Siang tadi, saya berjalan menyusuri jalan yang sama. Pergi ke kampus. Dari rumah. Menyusuri jalan kecil belakang stasiun. Yang (dulu) penuh pedagang, dari DVD hingga cokelat mede. Jika lewat jalan itu, saya selalu bahagia. Mendengar seloroh ceria dari
para pedagang. Atau mendengar sirine kereta yang terdengar nyaring. Tapi, ada yang berbeda pada siang tadi. Pedagang-pedagang itu sudah tak ada. Digantikan dengan puing-puing. Semacam bangunan yang terdera angin puting beliung.
Ya. Bangunan-bangunan itu sudah luruh. Hampir rata dengan tanah. Mungkin juga sebentar lagi akan hilang, serupa hati nurani orang-orang itu.
Tanggal 29 Mei 2013 kemarin. Segalanya telah berubah. Entahlah. Siapa yang menghancurkan. Siapa yang sedang dihancurkan. Yang pasti ada yang sedang mati pada hari itu. Mungkin nurani atau rasa kemanusiaan.
Saya memang bukan mahasiswa yang pernah ikut aksi. Saya memang tidak pernah berteriak lantang di depan satpol PP. Atau berdiri angkuh membawa spanduk berisi protes dan kecaman. Tidak. Tapi, saya tidak menganggap teman-teman saya yang ikut aksi itu tidak lebih baik dari saya. Saya menghargai perjuangan mereka.
Saya juga tidak tahu-menahu tentang polemik ini. Saya tidak tahu tentang kepemilikan tanah belakang stasiun itu. Entah PT KAI atau pedagang atau pemerintah daerah. Entahlah. Sama sekali taktahu.
Yang saya tahu hanyalah air mata para pedagang itu ketika melihat tempat mereka mencari sesuap nasi roboh begitu saja. Mungkin, tanpa ganti rugi. Mungkin, tanpa relokasi. Lantas, air mata itu mewakili segala beban yang ada. Bagaimana dapur bisa mengepul? Uang sekolah dibayar pakai apa? Harus mencari penghidupan di mana? Tentu saja. Itu mungkin kecamuk yang ada dalam benak mereka.
Saya bisa merasakan meskipun kemarin saya takhadir di tengah mereka. Hanya dengan melihat puing itu. Puing yang sedang bercerita tentang banyak hal. Dalam diam.
Yang saya tahu. Saya kehilangan banyak kenangan. Mungkinkah kenangan terganti? Saya rasa tidak akan. Setiap hari saya menyusuri jalan itu. Bergegas ketika berangkat. Lalu, pelan-pelan ketika pulang. Saya selalu menikmati perjalanan saya ke kampus. Melewati jalan belakang stasiun itu. Kadang mampir ke salah satu toko, membeli permen atau fotokopi materi. Takjarang saya sering nongkrong lama-lama di tukang DVD langganan. Berdiskusi dengan abang penjual DVD, film mana yang layak ditonton.
Sudahlah. Jika ada ungkapan bahwa "Rakyat miskin takboleh sakit", penggusuran ini juga mencipta kalimat bahwa rakyat miskin pun takboleh punya kenangan. Bahkan, hanya sebatas kenangan, kami takpunya. Lantas, apa yang bisa kami miliki di negeri yang katanya "gemah ripah loh jinawi" ini? Mungkin, hanya rasa takut.