Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Senin, 16 Februari 2015

Kepada Cinta Yang Nanti

Bandung, 16 Februari 2015

Kepada Cinta Yang Nanti,
Kali ini, aku sama sekali takberharap banyak. Hanya ingin merasa cukup, lalu semoga semua akan baik-baik saja. Ini surat pertama, pada hari yang kuanggap pertama. Beberapa minggu yang lalu, beberapa orang berbondong-bondong untuk menulis surat pada momentum #30harimenulissuratcinta. Aku tertinggal. Maka, tanpa ada alasan apa pun, semoga saja selama tiga puluh hari ke depan, aku bisa berkomitmen untuk menulis surat. Pada siapa saja, termasuk ikan paus di lautan, mungkin.

Kepada Cinta Yang Nanti,
Aku tahu, kamu pun tahu bahwa kita sama sekali belum tahu perihal apa pun tentang nanti. Kita hanya sedang berlari menuju ke ujung jalan itu. Seolah sendirian. Namun, kita sama-sama tahu bahwa di seberang rel itu kita sedang tertuju pada arah yang sama.

Kepada Cinta Yang Nanti,
Apa yang kuharapkan padamu? Tidak ada. Aku sama sekali takmengharapkan apa pun sebab seringkali harapan akan berbanding lurus dengan kekecewaan. Terlalu sering mengecewakan dan dikecewakan tidak baik untuk kesehatan, bukan? Maka dari itu, aku hanya ingin berbahagia pada waktu yang sedang ada. Berbahagia untuk apa pun, bukan mencari kebahagiaan karena sesuatu, termasuk berbahagia denganmu nanti.

Kepada Cinta Yang Nanti,
Entahlah. Apa yang harus kukatakan lagi, selain aku akan menunggumu di ujung jalan itu. Semoga kamu datang tepat waktu, tidak terlambat dan tidak tergesa-gesa. Jika kamu terlambat, aku takut gempa bumi menghancurkan ujung jalanan itu hingga aku pun tinggal nama. Namun, jika kamu terlalu cepat, aku juga takut, langkah kecilku ini belum tiba di sana, di tempat seharusnya kita bertemu karena perjalanan terlampau panjang.

Kepada Cinta Yang Nanti,
Kamu percaya, bukan, bahwa hidup hanya tentang waktu? Yang fana adalah waktu, kita menurut saja. Dan, aku pun percaya bahwa waktu juga yang akan menyembuhkan dan mengeringkan lukamu dan lukaku yang entah dari mana dan siapa. Hingga nanti, pada waktu ketika kita seharusnya bertemu, takada lagi luka lama yang akan membuat luka baru.

Kepada Cinta Yang Nanti,
Begitulah, suratku ini. Dibuat dalam sela-sela menunggu pagi. Untuk kamu, yang entah siapa.