Perempuan dan laki-laki. Selalu saja menarik dibicarakan. Kali ini saya ingin sedikit sok tahu dan sedikit (saja) membahas laki-laki dan perempuan dalam sudut pandang seorang (yang mencoba menjadi) genderis.
Istilah genderis pertama kali saya dengar ketika saya mengambil mata kuliah "Gender dalam Sastra". Konsep genderis yang dimaksud oleh dosen saya tersebut adalah seseorang yang melihat laki-laki dan perempuan dalam tataran yang sama. Bukan mendukung patriarki, apalagi feminis garis keras. Seorang genderis berada di tengah. Melawan yang salah, membela yang benar. Siapa pun itu. Apa pun jenis kelaminnya. Aih, maaf. Ini bukan cerita ninja.
Menurut Relawati (2011:3), istilah gender dan seks (jenis kelamin) memiliki arti pembedaan perempuan dan laki-laki, tetapi acuan yang digunakan berbeda. Istilah seks mengacu pada perbedaan biologis, sedangkan istilah gender mengacu pada konstruksi sosial tentang peran, tugas, dan kedudukan perempuan & laki-laki.
Seks merupakan kodrat dari Tuhan yang tidak bisa dipertukarkan: perempuan menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Sementara itu, gender adalah konsep yang dibentuk masyarakat dalam kaitannya dengan relasi antara laki-laki dan perempuan. Gender dikonstruksikan secara sosial dan budaya. Konsep gender sangat dipengaruhi oleh tata nilai, perbedaan adat istiadat, budaya, dan agama. Jadi, setiap wilayah tidaklah mempunyai konsep gender yang sama. Selain itu, gender dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman.
Tak dapat dimungkiri, dari buku-buku yang saya baca, penelitian gender lebih ditujukan kepada perempuan. Kenapa? Karena perempuan selalu dikonstruksikan sebagai makhluk yang lemah dan perlu dibela. Ah, saya sedikit tersinggung.
Dalam tulisan ini, (sekali lagi) saya akan mencoba menganalisis tulisan teman laki-laki saya dari sudut pandang seorang genderis. Dia menulis sebuah pengakuan dalam blog pribadinya. Dia memberi judul tulisannya "Saya, Kenangan & Hujan". Dari judulnya, memang, tak ada tanda-tanda dia menulis sesuatu yang berhubungan dengan gender.
Paragraf pertama dibuka dengan ungkapan rasa sukanya pada hujan. (Kalau hujan mah, saya juga suka. #lupakan)
“Sejak kecil saya menyukai hujan. Mengamati tempiasnya dari balik jendela adalah kesukaan saya. Sebab selain indah, hujan juga membuat saya merasa (ny)aman….”
Saya tidak akan membahas rasa sukanya pada hujan. Meskipun kebanyakan, pecinta hujan adalah perempuan.
Dulu, saya memiliki julukan-julukan yang sering kali membikin saya menjadi rendah diri. Saya disebut-sebut sebagai anak laki-laki yang lembut. Jarang terlibat pertengkaran, tetapi kerap disalahkan jika ada teman sepermainan yang cekcok dan pulang dengan cucuran air mata. Tapi saya tetap diam.
Itu paragraf kedua. Kalimat Saya disebut-sebut sebagai anak laki-laki yang lembut. Jarang terlibat pertengkaran. Tentu saja itu adalah pelabelan yang diberikan masyarakat kepada dia. Ini dapat digolongkan ke dalam fenomena stereotip yang ada di dalam masyarakat. “Laki-laki adalah makhluk yang kuat, tegar, suka bertengkar, tidak pernah menangis, dan sebagainya!”
Disadari atau tidak, stereotip seperti itu menciptakan pengelompokan. Pengelompokan kemayu atau tidaknya seorang laki-laki berdasarkan sering atau tidaknya mereka bertengkar. Kasihan. Lantas, pengelompokan yang menunjukkan perbedaan itu sama halnya dengan membatasi gerak seseorang? Saya rasa tidak perlu. Setiap orang memiliki pilihan untuk menentukan sifat, sikap, dan peran mereka masing-masing.
Adalah gadis kecil yang bernama Diah lah yang selalu saya hindari. Setiap kali saya bermain-main bersamanya, Diah akan menangis di setiap akhir permainan dan mengadu pada orang tuanya, bahwa saya lah yang menjadi penyebab tangisnya meledak. Lucu memang!
Sampai sekarang, saya tidak tahu apa motifnya bersikap begitu. Namun terakhir bertemu, beberapa bulan lalu, dia tampak selalu tersenyum jika berpapasan dengan saya tanpa berucap sepatah kata, bahkan sekadar salam atau say hai.
Itu paragraf ketiga dan keempat yang saya jadikan satu. Diah. Seorang gadis. Tapi, saya rasa dia mampu mengintimidasi teman saya dengan kebiasannya mengadu dan menangis. Mungkin, teman saya takpernah melawan diperlakukan seperti itu. Mungkin, teman saya sangat geram dan memilih diam. Atau mungkin, teman saya ikut-ikutan mengadu dan menangis. haha.
Diah itu perempuan. Ketika Diah menangis dan mengadu kepada orang tuanya, Diah lebih didengarkan dan diberi simpati lebih. Meskipun, misalnya, Diah yang salah. Hanya saja, konstruksi sosial yang berkembang dalam masyarakat bahwa laki-laki harus melindungi perempuan.
Sampai sekarang julukan itu turut mengiringi pertumbuhan saya dalam menjalani kedewasaan. Tak perlulah orang lain menyadari, sebab saya sendiri yang menyadarinya. Saya memang cenderung pendiam, pemalu, introvert, atau apalah itu namanya.
Suatu hari saya pernah mengikuti tes (sejenis) personal preference yang dilakukan oleh teman saya yang kuliah di jurusan psikologi. Dan pada kenyataannya, hasil yang muncul adalah saya lebih banyak mendapatkan skor nurturance ketimbang aggression. Keduanya juga tak jauh beda dengan filsafat Teoisme, dengan istilah Yin dan Yang. Itu artinya, sisi feminis lebih mendominasi saya ketimbang sisi maskulin.
Dua paragraf selanjutnya menunjukkan bahwa labelling yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar teman saya itu membawa dampak yang cukup berpengaruh terhadap pertumbuhan teman saya. Sifat-sifat feminin (mungkin) lebih banyak ditemukan dalam diri teman saya tersebut. Ya, tak ada yang salah dengan sifat mana yang lebih mendominasi. Sungguh. Feminin atau maskulin sama saja atau bahkan androgini pun memiliki hak yang sama.
Ah iya, saya jadi teringat kuliah siang tadi bahwa tak ada agama satu pun yang berat sebelah. Artinya, semua agama menganggap laki-laki dan perempuan memiliki harkat dan martabat yang sama. Kitab-kitab suci yang dianut oleh umat beragama pun tak ada yang mengajari sistem patriarki.
Tapi ingat, ini bukan masalah jenis kelamin, tetapi energi kehidupan!
Ya, ini bukan tentang seks, tapi gender. Gender dibuat manusia. Manusia yang mengotak-kotakkan apa yang pantas dan yang tidak pantas dilakukan oleh laki-laki dan perempuan.
Dulu, sebutan-sebutan itu membuat saya merasa sedih. Saya menyadari bahwa saya memang seorang yang sensitif dan tertutup. Saya cenderung lembut dibandingkan anak laki-laki seusia saya dan lebih suka tinggal di rumah sembari membaca, menggambar, dan menulis puisi. Kalau pun bermain di luar saya lebih suka sendirian, atau ditemani oleh sahabat kecil saya, Rahmad, yang sekarang pun telah menghilang bak ditelan bandang.
Paragraf terakhir yang saya analisis—fiuh! akhirnya—haha.
Dia menegaskan kembali bahwa sisi feminin dan kelembutannya memang lebih dominan. Dia lebih senang tinggal di rumah—streotip untuk perempuan yang lebih senang melakukan pekerjaan domestik.
Hidup lebih berwarna justru mengajarkan kita agar tidak mudah menghakimi seseorang atas dasar saya benar, kamu salah. Begitu juga dengan sifat, sikap, dan peran seseorang. Tak ada salahnya jika perempuan harus bekerja di sektor publik atau tidak menangis ketika ditimpa kesedihan. Mereka tetap perempuan meski ada sisi maskulin di dalam dirinya. Hal itu juga berlaku pada laki-laki. Tak ada salahnya jika laki-laki mempunyai kelembutan hati atau menangis ketika menonton drama Korea, misalnya. Mereka tetap laki-laki meski sisi feminin lebih dominan.
Saya beruntung, saya dididik dalam keluarga yang demokratis. Yang menghormati pilihan saya. Dan yang telah mendidik saya untuk menjadi perempuan yang bisa melakukan pekerjaan apa pun. Saya memasak ketika pagi dan mencuci mobil ketika sore. Saya menulis menjelang pagi, belajar ketika pagi, dan mengajar menjelang petang. Saya menyapu rumah dan juga mengganti bohlam lampu. Saya dapat memperbaiki perabotan rumah yang rusak. Kadang, saya harus mengangkat galon air mineral. Tak jarang pula saya harus tampil anggun ketika akan ke pesta. Tak ada yang menyebut saya laki-laki. Saya perempuan. Saya bangga menjadi perempuan.
Ya, setelah saya membaca tulisan teman saya tersebut, saya berharap tidak ada lagi orang-orang yang membawa palu lantas mengetukkannya di mana-mana. Dan, suatu saat nanti, saya juga berharap akan menganggap biasa laki-laki yang menangis atau perempuan yang mengangkat besi. Mereka punya pilihan hidup yang harus dihormati oleh siapa pun.
Daftar Referensi:
Jumali. 2011. “Saya, Kenangan & Hujan”. (online) http://tepi-langit.blogspot.com/2011/09/saya-kenangan-hujan.html
Mulia, Samuel. 2011. “Bencong…!”. Kompas, 11 September 2011, hlm. 13
Relawati, Rahayu. 2011. Konsep dan Aplikasi Penelitian Gender. Bandung: Muara Indah