Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Kamis, 16 Oktober 2014

Pemujaan terhadap Benda

Sesungguhnya, saya sedikit bingung memilih judul. Tapi, nanti semoga bisa dipahami maksud saya ketika saya menguraikan tulisan ini (tanpa) panjang-panjang. 

Pada mulanya, tulisan ini berawal dari kemuakan saya terhadap diri saya sendiri atau barangkali juga orang lain yang terlampau melekat dengan benda atau benda-benda. Sederhananya begini, saya punya ponsel keluaran terbaru dengan tingkat kecanggihan yang sudah tidak diragukan lagi, seharusnya saya bisa menggunakan ponsel tersebut dengan memaksimalkan segala macam fitur yang ada di dalamnya. Sayangnya, saya memilih untuk membuat ponsel tersebut berjalan normal dengan alasan sayang kalau rusak karena terlalu banyak fitur. Atau contoh lain, katakanlah Oknum A yang memiliki mobil, tetapi ia lebih memilih naik motor pada saat hari hujan dengan alasan sayang mobilnya nanti terkena hujan dan akan cepat aus. Atau barangkali pada zaman yang serba ini, masih ada seseorang yang mengatakan bahwa mesin cuci adalah barang tersier ketika seseorang tersebut telah mampu membeli rumah seharga 1 miliar rupiah tanpa cicilan. Dan, orang tersebut memilih mencuci bajunya secara manual.

Adakah bayangan?

Semester lalu, saya sedikit berpikir karena tingkah salah satu dosen saya, katakanlah inisialnya SGA--tentu saja ini singkatan dari Seno Gumira Ajidarma. Beliau mengajar mata kuliah ideologi kebudayaan populer. Di tengah-tengah mata kuliah, beliau menyalakan laptop--merek Samsung keluaran terbaru pada saat itu--untuk menampilkan bahan ajar kuliahnya. Namun, yang membuat kami berdecak adalah perlakuan beliau pada laptop itu tak ubahnya seperti memperlakukan mesin tik. Laptop yang seharusnya sudah bisa bekerja dengan gerakan halus, beliau menekan-nekan tombol demi tombol di keyboard seolah-olah itu adalah mesin tik yang sudah usang. Kami berdecak, beliau sepertinya paham.

"Kenapa kalian?" tanyanya tiba-tiba ketika mendengar gumaman kami.

"Itu laptopnya sayang, Pak," seorang teman saya menyahut.

"Loh, kenapa? Ini memang dibeli untuk diperlakukan apa saja. Ngapain sayang?" beliau menjawab dengan entengnya dan tetap melanjutkan mengetik di laptop mahal itu dengan gaya mengetik di mesin tik. Cetok, cetok, cetok. Ah, barangkali lebih keras daripada itu.

Kemudian, dari percakapan singkat itu, saya menjadi berpikir. Iya, betapa selama ini saya membeli barang untuk dipuja. Terlalu takut rusak, terlalu takut kenapa-kenapa. Padahal, jika dipikirkan ulang, benda-benda itu seharusnya diciptakan untuk membantu kebutuhan hidup, bukan untuk dipuja.

Atau bahasa yang seringkali dirasa keren adalah fetisisme. Katakanlah begini, seseorang membeli mobil merek Mercedes Benz. Mobil itu setiap hari dielus-elus--barangkali frekuensinya melebihi mengelus-elus istrinya--kemudian dia juga ikut klub mobil Benz. Untuk suku cadangnya pun harus asli dari Jerman. Dan, penggunaan mobil pun harus sesuai ketentuan, misalnya jok belakang harus diisi maksimal-semaksimalnya 3 orang karena kalau lebih akan membuat usia jok mobil itu berkurang. Seseorang itu hidupnya akan terus ter-attachment dengan mobilnya yang bermerek Benz itu.

Jadi bagaimana?
Saya, sih, mikirnya, how come? Bagaimana bisa seseorang--yang katanya berpendidikan tinggi dan berbudaya, tetapi ternyata masih memuja benda yang seharusnya bisa dengan gampang dibeli. Pemujaan terhadap sebuah benda akan terus ada dan bertumbuh tanpa disadari, terlebih pada orang-orang yang sangat sadar pada posisi kelasnya masing-masing. Pemujaan terhadap benda-benda tersebut sudah bukan hanya atas dasar suka, tetapi juga prestise yang membuatnya semakin bisa membedakan posisinya dengan orang lain.

Begitulah. Boleh percaya boleh tidak.