Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Senin, 24 Februari 2014

Kepada Kamu. Muara Rindu

Semenjak kepergian itu, aroma tubuhmu--yang sempat kucium sebelum kereta yang membawamu pulang itu berangkat--masih melekat. Dalam ingatan. Padahal, sudah berapa purnama semenjak kepergianmu? Kukira banyak. Hanya saja, kenangan selalu saja membawa pada hal-hal yang seharusnya diingat. Tanpa diminta.

Kepada kamu. Rinduku itu jatuh. Bertumpah ruah dalam ruang tak terbatas. Pun tanpa diminta. Rindu. Yang semenjak bertemu matamu, aku selalu saja kerepotan untuk mengasuhnya. Pun rindu. Yang membuat mataku selalu mencari matamu. Mata bulat itu. Yang tak pernah berhenti membuatku merindu.

Kepada kamu. Rinduku menjadi liar. Yang sebelumnya tak pernah ada. Terbungkus rapi. Kini ke mana-mana. Serupa kopi panas yang tumpah. Menempel. Membuat noda. Susah hilang. Begitulah. Barangkali bisa dikata seperti itu. Ya. Hanya kepada kamu.

Lalu, jarak seringkali dituduh sebagai penghalang rindu. Aku toh setuju saja. Hanya, yang aku tahu. Jarak adalah satu-satunya alasan yang membuat rindu semakin khidmat. Yang aku juga tahu. Apa pun itu. Muara rindu masih sama. Kamu.

Rabu, 12 Februari 2014

Anak Panah, Apa Kabar?

Gambar diambil di sini


Anak Panah, apa kabar?

Ceritanya aku sedang ikut-ikutan menulis surat cinta. Pada bulan yang katanya bulan cinta. Meskipun aku tahu, aku tidak akan sanggup ikut #30HariMenulisSuratCinta. Dan, ini pun bukan surat tentang cinta. Hanya saja aku sedang mencoba mencari tahu tentang kabarmu. Hallo, Anak Panah, apa kabar?

Bagaimana? Adakah sesuatu hal yang lain yang membuatmu enggan menulis surat atau sekadar membalas suratku lagi? Atau mungkin kau tak lagi mengunjungi laman ini karena kesibukanmu, mungkin? Barangkali memang seperti itu.

Aku hanya ingin berterima kasih padamu. Pada anak panah yang pernah kau lepaskan meskipun taktahu arah. Terima kasih sudah menulis untukku. Barangkali aku sudah berterima kasih padamu berkali-kali pada surat yang takpernah lagi kau balas itu. Tapi, takapa. Aku hanya ingin berterima kasih.

Ah, iya, satu lagi. Aku pernah bercerita tentang Lelaki Lampu, bukan? Iya. Lelaki Lampu yang pada saat itu hampir menyita seluruh perhatianku. Yang hampir saja membuatku gila. Ah, ini mungkin berlebihan. Tapi, satu hal yang harus kamu tahu. Tuhan mendengar doa-doaku untuk Lelaki Lampu itu. Agar aku dan Lelaki Lampu itu dipertemukan dalam aliran waktu yang sama. Ah, kau pun sebenarnya takperlu tahu doa-doaku yang lain. Tapi, terima kasih. Aku bahagia bersama Lelaki Lampu itu. 

Anak Panah, apa kabar?

Aku pun takpernah tahu bagaimana harus berterima kasih padamu. Dan, masih sangat berharap, kau tetap ada di depan lamanku meskipun takharus setiap hari. Terima kasih sudah membaca dan menulis untukku.