Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Kamis, 24 Juli 2014

Please, Respect Your Body, Girls!

"Kamu kenapa beli pakaian dalam semahal itu?" seorang teman saya berceletuk ketika saya pulang dari berbelanja pakaian dalam beberapa bulan yang lalu. Saya hanya tersenyum.

"Kan, orang juga enggak bakal lihat kamu pakai apa di dalam. Entah mahal, entah tidak, toh, ujung-ujungnya ketutup juga." Teman saya itu berceloteh panjang lebar dan saya hanya mendengarkan. Tanpa berkomentar apa pun.

Sebenarnya, saya pun tidak bermaksud membeli pakaian dalam seharga itu, tapi saya hanya percaya bahwa pakaian dalam yang nyaman akan memengaruhi mood sepanjang hari. Begini saja, jika bra yang dipakai itu katakanlah sudah terlalu longgar, pasti rasanya sangat tidak nyaman. Dan, saya tidak ingin hari saya rusak hanya gegara bra yang sudah tidak pas lagi. Jauh lebih baik, saya mengeluarkan uang sedikit lebih banyak untuk membeli bra yang bagus dan tahan lama daripada harus membeli bra yang murah tapi sebentar saja sudah bikin tidak nyaman. 

Ah, saya pun seringkali menyayangkan ketika melihat perempuan cantik dengan baju yang sedikit transparan, dan terlihat bra yang dikenakannya sudah molor sana-sini. Aneh saja melihatnya. Bagi saya, membeli pakaian dalam yang bagus adalah salah satu cara untuk menghargai diri sendiri. Tubuh layak mendapatkan penutup yang terbaik. Sebagus apa pun baju yang dipakai, jika pakaian dalamnya tidak layak pakai, barangkali sama saja dengan makan di restoran mewah, tapi makanannya basi. Sayang sekali, bukan?

Dan, biasanya saya membeli pakaian dalam di toko pakaian langganan mama saya. Jujur saja, saya sebenarnya sedikit enggan membeli pakaian dalam seorang diri. Paling tidak, saya harus ditemani mama atau teman saya. Entahlah. Ini memang kebiasaan aneh saya. Saya merasa malu saja harus menyebut berapa ukuran pakaian dalam saya kepada penjaga toko atau memilih-milih di depan banyak orang. Risih saja.

Namun, sampai akhirnya, saya tak sengaja mendengar cerita teman saya tentang pengalamannya belanja di online shop.  Katanya, dia biasa belanja di zalora.co.id karena tokonya dapat dipercaya, barangnya bagus-bagus, dan harganya miring. Sesungguhnya, saya pun hampir tidak pernah belanja di online shop, hanya saja, cerita teman saya yang menggebu-gebu itu membuat saya penasaran mengeklik laman yang dia katakan tadi.

Ternyata banyak pilihan barang yang membuat saya bingung harus membeli apa. Haha. Tapi, menariknya, Zalora--nama online shop tersebut--mengklasifikasikan kategori berdasarkan jenis, misalnya pakaian, lalu di kategori pakaian tersebut dibedakan lagi menjadi pakaian muslim, dress, bawahan, atasan, dan lain sebagainya. Dan, yang membuat saya menjerit kegirangan adalah adanya kategori pakaian dalam wanita di Zalora. Itu artinya, saya tidak perlu lagi merasa risih belanja di toko dan harus diperhatikan banyak orang.

Setelah saya scroll ke atas dan ke bawah, apa yang dikatakan teman saya tersebut rasanya tidak berlebihan. Barang-barang yang dijual adalah barang-barang bermerek terkenal dengan harga yang miring. Kalau tidak percaya, cek laman ini http://www.zalora.co.id/women/pakaian/pakaian-dalam/ yang khusus pakaian dalam dengan berbagai macam jenis. Kalau mau berselancar ke kategori yang lain juga tidak rugi. Haha. Duh. Ini bahasannya sudah ke mana-mana, ya? Maafkan saya. Saya hanya sedang meluapkan kegembiraan saya atas "pertemuan pertama" saya dengan Zalora Indonesia yang mengerti kebutuhan saya.

Honestly, It's my first time for shopping online. And, it's no matter how I get my underwear, but how I respect my body (and my soul). Karena saya masih sangat percaya bahwa memilih pakaian dalam yang baik adalah salah satu usaha untuk membuat kehidupan yang lebih baik.

Selasa, 22 Juli 2014

Perkara Kelapangan Hati dalam Pilpres yang (Hampir) Selesai

Akhirnya. Segala macam proses yang entah dari kapan dan mana itu selesai juga. Saya yakin, yang terpilih hari ini adalah kandidat yang terbaik menurut Tuhan. Siapa pun itu yang terpilih--tapi kali ini calon presiden nomor 2--semoga bisa menjaga kepercayaan rakyat. Dan, hidup akan tetap baik-baik saja sampai nanti. Rasa syukur saya yang lain adalah saya tidak perlu membeli dua es krim magnum lagi. Calon presiden nomor 2 terpilih meskipun tidak terlalu telak. Haha

Hanya saja, ada satu hal yang menarik dalam proses pengumuman KPU dari pukul delapan pagi hingga delapan malam: tentang kelapangan hati. Saya yakin, siapa pun di sini sudah mengetahui, bahkan menonton pidato singkat dari calon presiden nomor 1. Mungkin beliau sedang lelah hingga muncullah banyak tuntutan terhadap KPU dan mungkin juga pada MK. Atau entah apa pun yang sedang beliau bicarakan, saya hanya bisa menangkap satu hal bahwa ada perasaan tak rela untuk menyerahkan kursi presiden pada lawannya, apa pun alasannya. Barangkali saya salah simpulan, tapi izinkan saya menguraikan.

Seandainya saja, calon presiden nomor 1 itu menerima kekalahan, lalu pergi ke kediaman presiden terpilih untuk mengucapkan selamat. Barangkali, rakyat yang tidak memilih akan sangat menghormatinya karena kelapangan hati dan sikap ksatria yang ditunjukkannya. Dan, barangkali juga, beliau akan terpilih menjadi presiden selanjutnya. Entah kapan. Tapi, saya tidak akan membahas lebih lanjut perkara siapa yang menang atau kalah dalam perhelatan ini. Sudahlah. Itu biarkan menjadi urusan KPU dan teman-temannya.

Begini saja, saya sedang mencoba mengurai perihal kelapangan hati atau barangkali sebutlah ikhlas. Ikhlas dalam menerima kekalahan atau kekecewaan dalam hal apa pun itu. Dan, jika saya boleh menyimpulkan, yang menghancurkan sebuah ketulusan atau keikhlasan adalah ekspektasi. Iya. Pengharapan atau angan-angan yang terlalu tinggi. Katakan saja, calon presiden nomor 1 sudah berekspektasi bahwa beliau menang, ternyata tidak. Sementara itu, harapan sudah melambung entah ke langit sebelah mana. Ah, itu pasti rasanya sakit sekali.

Seharusnya, ikhlas itu melepaskan. Melepaskan jabatan untuk orang yang lebih layak. Ah, ini mungkin juga berlaku pada perkara cinta. Bahwa cinta itu seharusnya melepaskan, bukan menggenggam erat. Dan, tanpa ekspektasi yang berlebih sebab seringkali ekspektasi itu menghancurkan banyak hal. Harusnya, ikhlas ya ikhlas saja, tanpa embel-embel mendapatkan kembali apa yang telah diberikan. Tanpa bilang-bilang saya tulus menerima kekalahan. Urusan mendapatkan kembali apa yang telah diberikan juga sesungguhnya bukan urusan yang telah diberi. Tuhan lebih tahu.

Duh. Lupakan paragraf sebelum ini, tapi saya ingin mengutip kalimat entah siapa bahwa ikhlas itu seperti surat Al-Ikhlas yang di dalamnya tidak ada kata ikhlas

Minggu, 13 Juli 2014

Mari Merajut!

Semingguan ini saya sibuk. Sibuk merajut. Haha. Ini serius. Bukan merajut kata, terlebih merajut cinta. Tapi, saya merajut benang untuk dijadikan banyak hal. Ehm, tapi, kali ini saya baru berhasil merajut satu syal. Saya mengerjakannya selama beberapa hari, mungkin sekira enam hari. Terpotong dua hari untuk ngedit sebuah novel. Tapi, lupakan waktu pengerjaan untuk satu syal ini. Yang penting, apa yang saya rasakan ketika merajut ini. Kalau kata teman saya merajut adalah in the name of serenity.

Pertama kali saya memegang jarum rajut dan benang, ayah saya berkomentar, "Mending kamu bantuin Ayah bikin kandang merpati. Kamu lebih jelas bisa pegang kayu, palu, dan paku. Daripada pegang jarum dan benang kayak gitu. Dari tadi gak jelas mau bikin apa." Saya hanya tertawa. Dalam hati mengiyakan juga, tapi, kan, saya tidak boleh menyerah begitu saja.

Ya, memang saya hampir menangis dan putus asa belajar merajut. Dari nol. Saya hanya bermodalkan satu jarum rajut untuk teknik crochet dan tiga gulung benang siet, entah apa namanya. Tapi, benang yang bagus untuk merajut adalah benang katun bali atau benang yang terbuat dari akrilik. Berhubung saya kesusahan dalam mencari benang di kota saya ini, jadilah hanya benang dan jarum ini yang saya beli. Jarum rajutnya seharga 3 ribu rupiah, sedangkan benangnya satu gulung seharga 5 ribu rupiah.


Saya mencari banyak video tutorial merajut, menirunya, gagal, cari lagi, menirunya, berhasil awalnya saja, gagal di akhir, cari tutorial lagi, susah, menirunya, gagal, begitu seterusnya sampai akhirnya saya menemukan beberapa video yang bisa membantu saya untuk merajut dengan lebih mudah.

Untuk teknik dasar merajut, saya sangat terbantu dengan video ini:


Masih ada beberapa video lagi, tetapi terlalu berat untuk diunggah di sini semua. Baiklah. Anggap saja, teknik dasar membuat crochet sudah mengerti. Ehm, cukup sulit pada awalnya, tapi nanti akan lancar dalam memutar-mutar jarum crochet-nya. Setelah teknik dasar sudah cukup bisa--meskipun tidak dapat disebut bisa, sih, haha--saya mencari video lain bagaimana caranya merajut syal dari jarum chrochet yang saya punya ini. Mengapa syal? Karena saya seringkali merasa kedinginan di tempat mana pun. Paling tidak, syal bisa bermanfaat untuk saya dalam hal ini. Ternyata saya menemukan video ini. Dan cukup mudah untuk diaplikasikan.


Dan, ternyata, videonya tidak dapat diunggah, tapi semoga link-nya masih bisa dibuka. Dari video tersebut, akhirnya saya mempunyai gambaran how to make a scarf. Ya, dari situ saya mencoba membuat syal a la saya. Dan, inilah hasilnya.

Taraaaaa ....


Ini adalah syal hasil rajutan tangan saya yang pertama. For the first time, merajut syal ini membutuhkan waktu yang sangat lama. Tapi, semua itu terbayar ketika benang terakhir terkait. Ya, syal ini terlalu tipis dan kurang panjang. Ini masih dalam tahap belajar, saya ingin membuat syal lain atau mungkin nanti sweater dengan benang yang lebih halus dan bagus, lantas bisa difungsikan sebagaimana mestinya. Haha.

Tapi, paling tidak, liburan ini saya tidak terlalu menganggur. Ada benang-benang yang harus saya rajut agar lebih bermanfaat.

Dan, kemudian, setelah urusan merajut ini sudah dalam level sanggup, proyek liburan selanjutnya adalah membuat kue. Tentunya di samping beberapa tulisan dan bacaan yang harus diselesaikan. Semoga nanti lebaran sudah bisa merealisasikan untuk membuat brownies kukus. Let's see!

Rabu, 09 Juli 2014

Perihal Pilpres yang Sudah Tadi

Pilpres 2014 seru, ya? Barangkali saya bisa menjawab pertanyaan itu dengan anggukan mantap. Tentu saja sangat seru. Baru kali ini saya ikut deg-degan menunggu hasil penghitungan suara. Karena baru kali, Indonesia hanya terbagi dalam dua kubu, jika tidak A, maka B. Atau pilihan terakhir adalah golput. Namun, saya rasa, jumlah pemilih yang memilih untuk tidak memilih jumlahnya tidak sebanyak pemilu-pemilu lalu.

Dan, pada akhirnya, hari ini saya telah memutuskan pilihan setelah hari-hari lalu saya masih ragu pada pilihan. Saya menjadi minoritas dalam keluarga saya. Hanya saya satu-satunya dalam keluarga saya yang memiliki pilihan berbeda. Tidak masalah. Latar belakang militer dalam keluarga saya membuat keluarga saya menjadi pemilih Prabowo garis keras. Saya pun menghormati pilihan keluarga saya. Pun keluarga saya menghormati pilihan saya. Meskipun tentu saja, ada adu argumen antara saya dan ayah saya, terutama.

Hari ini, saya memutuskan untuk memilih Jokowi. Saya bukan pendukung fanatik Jokowi. Hanya saja, saya memilih atas dasar beberapa pertimbangan dan hati nurani saya. Paling tidak, saya memilih dengan mempertimbangkan rekam jejak, prestasi, siapa orang-orang di sekitarnya. Barangkali pertimbangan saya ini terlalu dangkal, tapi sudahlah. Saya sedang mencoba memilih yang terbaik di antara yang tidak terlalu baik. 

Dan, terlepas dari alasan saya itu, hari ini saya mendapat satu buah es krim Magnum Infinity dari ayah saya. Sebagai bayaran atas taruhan semalam. Berhubung saya dan ayah saya berbeda pilihan, ayah saya mengajak taruhan. Awalnya, ayah saya mengusulkan jika Prabowo menang, saya harus push-up sebanyak 25 kali, dan jika Jokowi menang, ayah saya yang harus push-up sebanyak 15 kali. Terasa tidak adil dan tidak ada fungsinya, bukan? Haha.

Lantas, iseng-iseng saja saya mengusulkan agar mengganti saja taruhannya. Taruhannya es krim Magnum. Siapa pun yang kalah, wajib membelikan yang menang satu buah es krim Magnum. Ayah saya setuju. Dan, saling olok sepanjang hari hingga prosesi penghitungan cepat memunculkan hasil.

Pada akhirnya, hasil penghitungan cepat keluar. Hasilnya tidak sesuai yang diharapkan. Ada dua hasil yang diusung oleh masing-masing media pendukung capres. Satu mengatakan Prabowo menang, dan satu lagi mengatakan Jokowi yang menang. Aneh memang. Entah siapa yang berbohong. Perbedaan angka itu malah semakin membuat lucu pemilihan presiden 2014. Rasanya baru kali ini, angka pada penghitungan cepat menjadi semacam opini yang berbeda pada setiap media.

Untungnya, lembaga survei yang mengatakan Jokowi menang lebih dapat dipercaya--paling tidak menurut ayah saya. Lalu, tadi, sebelum magrib, ayah saya menepati janjinya untuk membelikan saya sebuah es krim, tapi dengan satu syarat: jika nanti penghitungan KPU sudah keluar, dan ternyata Prabowo menang, maka saya harus membelikan dua es krim. Satu atas bayaran taruhan, dan satu atas ganti es krim saya hari ini. Saya mengiyakan! Haha

Sesungguhnya, siapa pun yang menjadi presiden nanti, tidak banyak berpengaruh dalam hidup saya. Hari ini saya sudah mengambil hak saya untuk berpartisipasi menentukan pilihan sesuai hati nurani. Siapa pun nanti yang menjadi presiden, toh, saya harus tetap menjalankan hidup sebagai warga negara yang baik, bukan?

Hanya saja, saya tidak mau melewatkan momen yang saya yakin tidak akan terulang ini. Menikmati euforianya sebelum ini benar-benar berakhir, termasuk taruhan yang hanya seharga es krim, atau adu argumen dengan ayah dan adik saya yang ujung-ujungnya saling olok. Ah, tapi, bukankah keluarga dan kebahagiaan harus dinomorsatukan? Iya! Kalau begitu, presiden nomor dua saja!

Sabtu, 05 Juli 2014

Perkara Pilpres yang Sebentar Lagi

Akhirnya saya pun terseret arus untuk tidak tidak membicarakan perkara ini. Saya tidak tahu banyak hal tentang siapa dan bagaimana kedua calon itu. Tentang apa visi misi mereka. Atau tentang apa dosa-dosa mereka. Hanya saja, saya tergelitik dengan hal-hal di luar hal itu. Hal-hal yang jika ditarik benang merahnya tidak akan memengaruhi jalannya pilpres ini.

Kemarin, saya membaca tulisan yang cukup netral yang disampaikan oleh Faldo Maldini--mantan Ketua BEM UI--yang dimuat dalam blog pribadinya, "Ada Indonesia di Ujung Sana". Tulisan ini berbicara tentang jalan panjang yang harus ditempuh oleh rakyat Indonesia, perjuangan yang terus-menerus harus dijalani, terlepas dari siapa pun pemimpinnya.

Saya setuju. Bahwa hari-hari ini dan beberapa hari ke depan akan menjadi hari-hari yang menentukan sejarah bangsa ini. Untuk kali ini, saya memutuskan untuk memilih, meskipun sampai detik ini saya belum menentukan pilihan. Saya cukup merasakan euforia pilihan presiden kali ini setelah periode-periode sebelumnya presiden saat ini mendominasi suara. Hanya ada dua calon, yang mungkin sama-sama baik atau sama-sama buruk, sehingga saya yakin masih banyak orang yang bingung memilih atas dasar tidak tahu mana yang lebih baik.

Ini adalah hari pertama hari tenang. Hari tanpa kampanye resmi meskipun saya yakin masih banyak kampanye terselubung di setiap akun jejaring sosial, entah kampanye hitam, putih, atau bahkan pelangi. Teman-teman saya dari beberapa waktu yang lalu juga hampir setiap hari meriuhkan calon-calonnya di grup Whatsapp. Ayah saya juga se(ter)lalu bersemangat mempromosikan calon yang beliau pilih. Setiap kali saya membuka akun jejaring sosial, yang ada hanya hujatan atau pujian terhadap salah satu calon.

Itu sah!

Tidak ada hal yang perlu dirisaukan. Kemarin, saya melihat sebuah meme yang intinya memohon agar 9 Juli cepat berlalu sebab banyak yang mulai eneg. Bahkan, seorang teman saya mengaku dari beberapa hari yang lalu hingga 11 Juli telah memblokir segala macam obrolan yang berkait dengan pilpres, pemilu, dan lain sebagainya itu.

Sejujurnya, saya jauh lebih menikmati respons yang ada daripada visi misi dua kandidat itu. Respons yang muncul seringkali sebuah ide kreatif yang luar biasa, katakan saja video-video kampanye atau slogan-slogan kampanye. Barangkali memang benar, momen pilpres 2014 tidak akan pernah terulang. Dua kandidat dengan pendukung masing-masing yang saya rasa sama kuatnya. Yang sudah memiliki media sendiri untuk mempromosikan dirinya. Sehingga, sampai detik ini pun, saya tidak ada bayangan siapa yang akan memenangkan perhelatan ini.

Kurang dari 3 hari, perhelatan itu akan digelar. Detik-detik menuju sejarah baru. Memilih untuk menikmati momen-momen yang tidak akan terulang ini sepertinya jauh lebih menarik daripada hanya mencaci atau melarikan diri. Barangkali, kali ini saya percaya bahwa politisi yang buruk terpilih karena orang-orang baik memilih untuk tidak memilih. Siapa pun pilihannya, saya yakin, ada kebaikan yang sudah dipertimbangkan baik-baik.

Dan, yang lebih penting, tidak terlalu berharap lebih pada siapa pun yang telah terpilih nanti juga akan menjaga kepercayaan pada negara. Memilih sewajarnya, percaya sewajarnya. Sebab, terlalu tinggi ekspektasi akan menjatuhkan dan membuat sakit. Percayalah, ketika siapa pun yang terpilih nanti, janji-janji pada masa kampanye akan menguap satu per satu. Lalu, terlupakan perlahan. Barangkali saya salah akan hal ini. Dan, semoga yang terpilih nantinya juga akan tetap amanah. Namun, pemerintahan yang sudah-sudah mengajarkan banyak hal.

Lantas, bagaimana jika siapa pun yang terpilih nanti, akan bekerja untuk pihak yang sama? Atau memiliki tujuan yang sama. Apakah segala macam caci maki dan hujatan selama ini masih berarti? Apakah kehidupan akan berubah menjadi sejahtera semuanya? Atau apakah kandidat yang dibela mati-matian itu akan peduli pada kehidupan yang membela itu? Ah, maafkan saya yang terlalu pesimis memandang negeri ini. Nyatanya, saya harus memandang pilihan presiden ini dari dua sisi. Dua sisi yang akan menyeimbangkan segala sesuatunya.

Barangkali, tulisan ini terlampau terlambat. Barangkali juga sudah terlalu banyak dibahas. Ah, maafkan saya yang tidak membawa kebaruan dalam sumbangan pemikiran perhelatan akbar ini. Namun, satu hal saja yang patut saya camkan baik-baik bahwa seharusnya saya tidak berhak membenci siapa pun meskipun saya berhak tidak memercayai siapa pun.

Jombang, 6 Juli 2014, hari-hari menjelang pilpres