukun--seorang tukang kacamata keliling--yang mendatangi satu per satu orang-orang yang dianggap terlibat dalam pembunuhan kakaknya. Ramli adalah nama kakak Adi Rukun, yang dibunuh secara sangat sadis hingga usus terurai dan tubuh tercincang. Jika membayangkan adegan pembunuhan tersebut, tentu betapa sangat tidak berperikemanusiaan orang-orang yang melakukannya.
Menjadi menarik ketika potongan-potongan dialog antara Adi Rukun dan beberapa orang yang dikatakan dulu terlibat pembunuhan dan sekarang masih berkuasa. Rerata orang-orang itu akan menjawab tidak merasa bersalah, mereka membela negara, dan yang sudah biarlah sudah. Terlihat bagaimana wajah kecewa Adi Rukun ketika mengetahui respons para pembunuh yang seringkali biasa saja itu.
Barangkali, banyak di antara yang menonton film itu yang kemudian serta-merta mengutuk para pembunuh tanpa menengok konteks yang terjadi pada masa itu. Mereka akan dengan senang hati membela orang-orang yang dibunuh. Wajar sekali karena memang dalam wacana film Senyap ditampilkan seperti itu. Hidup memang hanya perang wacana, kok! Dulu, film Arifin C. Noer yang Pengkhianatan G30S/PKI menjadi wacana dominan yang berkembang pada masa itu. Semua orang mencerca PKI atas kematian jenderal-jenderal itu. Sekarang, wacana dominan yang berkembang adalah PKI tidak bersalah dan orang-orang pemerintah yang harus bertanggung jawab atas semua pelanggaran HAM ini. Dulu, siapa pun yang tidak membela pemerintah disebut PKI, sekarang siapa pun yang tidak membela PKI disebut antek Orde Baru. Apakah hidup sehitam putih itu? Jika iya, betapa menyedihkan.
Saya, sebagai pribadi, sangat menghargai film Jagal dan Senyap. Itu hasil kerja yang luar biasa dan tidak mudah. Hanya saja, saya merasa bahwa film ini tidak melancarkan proses rekonsiliasi, tetapi malah menimbulkan banyak dendam. Luka yang memang tidak pernah kering itu harus dicongkel-congkel lagi. Sebelumnya, saya sangat setuju dengan tulisan Yosef Djakababa tentang protesnya terhadap film Jagal yang bisa dibaca di sini.
Jika boleh saya mengutip tulisan Djakababa bahwa apa yang dilakukan oleh Oppenheimer tidak ubahnya sebagaimana yang dilakukan oleh rezim Orde Baru dengan film Pengkhianatan G30S/PKI. Wacana terbagi antara Si Baik dan Si Jahat. Akan tetapi, kemudian penonton filmnya mengelu-elukan bahwa film ini adalah pengungkapan sejarah yang selama ini didiamkan.
Sementara itu, konteks pada masa itu sama sekali tidak disinggung. Sejarah peristiwa 1965 memang mustahil ditampilkan secara utuh. Namun, bukan berarti pengungkapan sejarah tanpa konteks bisa dilakukan. Jika saya bisa secara frontal menyebut bahwa konteks pada saat itu adalah perang. Jika tidak membunuh maka dibunuh. Apakah menjadi salah ketika orang-orang yang membunuh itu merasa membela negara atas kekacauan yang ditimbulkan oleh pihak lawan?
Saya tidak tahu, tetapi merasa yakin bahwa dialog-dialog itu atas arahan sutradara. Pertanyaan dan pernyataan yang dilontarkan oleh Adi Rukun pun takubahnya dengan penulisan sejarah di buku-buku sekolah yang menuding pihak lawan berbohong dan memalsukan sejarah. Dalam film tersebut, ada adegan ketika Adi Rukun membantah semua cerita anaknya yang bersumber dari guru di sekolah anaknya. Pernyataan itu membuat saya mempertanyakan banyak hal. Apakah tidak ada pemaparan sejarah secara lebih holistik. Tidak lagi terbagi atas siapa yang paling benar atau paling salah, siapa yang paling menderita atau siapa yang paling berbahagia.
Dan, satu hal lagi pertanyaan saya, jadi Oppenheimer itu siapa? Jujur saja, saya merasa dia orang yang benar-benar asing, kemudian tetiba datang menawarkan rekonsiliasi, yang barangkali ia tidak tahu rasa setiap orang yang pernah terlibat dalam peristiwa itu. Saya yakin, dalam generasi 2014 ini, setiap orang pasti terlibat paling tidak dua generasi di atasnya. Pilihannya ada dua menjadi yang dibunuh atau membunuh entah dilihat dari sudut pandang mana. Yang jelas, luka itu masih ada, mungkin masih terlampau basah untuk dikorek lagi. Sementara itu, tetiba seorang yang entah siapa datang membawa skenario dan konsep rekonsiliasi di kepalanya yang sama sekali mungkin tidak bisa diterapkan di negeri ini. Entahlah.
Bagaimanapun, saya tetap merekomendasikan kedua film ini ditonton oleh siapa pun sebab kedua film ini adalah film yang memberikan perspektif baru atas sebuah sejarah. Perkara nanti bagaimana interpretasi, itu urusan belakangan yang setiap orang boleh menafsirkannya.
Bagaimanapun, saya tetap merekomendasikan kedua film ini ditonton oleh siapa pun sebab kedua film ini adalah film yang memberikan perspektif baru atas sebuah sejarah. Perkara nanti bagaimana interpretasi, itu urusan belakangan yang setiap orang boleh menafsirkannya.