Kemarin saya berulang tahun yang ke-20. 17 April 1991—17 April 2011. Sudah dua kali berulang tahun di rantau. Tak ada pesta. Tak ada hidangan. Saya memang sengaja. Padahal dulu, selalu ada pesta kecil-kecilan antara saya, mama, ayah, dan adik saya. Makan malam bersama. Ah, menyenangkan.
Namun, saya bahagia di ulang tahun saya kali ini. Ya, saya jadi tahu siapa orang-orang yang benar-benar peduli dengan saya. Siapa orang yang hanya berea-reo di depan saya. Siapa orang yang masih sangat mengingat saya. Sampai pukul 3 sore, hanya ada 11 orang yang mengucapkan ulang tahun untuk saya tahun ini. Terima kasih banyak untuk mereka. Bukan kuantitasnya, tapi kualitasnya. Jumlah itu sudah termasuk mama, ayah, adik, nenek, tante, dan dua sepupu saya. Selain mereka, ada 1 orang yang sudah saya anggap sebagai kakak kandung, 2 orang teman SMA saya, dan 1 orang teman kuliah saya. Sedih? Saya menangis. Bukan karena sedih, tapi saya terharu. Betapa mereka ingat tanggal ulang tahun saya di tengah kesibukan mereka. Betapa mereka menyempatkan sedikit waktu mereka untuk mengucapkan kata selamat ulang tahun. Betapa pedulinya mereka pada saya. Tentu saja, jumlah ini sangat turun drastis dari tahun lalu. Tapi saya jauh lebih bahagia sekarang.
Saya memang sengaja untuk tidak membeberkan tanggal ulang tahun saya di situs jejaring sosial. Ah, bahkan saya sudah tidak menjadi bagian dari situs jejaring sosial yang penuh dengan kesemuan itu. Jujur, saya muak dengan pertemanan semu yang ada di dalamnya. Mengucapkan selamat ulang tahun tanpa makna. Ah, menyedihkan.
Ah iya, ulang tahun memang tidak perlu kok dirayakan. Tidak perlu banyak ucapan. Memang hanya sepintas lalu. Bukan hal penting. Tapi, saat hari ini diingat orang, saya sangat bahagia. Sungguh bahagia.
Terima kasih sekali lagi untuk mereka. Terima kasih. Saya sungguh terharu. Mereka masih mampu mengingat hari ini tanpa bantuan internet. Terima kasih. Semoga saya juga mampu melakukan apa yang mereka lakukan untuk saya.
*Ruang tanpa batas
Hurip iku Hurup
Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.
Senin, 18 April 2011
Jumat, 15 April 2011
Pengkhianatan
Kata itu. Kata itu selalu memaksaku untuk kembali ke sebuah masa. Sakit. Menyakitkan. Sangat. Ya, sebuah rasa sakit yang teramat dalam memang hanya mampu ditorehkan oleh orang yang amat kita cintai. Hemm. aku sedang tidak berbicara tentang kisah cinta picisan. Entahlah. Mungkin 11 tahun yang lalu. Ah, sudah lama. Tapi luka itu masih ada. Lubang bekas itu belum menutup. Kertas yang telanjur sobek tak bisa kembali seperti semula.
Ya, sebuah pengkhianatan. Dari orang yang teramat sangat aku cintai. Seharusnya aku tidak patut menulisnya di sini. Namun aku hanya ingin memberitahumu bahwa kamu tidak layak merasakan luka ini. Kamu tidak harus terluka sepertiku.
Jujur, aku masih sangat trauma dengan kata itu. Aku benci pada orang-orang yang berkhianat. Aku selalu menangis ketika ada orang yang tak setia. Aku sakit jika harus melihat pengkhianatan. Ada sesak yang menjalar di hati dan hariku. Sampai sekarang.
Ya, seharusnya aku bisa memaafkan dan melupakan. tapi maaf, aku hanya sanggup memaafkan saja. Tidak akan pernah bisa melupakan. Padahal sudah lama bukan? 11 tahun yang lalu? berapa usiaku? Masih 9 tahun. Aku masih ingusan. Sudah dipaksa melihat pengkhianatan itu. Sudah dipaksa berpikir secara dewasa. Sudah dipaksa harus mengerti hidup. Padahal anak-anak seusiaku (mungkin) masih puas bermain-main. Atau berceloteh riang. Sementara aku? Aku hampir saja kehilangan salah satu dari dua orang yang sangat aku cintai. Aku hampir saja memilih salah satu di antara mereka. Aku hampir saja hidup sendiri. Aku hampir saja kehilangan masa depan.
Menyakitkan? Sangat. Aku sudah harus siap menghadapi cibiran dan tatapan aneh orang-orang di sekelilingku. Padahal, sungguh, aku hanya korban. Aku tak pernah meminta pada Tuhan untuk dilahirkan. Aku tak pernah meminta dikhianati.
Memang, sebuah pengkhianatan yang kita lakukan tidak hanya berdampak untuk kita. orang-orang di sekitar kita jauh merasakan sakit. ini membuat aku berjanji untuk tidak berkomitmen sebelum aku sanggup untuk setia. karena aku tidak mau hal yang sama terjadi pada orang-orang yang aku cintai. saya tidak mau mengecewakan dan mengkhianati mereka. sungguh. aku teramat mencintai mereka.
Semoga aku bisa menyembuhkan luka hatiku ini. rasanya masih nyeri. entah di hati sebelah mana.
Ya, sebuah pengkhianatan. Dari orang yang teramat sangat aku cintai. Seharusnya aku tidak patut menulisnya di sini. Namun aku hanya ingin memberitahumu bahwa kamu tidak layak merasakan luka ini. Kamu tidak harus terluka sepertiku.
Jujur, aku masih sangat trauma dengan kata itu. Aku benci pada orang-orang yang berkhianat. Aku selalu menangis ketika ada orang yang tak setia. Aku sakit jika harus melihat pengkhianatan. Ada sesak yang menjalar di hati dan hariku. Sampai sekarang.
Ya, seharusnya aku bisa memaafkan dan melupakan. tapi maaf, aku hanya sanggup memaafkan saja. Tidak akan pernah bisa melupakan. Padahal sudah lama bukan? 11 tahun yang lalu? berapa usiaku? Masih 9 tahun. Aku masih ingusan. Sudah dipaksa melihat pengkhianatan itu. Sudah dipaksa berpikir secara dewasa. Sudah dipaksa harus mengerti hidup. Padahal anak-anak seusiaku (mungkin) masih puas bermain-main. Atau berceloteh riang. Sementara aku? Aku hampir saja kehilangan salah satu dari dua orang yang sangat aku cintai. Aku hampir saja memilih salah satu di antara mereka. Aku hampir saja hidup sendiri. Aku hampir saja kehilangan masa depan.
Menyakitkan? Sangat. Aku sudah harus siap menghadapi cibiran dan tatapan aneh orang-orang di sekelilingku. Padahal, sungguh, aku hanya korban. Aku tak pernah meminta pada Tuhan untuk dilahirkan. Aku tak pernah meminta dikhianati.
Memang, sebuah pengkhianatan yang kita lakukan tidak hanya berdampak untuk kita. orang-orang di sekitar kita jauh merasakan sakit. ini membuat aku berjanji untuk tidak berkomitmen sebelum aku sanggup untuk setia. karena aku tidak mau hal yang sama terjadi pada orang-orang yang aku cintai. saya tidak mau mengecewakan dan mengkhianati mereka. sungguh. aku teramat mencintai mereka.
Semoga aku bisa menyembuhkan luka hatiku ini. rasanya masih nyeri. entah di hati sebelah mana.
Kamis, 14 April 2011
Saya (harus) gagal lagi
berjalan saja. mengalir. entah akan bermuara ke mana. Oh iya, hari ini saya ditolak lagi. untuk yang kedua kalinya. apa? itu loh, program pembentuk pemimpin masa depan. gak usah sebut nama ya. yang pasti kali ini saya gagal di tahap awal, padahal gelombang yang lalu saya gagal di tahap dua. jujur, saya sedih. sangat sedih. betapa mereka tidak mau menerima keapaadaannya saya kah? atau memang otak saya tidak mencukupi standar mereka. entahlah. saya tidak tahu. tapi, saya sudah berjanji pada diri saya sendiri untuk tidak pernah menghakimi sesuatu. untuk melihat segala sesuatu dari sudut pandang yang berbeda. memahami orang lain yang tidak sependapat. ya ya ya, rasanya janji itu sedikit menenangkan saya. sedikit membuat saya tersenyum bahkan tertawa menghadapinya. Tuhan. itu jawabannya. Tuhan memberikan apa yang saya butuhkan, bukan yang saya inginkan.
Saya yakin ada sebuah rencana besar di sana saat saya harus ditakdirkan gagal lagi. tidak ada air mata kali ini. tidak ada ungkapan penyesalan. bahkan saya hanya bercerita pada Mama dan kakak. sekarang, saya menulis ini. hanya untuk berbagi. bahwa Tuhan itu sangat baik. Tuhan itu akan mendengarkan semua yang saya minta. Ya, nggak apa-apa. gagal kali ini lebih baik, daripada saya hanya melihat pengumumannya di mading kampus. Ah, tak apa.
Saya yakin ada sebuah rencana besar di sana saat saya harus ditakdirkan gagal lagi. tidak ada air mata kali ini. tidak ada ungkapan penyesalan. bahkan saya hanya bercerita pada Mama dan kakak. sekarang, saya menulis ini. hanya untuk berbagi. bahwa Tuhan itu sangat baik. Tuhan itu akan mendengarkan semua yang saya minta. Ya, nggak apa-apa. gagal kali ini lebih baik, daripada saya hanya melihat pengumumannya di mading kampus. Ah, tak apa.
Langganan:
Postingan (Atom)