Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Kamis, 21 Juli 2016

Lelaki yang Datang dari Masa Lalu tanpa Membawa Luka




"Kalau kamu butuh seseorang agar terbebas dari tekanan orang tua atau sosial, aku siap buat jadi pasangan bohonganmu," kata lelaki di depanku. Lelaki yang beberapa jam lalu mengabariku bahwa ia sedang pulang, lalu ingin bertemu. Lelaki yang dulu, dulu sekali, selalu bisa membuatku merasakan kupu-kupu terbang dalam perutku. Dulu, dulu sekali, jauh sebelum banyak-banyak orang yang datang dan pergi begitu saja. 

Aku tertawa kencang. Lelucon itu terdengar lucu. Padahal, sesungguhnya jantungku berdebar. Kenapa harus bohongan coba?

"Aku serius, Dek, dengan tawaranku. Aku tahulah gimana tekananmu menjadi perempuan yang sudah bisa bergerak bebas, tetapi masih takbisa lepas dari hal-hal di belakangmu. Aku tahu rasanya," katanya dengan wajah serius.

"Kayaknya belum perlu, sih, Mas. Aku masih bisa mengatasi segala pertanyaan dan penghakiman itu. Orang tuaku masih baik-baik saja, kok! Semacam sedikit nggak peduli aja, sih, kalau yang ngomong orang lain. Haha."

Sementara itu, ada jantung yang sedang berdetak takseperti biasanya, ada otak yang juga sedang mengingat-ingat. Entah tujuh, entah delapan tahun lalu. Ada yang sedang diam-diam kudoakan tiap malam, ada yang sedang diam-diam banyak-banyak kutulis dalam setiap lembar buku harian, dan ada yang sedang diam-diam menunggu seseorang pada pagi-pagi buta di halte bus kampus. 

Seseorang yang kutahu akan berjarak jutaan tahun cahaya. Seseorang yang dulu selalu berdebat, pekerjaan apa yang paling susah, menganyam kerangka ketupat atau menghias pohon Natal. Seseorang yang dulu tempat bertukar buku bagus. Dan, seseorang yang selalu rajin pergi ke gereja, sedangkan aku masih belum berniat meninggalkan sholat. Begitulah. Tuhan memang senang bercanda.

"Syukurlah kalau gitu. Terus kamu gimana? Mau penelitian tentang apa?"

"Mas, dulu, dong, cerita. Gimana kuliahnya di Chicago? Mau disertasi tentang apa? Pulang ke Indonesia berapa lama? Penelitian ke mana aja?" cercaku.

"Lha, panjang, Dek! Haha. Oke, oke. Jadi, risetku itu tentang karet."

"Karet? Diapain?"

"Aku pakai metode follow a thing. Aku mengikuti proses karet dari lahir sampai pensiun dari sudut pandang social science. Yang menarik dari karet, kan, karet itu bahan alam, tetapi setelah diproses ia tidak lagi bisa diurai oleh alam. Bagaimana relasi dan interaksi sosial dari setiap proses itu yang ingin aku kaji. Bla bla bla.... Makanya, ini aku pulang buat penelitian, buat bahan disertasi, tapi ini masih riset awal, sih." jelasnya panjang lebar. Lelaki di depanku ini selalu membuatku kagum.

"Kok, keren, sih?" hanya kalimat itu yang bisa muncul. Bolehlah aku bilang bahwa aku hanya remah-remah meses kiloan di hadapannya.

"Namanya riset, ya, harus total, Dek. Gantian, kamu gimana? Mau penelitian disertasi tentang apa?

"Tentang Timor Timur, tapi pakai korpus karya sastra, mau lihat memori kolektif antara dua negara, Indonesia dan Timor Leste, yang pernah konflik dari sudut pandang yang berbeda," jawabku sekenanya.

"Kamu butuh lulus cepat atau nggak?" tanyanya kemudian.

"Nggak harus. Yang penting puas dalam risetnya," jawabku sok idealis.

"Bagus! Kalau nggak butuh lulus cepat, kamu bisa ikut beasiswa programku ini. Nanti aku bantu segala sesuatunya, deh. Mungkin butuh 6 sampai 7 tahun untuk dapat gelar Ph. D. Orang-orang di yayasan ini sedang butuh penelitian tentang Timor Timur."

"Akan sangat-sangat kupertimbangkan, Mas! Selama nanti kalau ada pertanyaan tentang hal-hal yang tidak bersifat akademis dalam jangka waktu enam atau tujuh tahun itu, kamu siap menjadi orang pertama yang membelaku, loh! Haha."

"Haha. Siyaaaaaappppppp!"

Lalu, lelaki di depanku itu pamit. Sudah ada janji dengan teman lainnya, katanya. Selalu saja begitu. Temannya terlalu banyak. Tapi aku bisa apa selain melepasnya, seperti yang lalu-lalu. Sebuah gantungan kunci darinya sudah ada di genggamanku. Kebetulan saja, aku sedang mencari gantungan kunci untuk menggantikan gantungan kunci kamarku yang sudah lepas bagian gambar utamanya. Jika saja lelaki itu tahu, aku baru tiga kali ini aku mengganti gantungan kunci kamarku dari tujuh atau delapan tahun yang lalu, pertama gantungan kunci oleh-oleh dari lelaki itu, kedua gantungan kunci dari Mama yang sekarang sudah rusak, dan ketiga oleh-oleh dari lelaki itu lagi.

Percayalah, itu satu-satunya cara untuk tetap mengingatnya. Diam-diam.

Minggu, 17 Juli 2016

Dan, Mitos itu Bernama Kecantikan

Seharusnya, setiap orang sadar bahwa membahas fisik seseorang bisa jadi sangat menyakitkan, bahkan hanya sebatas kalimat, "Kamu gendutan, ya?"

Jika boleh saya bilang, standar kecantikan yang ada di dalam masyarakat itu sungguh jahat. Jauh lebih jahat daripada bahaya laten komunis yang sedang digembar-gemborkan itu. Meskipun keduanya tidak perlu dibenarkan juga.

Jadi begini, pertanyaan atau pernyataan tentang fisik--terlebih perempuan--seharusnya tidak perlu dibahas dan dibanding-bandingkan dengan kondisi fisik perempuan lain atau kondisi fisik sebelumnya. Terlebih pada momentum Lebaran, reuni, halalbihalal, atau apa pun itu acaranya. 

Seseorang tidak pernah tahu, efek kalimat "Kamu gendutan, ya?" atau "Kok, kamu sekarang item banget, sih?" atau "Badanmu lebar amat, jadi susah masuk frame, kan!" atau "Kamu kerempeng sekali, kayak nggak pernah makan setahun!" atau "Ternyata dadamu rata, ya? Haha." atau "Bokongmu nggak ada beda sama papan jalan. Rata!" atau "Kamu harusnya pakai pensil alis, biar nggak kayak tuyul!" dan kalimat-kalimat lain yang serupa. Kalimat yang saya yakin hanya diucapkan sekilas tanpa dipikirkan masak-masak itu akan berdampak pada orang yang dilontari pertanyaan atau pernyataan.

Semenjak kuliah, tubuh adik saya mendadak jauh lebih berkembang daripada saya. Hal itu takpelak membuat setiap orang yang bertemu kami selalu berkomentar, "Kok, sekarang adiknya yang gendut, ya! Kakaknya kurusan!" Takhanya sekali, kalimat serupa itu terlontar berkali-kali. Tahu akibatnya? Adik saya kemudian diet mati-matian untuk menurunkan berat badannya. Beberapa kali jatuh sakit karena memilih tidak makan atau mengurangi porsi makannya sepersekian persen. Masih untung, adik saya tidak sampai mengalami gangguan pola makan.

Padahal, saya dan mama saya berkali-kali mengingatkan bahwa takmasalah memiliki tubuh subur selama sehat. Tetapi, ia lebih percaya kalimat orang lain yang barangkali setelah mengucapkan kalimat itu, mereka akan lupa. "Aku sakit, Ma, tiap kali ketemu orang selalu dibilang gendut," dalih adik saya setiap kali diingatkan tentang program dietnya itu. Saya jauh lebih sakit melihat orang-orang yang berjuang mati-matian untuk memenuhi standar kecantikan yang ada dalam masyarakat itu.

Baiklah, itu satu contoh. Belum termasuk kejahatan mitos lainnya, misalnya kulit putih, tubuh tinggi, rambut lurus, wajah mulus, dan hal-hal yang setipe. Yang pada akhirnya, membuat saya muak. Membuat saya ingin membisiki mereka satu-per satu bahwa tidak ada yang salah menjadi perempuan yang sama sekali berbeda dengan perempuan-perempuan yang dimitoskan sebagai perempuan "cantik" itu. 

Naomi Wolf, dalam bukunya Beauty Myth, sudah membahas tentang hal ini yang ternyata pun tidak berubah setelah sekian puluh tahun. Mitos kecantikan akan selalu ada dan bertumbuh. Standarnya akan terus berubah mengikuti desain dari orang-orang yang punya kepentingan, misalnya produsen produk kecantikan dan media iklan. Lalu, sebagai masyarakat yang setiap hari terpapar produk-produk tersebut, tanpa sadar akan selalu membanding-bandingkan dirinya dengan model iklan produk tersebut. Dan, jauh lebih jahatnya, standar yang sesungguhnya tidak jelas batasannya itu, kemudian digunakan untuk melihat fisik seseorang lainnya dan digunakan sebagai alasan untuk mencela.

Jika dipikirkan secara mendalam, apa salah dan dosa perempuan yang bertubuh lebar, pendek, dan berdada rata, misalnya? The woman can't do anything with it. Selama seseorang tersebut tidak menyakitimu, tidak membuat keributan, tidak mengacaukan dunia, saya kira tidak perlu menyakiti hatinya dengan hal-hal yang tidak perlu.

Tidak semua perempuan paham bahwa segala yang ada di dunia ini, termasuk standar kecantikan, adalah konstruksi yang dibentuk, didesain, dan disengaja. Barangkali, mayoritas dari mereka berpikir bahwa menjadi perempuan seperti yang digambarkan dalam iklan adalah sebuah keharusan jika ingin diakui sebagai "perempuan cantik". Namun, masih banyak juga orang yang belajar tentang hal-hal seperti ini masih juga suka membahas fisik orang lain. Apa urgensinya? Apakah setelah seseorang bilang, "Ternyata dadamu rata, ya?" kepada seseorang lainnya, lantas bisa membuat dada seseorang tersebut berubah ukuran sebagaimana yang distandarkan? Tidak juga.

Maka, tolonglah, berhenti membahas fisik seseorang. Coba cari obrolan yang tidak perlu menyakiti siapa pun ketika bertemu kembali dengan teman lama ataupun teman baru. Banyak obrolan tentang sastra, filsafat, ekonomi, politik, iklim, lingkungan, dan topik menarik lainnya, tetapi kau lebih memilih membahas fisik seseorang? Hell-ooo! Sepertinya hidupmu butuh piknik!