Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Minggu, 22 Maret 2015

Kepada Sang Pemberi Debar

Saya tidak pernah tahu harus menyebut "kita" sebagai apa. Serupa catatan harian yang menumpuk tanpa pernah berniat memberi judul. Barangkali, itu kita, sekarang. Entah nanti.

Barangkali, hari-hari yang pernah dan sedang kita lalui sekarang, hanya serupa daun-daun yang meranggas pada musim gugur tahun lalu, yang barangkali juga takterganti pada musim semi kemudian. Dan, guguran itu lantas luruh begitu saja. Menyatu dengan tanah atau termakan burung atau mungkin tersapu angin, lalu hanyut ke sungai. Lenyap.

Percakapan-percakapan yang tentang apa saja itu pun tanpa pernah ada tentang kita. Kita hanya tahu bahwa kita suka bercakap panjang-panjang dan banyak-banyak dalam sebuah ruang yang seringkali saya sebut sebagai ruang kosong. Serupa angin malam yang tanpa pernah kita sadari suka menyelip di antara pori-pori, lalu menyisakan kembung dalam perut. Begitulah, kita. Takterlihat, tetapi barangkali nanti akan menyisakan bekas. Yang bentuknya entah apa.

Sekali lagi, saya juga tidak pernah tahu apakah kata "kita" cukup mendefinisikan antara saya dan kau. Atau sebenarnya kita hanya cukup disebut sebagai saya dan kau. Sudahlah lupakan. Apalagi yang kita cari, selain percik bahagia pada raut muka ketika percakapan-percakapan panjang pada malam-malam yang sama sekali takpanjang itu tersulut? 

Namun, di antara banyak hal itu, saya hanya tahu satu hal tentang kau. Terima kasih, wahai, Sang Pemberi Debar!