Ya. Rutinitas saya menulis sesuatu pada akhir semester. Sekarang saya berada pada semester 7. Dan semester ini sudah berakhir. Paling tidak, bagi saya. Hari Kamis kemarin, saya resmi membatalkan semua mata kuliah yang sudah saya ambil. Tinggal menyisakan mata kuliah spesial, yaitu skripsi.
Semester ini sudah berjalan hampir setengah semester. Tetapi, saya membatalkan kuliah begitu saja. Oh, tidak. Tidak begitu saja. Ada alasan yang kuat. Alasan yang mungkin dianggap gila oleh banyak orang. Ah, yang dianggap gila oleh orang lain, belum tentu gila juga bagi saya. Sudah berkali-kali saya bilang, kan? Cita-cita hidup saya sederhana. Melakukan apa yang saya cintai dan mencintai apa yang saya lakukan. Itu saja.
Pembatalan mata kuliah ini tidak akan terjadi jika saya tidak melihat pengumuman di kampus. Mabes TNI mengadakan Latsitarda (Latihan Terintegrasi Taruna Wreda). Ini semacam KKN bagi Taruna TNI, Akpol, mahasiswa IPDN, dan mahasiswa tingkat akhir. Latsitarda akan diadakan di Lombok pada bulan November-Desember. Hampir 1.5 bulan. Ya. Memang untuk mahasiswa yang sudah tidak ada kuliah.
Entahlah. Kegiatan itu sungguh menyita perhatian saya. Tetiba saja berpikir untuk mengikuti Latsitarda sebab saya masih punya jatah satu semester untuk lulus tepat waktu dan (semoga) tetap cumlaude. Ah, dengan segera saya berkonsultasi dengan dosen pembimbing, mama, ayah, dan (tentu saja) Tuhan.
Jawabannya 'Iya'.
Saya mendaftar. Terombang-ambing antara diterima dan tidak. Kuliah berjalan sebagaimana mestinya. Saya masih belum berani membatalkan kelas. Akhirnya. Pengumuman juga. Saya diterima! Empat hari sebelum UTS! Ohh.
Ya. Tuhan sepertinya sudah mengatur jadwal saya. Mata kuliah tidak bisa dibatalkan selepas pekan UTS. Tapi, ini sudah ada keputusan sebelum UTS. Jadi, saya bisa membatalkannya. haha
Takperlu waktu lama untuk mengedrop semua mata kuliah. Hari itu juga, saya sudah tidak ada tanggungan mata kuliah. Saya bisa pergi ke Lombok. Tapi, dengan janji ke dosen pembimbing skripsi untuk menyelesaikan skripsi sebelum pergi ke Lombok. Voila! Semoga saja!
Tapi, komentar dan cercaan takberhenti di sini. Hampir semua orang yang tahu cerita saya pasti berkomentar, "Gila lo! Gak sayang apa kuliah udah jalan separo?" atau komentar-komentar sejenis itu. Ayah saya juga takkalah marah. "Kalau Ayah jadi kamu, Ayah bakalan menyelesaikan kuliah dulu. Setelah selesai kuliah, baru ikut kegiatan-kegiatan seperti itu!"
"Kalau seperti ini, kamu namanya membuang-buang waktu. Harusnya kamu bisa lulus pada semester 7!" Ayah saya masih saja berkomentar.
Saya hanya menggeleng dan tersenyum. Merasa ini sama sekali bukan kesalahan. Ini adalah pilihan. Menguji keberanian saya untuk memilih. Bukankah manusia akan dianggap Ada karena dia telah memilih? Mencoba keluar dari kerumunan. Mencoba menjadi individu yang memiliki alasan untuk memilih sesuatu.
Lulus 3.5 tahun atau 4 tahun bagi saya sama. Sama-sama menyimpan misteri. Bukan berarti yang bisa lulus 3.5 tahun jauh lebih hebat daripada yang lulus 4 tahun. Apa salahnya memanfaatkan status mahasiswa untuk sesuatu yang menyenangkan seperti ini.
Ya. Sembari menunggu keberangkatan pada minggu kedua November, saya tetap masuk kelas. Mengikuti kuliah sebagaimana biasanya. Bedanya, saya tidak perlu mengerjakan tugas. Lantas, teman saya masih berkomentar juga. "Ngapain lo tetep kuliah? Kan udah lo drop semua mata kuliah?"
Ah, sepertinya memang selalu mendapat komentar terhadap segala sesuatu yang telah saya lakukan. Saya tersenyum saja. Kuliah dan masuk kelas adalah salah satu cara saya bersenang-senang. Menikmati hidup. Belajar tanpa harus banyak menghabiskan waktu. Bukan beban yang harus segera diselesaikan. Jadi, takada salahnya jika saya tetap masuk kelas tanpa mendapatkan nilai nantinya. Sebab, segala sesuatu takselalu bisa diukur dengan angka atau huruf.
Sudahlah. Pada akhirnya, ke Lombok pun saya tetap belajar. Belajar memaknai hidup di tengah masyarakat yang sama sekali belum saya kenal. Perjalanan selalu memberi saya cerita. Rumah yang baru. Saya tidak akan menyesal. Memilih sesuatu selalu ada sesuatu yang dibayarkan. Kali ini, saya membayar waktu sesemester saya kuliah dengan perjalanan yang mungkin tidak akan saya lewati lagi setelah lulus kuliah.Ya. Ini menjadi semacam sesuatu yang lebih besar daripada sekadar kuliah di kelas. Itu menurut saya.
Saya bahagia dengan pilihan saya. Itu sudah cukup.
Hurip iku Hurup
Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.
Selasa, 23 Oktober 2012
Jumat, 05 Oktober 2012
Jajanan Pinggir Jalan
Beberapa menit yang lalu, saya melihat tempelan banyak poster di lantai 1 perpustakaan. Poster tentang makanan yang sehat. Mungkin anak Fakultas Kesehatan Masyarakat yang mengadakan acaranya. Ya. Acaranya semacam lomba poster tingkat nasional. Lalu, poster pemenang dan poster peserta sama-sama dipajang. Biar orang tahu. Ah, mungkin juga sebagai pembelajaran. Isi posternya takjauh-jauh dari pembiasaan makanan sehat. Lucu-lucu.
Namun, ada beberapa poster yang menggelitik saya. Poster yang bertemakan "Jajanan Pinggir Jalan". Bisa ditebak. Poster tersebut pasti mengimbau tentang bahaya makan jajanan pinggir jalan. Setiap poster melarangnya. Ohh. Sedikit miris. Hampir menangis.
Teringat jajanan pinggir jalan. Teringat tentang tangan-tangan kekar. kulit legam. keriput pada wajah. peluh. kemiskinan. perjuangan hidup. anak-anak yang menangis lapar di rumah. anak-anak yang berharap banyak pada keuntungan--yang takseberapa--untuk membayar seragam dan buku sekolah. pada dapur di rumah yang harus mengepul. tentang palak preman pinggir jalan. tentang penertiban oleh Satpol PP. tentang razia kaki lima. tentang pembeli yang takbayar. tentang hujan yang takkunjung reda sehingga sepi pembeli. tentang utang pada rentenir. tentang makanan yang takhabis terbeli. banyak hal tentang mereka.
Entahlah. Saya miris saja membaca poster itu. Membayangkan tetiba masyarakat sadar dan melakukan apa yang diimbau dalam poster tersebut. Lantas, pedagang jajanan pinggir jalan taktahu harus menjual dagangannya ke mana dan siapa. Lalu, hidup mereka yang miskin akan semakin miskin. Makin banyak anak-anak yang taksekolah sebab takpunya biaya. Ah, makin banyak hal yang akan terjadi.
Baiklah. Memang terkadang jajanan pinggir jalan itu takbaik untuk kesehatan. Ya. Untuk kesehatan individu, lebih tepatnya. Terlalu kompleks memang. Padahal hanya masalah makanan apa yang akan termakan. Segalanya memiliki rantai--yang jika terputus bagiannya akan memutus bagian yang lain.
Pedagang itu pun (mungkin) takmau mencampur dagangannya dengan segala sesuatu yang taksehat. Tapi harga bahan baku yang sehat juga terlampau mahal. Sementara, pembeli takmau membeli jika harga terlalu mahal. Taksederhana.
Namun, melarang membeli makanan mereka juga bukan salah satu cara melenyapkan masalah kesehatan di negeri ini. Entahlah. Saya juga belum punya solusi untuk mensikronkan antara tuntutan kesehatan dan tuntutan ekonomi. Saya juga cuma bisa mengkritik. Takada beda sama mereka. Maafkan saya.
Namun, ada beberapa poster yang menggelitik saya. Poster yang bertemakan "Jajanan Pinggir Jalan". Bisa ditebak. Poster tersebut pasti mengimbau tentang bahaya makan jajanan pinggir jalan. Setiap poster melarangnya. Ohh. Sedikit miris. Hampir menangis.
Teringat jajanan pinggir jalan. Teringat tentang tangan-tangan kekar. kulit legam. keriput pada wajah. peluh. kemiskinan. perjuangan hidup. anak-anak yang menangis lapar di rumah. anak-anak yang berharap banyak pada keuntungan--yang takseberapa--untuk membayar seragam dan buku sekolah. pada dapur di rumah yang harus mengepul. tentang palak preman pinggir jalan. tentang penertiban oleh Satpol PP. tentang razia kaki lima. tentang pembeli yang takbayar. tentang hujan yang takkunjung reda sehingga sepi pembeli. tentang utang pada rentenir. tentang makanan yang takhabis terbeli. banyak hal tentang mereka.
Entahlah. Saya miris saja membaca poster itu. Membayangkan tetiba masyarakat sadar dan melakukan apa yang diimbau dalam poster tersebut. Lantas, pedagang jajanan pinggir jalan taktahu harus menjual dagangannya ke mana dan siapa. Lalu, hidup mereka yang miskin akan semakin miskin. Makin banyak anak-anak yang taksekolah sebab takpunya biaya. Ah, makin banyak hal yang akan terjadi.
Baiklah. Memang terkadang jajanan pinggir jalan itu takbaik untuk kesehatan. Ya. Untuk kesehatan individu, lebih tepatnya. Terlalu kompleks memang. Padahal hanya masalah makanan apa yang akan termakan. Segalanya memiliki rantai--yang jika terputus bagiannya akan memutus bagian yang lain.
Pedagang itu pun (mungkin) takmau mencampur dagangannya dengan segala sesuatu yang taksehat. Tapi harga bahan baku yang sehat juga terlampau mahal. Sementara, pembeli takmau membeli jika harga terlalu mahal. Taksederhana.
Namun, melarang membeli makanan mereka juga bukan salah satu cara melenyapkan masalah kesehatan di negeri ini. Entahlah. Saya juga belum punya solusi untuk mensikronkan antara tuntutan kesehatan dan tuntutan ekonomi. Saya juga cuma bisa mengkritik. Takada beda sama mereka. Maafkan saya.
Langganan:
Postingan (Atom)