Seharusnya aku bertemu kekasihmu di stasiun tugu tempo lalu. Sayangnya, kekasihmu takpernah datang. Hingga dini hari. Hingga kereta fajar yang membawaku pergi. Barangkali kekasihmu takpernah mau bertemu denganku. Atau barangkali gemericik air dari langit sejak senja kemarin berhasil mengurungkan niatannya. Atau kekasihmu sedang sakit. Yang pasti tidak ada kabar dari kekasihmu. Sama sekali. Selain menunggu fajar, aku juga menunggu layar. Layar ponsel hitam putihku berkedip. Berharap dari kekasihmu. Ternyata hanya kamu. Kamu yang berkali-kali menanyakan apakah kekasihmu sudah tiba. Aku yang akhirnya berkali-kali juga membalas pertanyaanmu dengan jawaban yang sama. Barangkali, operator seluler kita juga bosan mengirim pesan yang sama berkali-kali. Tapi, peduli apa. Kekasihmu takpernah datang. Takpernah menemuiku di stasiu tugu hingga pekat berganti semburat merah, lalu terang.
Seharusnya aku bertemu kekasihmu di stasiun tugu waktu itu. Sebatas mengucap salam. Barangkali sedikit permohonan maaf dan ucapan terima kasih. Sebab, telah menjagamu. Paling tidak, menjaga hatimu. Lalu, menyampaikan pesanmu yang singkat itu. Sebatas selembar kertas. Bertuliskan namamu dan namaku. Dan, dengan kerendahan hati, meminta kekasihmu hadir pada tanggal yang telah ditentukan dalam selembar kertas itu. Ah, kekasihmu cukup baik untuk datang, bukan? Begitulah katamu tempo lalu. Bahwa kekasihmu itu bak malaikat. Lalu, dengan mudahnya kamu membandingkanku dengan kekasihmu itu. Tentu saja, aku manusia.
Seharusnya aku bertemu kekasihmu di stasiun tugu pada senja itu. Tapi, sayangnya, kekasihmu takpernah datang. Tidak akan pernah. Kamu lihat saga yang menggantung di langit itu? Barangkali. Itu kekasihmu yang menjelma. Menjelma isyarat.