Hurip iku Hurup
Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.
Minggu, 26 Februari 2012
Merajut Perih
Kadang, kamu merasa berhak mendapatkan sesuatu, tapi ternyata tidak. Kamu sama sekali tidak pernah mendapatkan itu.
Remah-remah perih memang selalu ada. Terjadi begitu saja. Menyusun. Menjadi sekumpulan sayatan luka. Dan mungkin kamu pikir itu akan menjadi borok.
Kamu berpikir begitu? Tolong, jawablah tidak.
Remah perih itu akan jadi luka yang menguatkan. Yang akan tumbuh menjadi kulit yang lebih kuat. Kamu ingat cerita tentang adonan roti bukan? Atau cerita tentang rajutan benang?
Telur mentah. Tepung terigu. cokelat mentah. gula pasir. baking powder.
paling tidak, itulah bahan dasar roti. coba cicipi satu satu. macam-macam bukan rasanya? pahit. hambar. manis. getir.
Begitulah. Kehidupanmu sekarang. Kamu hanya butuh bersabar untuk mencampur keperihanmu itu menjadi "kue" yang lezat. Menjadi "kue" yang membuat rindu lidah.
Atau, coba kamu perhatikan rajutan benang dari bagian bawah. Berantakan dan terlalu ruwet, bukan?
Karena kamu memandangnya dari sudut pandang bawah. Tuhan yang tahu. Sebab Tuhan melihat kehidupanmu dari atas. Keruwetan itu akan membentuk rajutan indah di atas kain. Itulah. Rajutan Tuhan untukmu.
Sekarang kamu mengerti betapa hidup ini indah pada waktu-Nya. Tuhanmu akan tetap menjawab doa-doamu. Bukankah dia sudah menjanjikan hal itu?
Percayalah. Kehidupan ini sangat adil dengan cara-Nya.
*Note to my self
Senin, 20 Februari 2012
Bahagia
bahagia. termasuk mencium bau rumput yang baru saja dipotong. wangi sisa hujan. air di pucuk daun. tawa bayi. pulang malam. berjalan di depan kandang rusa. bermain hujan. atau sekadar duduk di peron
stasiun. ya. sesederhana itu.
saya bahagia. melihat kakek dan nenek di samping rumah. setiap sore bercengkerama di depan warung kecil milik mereka. meladeni anak-anak yang membeli pop ice. menutup warungnya sebelum larut. membukanya sebelum ada matahari. ada senyum di wajah mereka. mereka bahagia. ya. sesederhana itu.
bahagia takperlu pengakuan. cukup
perasaan. bersyukur. terima kasih pada Tuhan. yang telah menciptakan segala sesuatunya memiliki
harmoni. terima kasih. saya bahagia. dengan hal-hal sederhana yang saya miliki.
Rabu, 15 Februari 2012
Rutinitas
Ada banyak hal. Awalnya memang selalu merasa jetlag. Merasa memulai sesuatu dari awal lagi setelah berminggu-minggu hidup di istana (baca: rumah). Rumah takpernah mengizinkan saya melihat sekitar. Pagar yang menjulang. Dan gembok yang terkunci rapat. Sangat melindungi saya dari dunia luar. Boleh dikatakan mengisolasi.
Sekarang tidak. Saya harus berpanas-panas lagi. Mengejar angkutan umum. Antri di terminal.
Sekarang pukul enam sore. Hampir magrib. Terminal penuh. Macet. Bahkan, di kota ini perjuangan dimulai dari titik awal perjalanan. Saya hanya menghela napas. berharap ini akan baik-baik saja sampai tujuan.
Ada banyak pengamen.
Penjaja makanan.
Penjaja es teh manis dalam plastik.
Penjaja permen.
(bahkan) mungkin penjaja tubuh.
Saya selalu kasihan melihat mereka. Ada rasa haru yang luar biasa pada orang-orang itu.
Seorang anak kecil. Mungkin masih 8 tahun. Terseok-seok membawa botol-botol minuman untuk dijual. berkeringat. sangat.
Mbak pengamen. Ada banyak tato dan pearching di tubuhnya. Suaranya cempreng. Tapi masih nekad mengamen.
Ah, betapa kadang hidup ini terlihat tidak adil. Mereka mencari koin untuk makan, sedangkan orang-orang yang ada Senayan itu dengan ganasnya menghabiskan koin--yang sebenarnya--milik mereka. Sudahlah, saya semakin ngelantur.
Rutinitas ini selalu mampu membuat saya merasa. Ada banyak hal yang terjadi. Yang rutin terjadi--meski dengan cerita dan pemeran yang berbeda.
Senin, 13 Februari 2012
hampir tujuh tahun
saya sudah kembali ke rutinitas. diajar dan mengajar. dipimpin dan memimpin. semuanya kembali pada semangat baru.
sore tadi gerimis. ketika saya baru berangkat ke tempat ngajar. saya berjalan terus. tanpa berniat membawa payung. seperti biasanya. saya juga taktakut make-up di wajah saya luntur. sebab saya takpernah memoles wajah saya dengan sapuan warna-warni. cukup pelembap dan lipgloss tipis. itu sudah lebih dari cukup.
di jalanan itu, tetiba saya teringat kamu. teman di sekolah menengah pertama dan atas. teman seorganisasi intrasekolah. kamu wakilnya, saya sekretarisnya. seringkali kita menghabiskan waktu berdua, atau bertiga dengan adik saya. berenang. memasak. atau apa pun hal menyenangkan lainnya.
dari kamu pula saya belajar sabar dan toleransi. menghargai kekurangan dan kelebihan orang lain. banyak hal. saya kenal baik dengan orang tuamu. kamu pun kenal baik dengan orang tua saya.
ah, kita sama-sama perempuan yang sedikit maskulin. kamu suka lihat pertandingan sepak bola. saya suka main bola. entahlah. mungkin itu yang membuat kita akrab.
hal yang paling saya senangi ketika kita berada di kolam renang. beratapkan langit. kadang muncul pelangi di sana. kita suka memandangi langit itu lama-lama. hingga taksadar baju renang kita sudah hampir mengering.
lantas kita tertawa.
"yuk, bikin janji." kamu memecah keheningan di antara kita. saya mendelik. bingung.
"tentang?"
"tentang laki-laki. kita berjanji. tidak akan menerima cinta laki-laki sebelum kita meraih mimpi tertinggi kita masing-masing." kamu mengucapkan kalimat itu dengan lancar. saya menanggapinya dengan antusias. mengangguk dengan cepat.
kelingking kita tertaut. saya tahu, ketika itu, kamu punya mimpi sebesar saya. bahkan mungkin lebih besar.
janji itu hampir tujuh tahun yang lalu. ketika kita sedang berada di tingkat dua sekolah menengah pertama.
kamu tahu? saya masih memegang janji itu. taktergoda untuk mengingkarinya. meski saya tahu. di tahun yang kedua, kamu sudah mulai menerima cinta laki-laki. mengakuinya sebagai kekasihmu.
saya bergeming. tetap dengan pendirian ini. mimpi tertinggi saya belum tercapai. ini terdengar naif dan tolol memang. tapi biarlah. saya tidak pernah diajarkan untuk mengingkari janji yang telah saya buat.
saya tak marah padamu. sama sekali tidak. tapi saya tahu. kamu menjauh dari saya ketika kamu punya kekasih yang pertama. entahlah. apa yang ada di pikiranmu saat itu.
hampir tujuh tahun. saya masih setia pada janji bocah ingusan. yang mungkin diucapkan di tengah kegalauan. tapi percayalah, saya masih menyayangimu. berharap kita bisa tertawa di kaki langit lagi.
itulah mengapa. saya tak ingin mengawali semua kalimat ini dengan huruf besar. sederhana. jika ada (tanda) untuk awal, selalu ada masanya berakhir. saya tak ingin hubungan kita terhenti.
Senin, 06 Februari 2012
Berharap Cerita Ini akan Berlanjut
Sepi.
Kamu tahu? Saya bisa mencium wangi rambutmu yang baru tercuci itu. Jarang sekali saya memperhatikan rincian. Tapi kali ini lain. Saya suka ketika pertama kali melihatmu menunggu saya di ujung pintu itu. Menarik sekali.
Saya memakai baju ungu. Kacamata ungu. Jam tangan ungu. Sepatu ungu. Tas ungu. Dan ponsel ungu. Entahlah. Mungkin kamu menganggap saya pesakitan. Yang semuanya harus berwarna sama. Sebenarnya tidak. Tadi hanya kebetulan.
Baiklah. Ini pertemuan pertama kita. Setelah beberapa kali mengirim pesan singkat. Yang benar-benar singkat.
Saya hanya ingin mengambil kumpulan puisi yang kamu janjikan itu. Cuma-cuma.
Lantas, kita bertemu.
Berbicara banyak. Ah, tidak. Saya yang berbicara. Kamu lebih banyak mendengarkan. Diam. Ya. Lelaki yang takbanyak bicara memang selalu terlihat sangat menarik di mata saya. Termasuk kamu.
"Nanti lupa," kamu menyerahkan kumpulan puisi(mu) dan teman-temanmu. Antologi kecil. Yang sepertinya menarik.
Saya menerimanya. Mengucap terima kasih.
Temanmu datang. Lalu meminjam antologi itu dari tangan saya. Pasrah.
"Ini terlalu mahal kalau lo jual dengan harga segitu!" temanmu itu berceloteh.
Kamu hanya bergidik.
"Lo tahu kan pemikiran teman-teman kita? Duit segitu lebih baik buat nongkrong daripada buat beli buku? Apalagi kumpulan puisi." temanmu itu masih meneruskan kalimatnya yang tadi.
"Gue gak ngeliat pasar. Tapi idealis! Sastra bukan kacang goreng yang bisa dijual murah pinggir jalan. Ini karya yang harus dihargai!" nadamu tetap tenang. Tapi cukup menusuk. Untuk saya dan (mungkin) untuk temanmu. Diam-diam. Saya mengagumimu pada pertemuan pertama.
Setelah itu, temanmu pergi. Kita masih betah duduk di bangku yang sama. Takada dari kita yang berniat mengakhiri pertemuan ini.
Sesekali saya mencuri pandang pada matamu. Mencoba menemukan bening. Atau melihatmu lekat ketika kamu menghisap sebatang rokok. Meskipun saya harus terbatuk. Tapi itu sedikit membuatmu lebih seksi.
Saya melirik jam di tangan. Sudah hampir pukul 1 siang. Hampir 4 jam kita di sini. Berdua. Bercerita.
Ponsel saya berdering. Teman saya memanggil. Sebentar saja saya menyelinap dari kamu.
Untunglah. Teman saya sudah selesai dengan urusannya. Saya harus ke rumahnya sekarang. Terima kasih. Sedikit menyelematkan saya dari pesonamu. Ah.
Lima menit yang lalu, pesan singkatmu masuk ke kotak masuk saya.
"Bolehlah, lain kali kita diskusi sastra lagi." katamu singkat.
"Tentu saja. Dengan senang hati!" saya juga menjawab dengan singkat.
Saya tersenyum. Menyenangkan. Terima kasih untuk hari ini. Yakinkan saya bahwa kita akan bertemu lagi.
Jumat, 03 Februari 2012
Saya Hampir 21 Tahun!
“Umur berapa kamu akan menikah?” tiba-tiba ayah saya menanyakan hal itu di tengah obrolan kami. Saya tercekat. Memandangnya nanar. Saya menggeleng pelan.
“Tidak tahu. Belum ada target.” jawab saya singkat.
“Kok bisa belum ada rencana. Umur kamu sudah hampir 21 tahun. Paling tidak, kamu menikah umur 24!” ayah saya akhirnya menyatakan hal ini. Hal yang paling saya takutkan.
“Sekolah dululah. Baru mikir nikah, Yah!” saya mencoba membuat pilihan.
“Iya, sekolah dulu. Tapi sampai sekarang, kamu belum punya pacar! Setelah S2 kamu sudah harus menikah.” ayah saya masih ceramah panjang lebar. Sementara pikiran saya, sudah entah ke mana.
Setelah S2? Itu berarti 3-4 tahun lagi. Terlalu cepat. Sebenarnya, saya ingin S3 dulu. Meraih gelar doktor. Hidup melajang. Jalan-jalan ke mana pun saya suka. Entahlah. Saya tidak tahu mengapa harus cepat-cepat menikah.
“Kalau cari suami itu yang baik! Menikah itu ibadah. Biar hidupmu sempurna.” mama saya ikut nimbrung. Saya bergeming. Tanpa menolak atau mengiyakan.
Saya tidak mungkin melontarkan pendapat ekstrem saya bahwa saya tidak mau menikah. Atau mengarang cerita bahwa saya seorang penyuka sesama jenis, mungkin. Ah, tidak mungkin. Pernyataan ini akan membunuh kedua orang tua saya.
“Kamu harus menikah! Punya anak. Biar tidak sepi hidupmu.” Mama saya menambahi. Seolah tahu apa yang sedang saya pikirkan.
Bergeming.
Obrolan terhenti sampai di situ. Telepon dari tempat saya mengajar berhasil mengalihkan eksekusi ini. Bla bla bla. Sesaat saya disibukkan lagi dengan pengaturan jadwal mengajar. Tapi, itu hanya sampai tombol end di ponsel saya tertekan. Setelah itu kembali lagi. Meski tanpa kedua orang tua saya. Saya sudah berhasil izin keluar dari percakapan itu.
Hanya saya dan pikiran saya.
Menikah.
Saya selalu sensitif mendengar satu kata itu. Seperti pesakitan yang sebentar lagi menemui ajal. Ah, ini terlalu berlebihan. Kenapa saya tumbuh terlalu cepat. Tetiba hampir 21 tahun. Dan orang tua saya pun semakin menua. Sungguh. Saya takingin mengecewakan mereka.
Lelah. Waktu memang takpernah ke mana-mana. Tetap berputar di tempatnya. Hanya letih yang berubah. Menjadi semakin perih.
Entahlah. Sampai sekarang pun saya belum bisa memutuskan. Kapan saya harus menikah. Mungkin saja besok. Atau beberapa tahun lagi. Saya masih enggan memikirkannya. Ya. Jika pemikiran saya berubah. Saya janji. Akan segera mengabarimu. Di mana pun. Dan kapan pun!