Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Kamis, 09 Juli 2015

Kabar Gembira(?)

"Aku lulus sidang dengan nilai A!" aku mengetik pesan itu dengan cepat, tetapi cepat-cepat pula menghapusnya kembali. Pesan itu takjadi terkirim sebab segala sesuatunya taklagi seperti dulu. Barangkali, memilih menghela napas panjang-panjang adalah sebuah pilihan yang menenangkan untuk kali ini.

Sungguh, hingga detik ini, satu-satunya orang yang ingin kukabari cepat-cepat setelah kedua orang tuaku adalah kamu. Masih kamu. Tapi, aku taklagi bisa menulis rentetan pesan semacam "Aku dapat IPK tertinggi lagi, loh." atau "Aku cum laude lagi." atau "Semester ini IP-ku 4.00!" kepadamu. Dulu, jika seperti itu, sebentar lagi kamu pasti akan meneleponku untuk mengucapkan selamat berkali-kali. Lalu, pipiku merona. Bahagia sekali rasanya. Tapi, itu dulu. Dulu sekali.

Ah, sudahlah. Seharusnya memang aku segera bangun. Segala macam cum laude dan IPK tertinggi itu memang sebaiknya disimpan rapat-rapat. Kamu takperlu tahu, toh, barangkali kamu pun taklagi ingin tahu. Kabar gembira tentangku barangkali taklagi penting untukmu. Padahal, aku hanya ingin berbagi kebahagian denganmu, bukan untuk mengintimidasimu. Terlebih untuk membuatmu merasa kecil. Sudah, sudah, lupakan. Sebab, seberapa keras pun berjuang, aku takpernah bisa meyakinkanmu bahwa aku akan tetap berada di sampingmu, apa pun yang terjadi. Apa pun.

Namun, barangkali ketabahan bulan Juni kemarin mengajariku banyak hal. Bahwa aku harus merelakan segala sesuatu yang tidak tercipta untukku, dan mungkin kamu salah satunya. Bahwa aku harus mulai berhenti menunggu seseorang yang sedang berbahagia menunggu kedatangan orang lain, dan mungkin itu kamu yang sedang menunggu kepulangan orang-yang-bukan-aku. Dan, bahwa aku harus memperjuangkan hal lain yang patut diperjuangkan, mungkin kamu yang takberkenan ada di dalamnya. Dan, aku harus cepat-cepat pergi memang.

Sesungguhnya, ada satu lagi kabar (yang seharusnya) gembira untuk kita. Tapi, barangkali itu dulu. Sekarang takperlu lagi kuceritakan di sini. Toh, di kota mana pun nanti aku tinggal, tidak akan membuatmu kembali. Rumahmu bukan lagi aku. Aku cukup tahu diri. Sekian dan terima kasih. Aku undur diri.

Kamis, 02 Juli 2015

Selamat, Segala Sesuatunya (akan) Selesai!

Kurang dari 24 jam saya akan menghadapi sidang tesis. Sementara itu, saya baru saja menyelesaikan membuat poin-poin presentasi beberapa menit yang lalu. Tetiba saja, perut saya rasanya sedikit mulas. Untuk pertama kalinya, saya grogi menghadapi hal-hal presentasi seperti ini. Pun untuk pertama kalinya juga saya bergadang selama hampir seminggu untuk menyelesaikan tesis ketika tenggat waktu pengumpulan dua bulan yang lalu. Dan, begitulah. Tesis kali ini selesai pada waktunya dengan segala macam suka-dukanya.

Saya memilih topik tentang fenomena pesugihan di Gunung Kawi. Sedikit yakin, banyak ragunya saat itu. Sempat mengajukan ganti topik, tetapi ditolak oleh pembimbing. Akhirnya, saya pun takada pilihan lain selain menyelesaikan topik ini hingga selesai. Penelitian pertama saya lakukan pada bulan Januari. Sekira 10 hari saya menginap di Gunung Kawi, menghitung hari agar cepat selesai, tetapi lama-lama saya menikmati proses ini.

Data lapangan menunjukkan banyak hal yang takterlihat pada mulanya, tetapi memang seharusnya demikian. Setiap orang yang berkepentingan di sana selalu menekankan bahwa di Gunung Kawi bukanlah tempat pesugihan, tetapi hanya tempat ziarah atau ngalap berkah. Akan tetapi, logikanya, tempat ziarah "biasa" tidak mungkin dikunjungi hingga sepuluh ribu pengunjung setiap bulannya. Sesungguhnya, penelitian saya ini memang tidak mempermasalahkan ada atau tidaknya pesugihan di sana, tetapi hal-hal yang di luar itu, misalnya ideologi, politik, dan narasi dalam ritual ngalap berkah.

Karena pembahasan tentang persilangan hal-hal tersebut antara pemangku kepentingan di Gunung Kawi, saya pun harus mengkroscek data ke Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat karena pihak Gunung Kawi menyatakan bahwa kedua makam tersebut ada hubungannya dengan Hamengkubuwono III.

Baiklah. Singkatnya, saya harus penelitian ke sana kemari mencari data. Semacam lelah, tapi takbisa berhenti di tengah jalan. Saya harus lulus pada semester ini jika takmau membuang delapan juta untuk bayaran semesteran dan mau mempertahankan predikat cumlaude (yang sesungguhnya juga taktahu fungsinya untuk apa).

Sekarang, segala sesuatunya sudah hampir selesai. Barangkali 15 jam lagi saya sudah bisa menyandang gelar M.Hum. di belakang nama saya. Namun, sekarang saya tahu, apa yang membuat saya mulas. Lalu, setelah M.Hum. saya akan bagaimana? Akan ke mana? Akan melakukan apa? Akan bekerja apa? Pertanyaan-pertanyaan yang takkan habis itu sedikit-sedikit menghantui saya.

Dulu, ketika lulus jenjang sarjana, saya sama sekali takmemikirkan hal tersebut. Sebab saya langsung melanjutkan S2 dengan salah satu tujuannya adalah penundaan status pengangguran. Tapi sekarang? Saya mau lari ke mana lagi? Menunda segala sesuatunya dengan sekolah S3? Saya rasa menunda tidak akan pernah menyelesaikan masalah.

Satu hal sesungguhnya yang ingin saya lakukan selepas lulus: saya ingin mengajar. Tapi, entahlah, universitas mana yang rela menerima saya. Haha. Pilihan untuk tetap di kota ini atau pindah ke kota lain pun masih harus dipikirkan masak-masak. Pilihan untuk menikah--yang entah dengan siapa pun--harus masuk ke dalam daftar rencana. Atau pilihan melanjutkan S3 di mana dan kapan sebenarnya bisa dipikirkan mulai sekarang. Atau mungkin beberapa bulan mempersiapkan beasiswa dengan les bahasa Inggris dan kerja freelance di penerbitan bisa juga menjadi pilihan. Dan, segala sesuatunya sekarang berkumpul dalam perut, membuat melilit. Padahal saya harus istirahat, sebentar lagi waktu sahur, sebentar lagi sidang tesis.

Ternyata menjadi dewasa itu dilematis, ya?