Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Rabu, 18 September 2013

Dari Baju Kebesaran Sang Raja Hingga Vickinisasi

Seorang Raja sedang kebingungan mencari penjahit untuk baju kebesarannya. Banyak penjahit yang telah datang, tetapi tidak ada yang pas dengan selera Raja. Sampai, suatu ketika, datanglah dua orang. Mereka mengatakan bahwa mereka adalah penjahit paling terkenal di negeri seberang. Mereka akan membuatkan baju kebesaran yang sangat istimewa untuk Sang Raja. Raja merasa hebat. Sebab, hanya orang pintar saja yang bisa melihat baju kebesarannya. Raja semakin senang.
Waktu  berjalan,  baju kebesaran telah siap. Raja becermin. Meskipun pada dasarnya Raja tidak melihat apa pun yang menempel di tubuhnya, Raja diam dan hanya mengangguk-angguk. "Iya. Iya. Bagus." komentarnya. Ya. Katanya hanya orang pintar yang bisa melihat rupa baju kebesaran itu. Para menteri pun hampir sama komentarnya. Tidak ada satu pun orang yang ingin terlihat bodoh dengan mengatakan bahwa dirinya tidak melihat apa pun.
Sampailah pada hari yang ditunggu. Raja ingin berkeliling wilayah kerajaannya dengan memakai baju kebesarannya itu. Rakyat menyambut gembira. Semua rakyat mengangguk-angguk dan (seolah) terkagum-kagum dengan kemewahan baju Sang Raja itu. Padahal, tak ada apa pun yang sedang menempel di tubuh Sang Raja. Sebab takada satu orang pun yang ingin terlihat bodoh.
"Raja telanjang! Raja telanjang!" seorang anak kecil yang taktahu apa pun berteriak lantang. Kasak-kusuk mulai terjadi. Kerumunan mulai riuh. Raja mulai panik. Lalu, satu per satu orang mengiyakan teriakan anak kecil itu. Diam-diam menertawakan Sang Raja. Tapi, lupa menertawakan dirinya sendiri. 

Baiklah. Mungkin itu cerita sederhana. Tentang baju kebesaran Sang Raja. Namun, paling tidak, bagi saya cukup lucu dan miris. Orang-orang dalam cerita itu menutupi hal yang sebenarnya hanya karena ingin terlihat pintar. Cerita itu mungkin hanya dongeng, tapi menggelitik. Sekarang pun sebenarnya banyak yang melakukan hal yang sama. Membuat diri seolah-olah pintar dengan melakukan berbagai cara. Apa pun. Termasuk berbicara yang sebenarnya entah apa, tapi terlihat keren karena menggunakan bahasa "tingkat tinggi". Iya. Saya memang sedang berbicara tentang fenomena yang baru saja terjadi. Tentang seorang yang bernama Vicky Prasetyo. Yang tetiba menjadi bahan tertawaan semua orang karena bahasa yang digunakannya entah bahasa mana. Yang mungkin hanya dirinya dan Tuhan yang tahu. Lalu, semua orang--yang merasa bahasanya lebih baik dari dia--berbondong menertawakannya. Mungkin, saya juga termasuk orang yang menertawakannya.

Kemudian muncul banyak parodi yang mengejek Vicky. Dari istilah Vickinisasi hingga Kamus Bahasa Vicky. Lucu saja. Vicky hanya salah satu korban yang kebetulan terekspos ke publik. Padahal, masih banyak orang lain yang serupa Vicky. Yang jika berbicara selalu dalam tataran tidak dimengerti. Yang jika menulis berprinsip semakin tidak dimengerti, maka semakin terlihat hebat. Yang banyak nama besar selalu disebut dalam setiap helaan napasnya. Yang selalu mengutip kutipan-kutipan dari tokoh besar, yang sebenarnya tidak pernah dipahami maknanya. Yang selalu menyelipkan bahasa-bahasa asing yang sebenarnya tidak pernah diketahui terjemahannya. Lalu, dengan bahasa tingkat tinggi itu mereka bisa menyebut dirinya orang pintar. Lalu, banyak orang hanya bisa terdiam jika berhadapan dengan orang yang seperti itu.

Pada kenyataannya, itu tidak terjadi di kalangan penyanyi dangdut saja yang dengan mudah terkagum-kagum dengan buaian diksi Vicky. Sebut saja di kalangan akademisi. Sebut saja dosen yang mengajar. Sebut saja teman sekelas yang terlihat pintar. Seringkali mereka berbicara tanpa bisa dimengerti. Hanya karena mereka berasal dari kalangan akademisi, maka yang mendengar pun cukup dibuat percaya. Ada banyak titel di depan dan di belakang namanya. Lalu, mau protes atau bertanya tentang maksudnya? Mungkin, orang di sebelah akan menganggap bodoh. Daripada harus menghadapi hal yang seperti itu, lebih baik diam. Mengangguk-angguk. Seolah mengerti. Padahal, takada satu pun hal yang masuk ke dalam memori. Takada beda dengan orang-orang dalam cerita Sang Raja tersebut, bukan?

Setiap orang memang membutuhkan imajinasi. Mungkin, salah satu imajinasi yang menyenangkan adalah terlihat pintar. Maka, setiap orang mengandai-andaikan dirinya adalah orang yang sangat pintar. Semacam terjebak fantasi. Sebab setiap orang menggunakan bahasa yang tidak dapat dimengerti untuk memenuhi kebutuhan imajinasinya. Ah, mungkin tulisan ini juga salah satu pemenuhan imajinasi saya. Agar saya terlihat mengikuti perkembangan masa. Agar terlihat takketinggalan zaman. Tapi, percayalah, sampai saat ini saya masih percaya bahwa orang yang benar-benar mengerti akan menjelaskan segala sesuatunya dengan bahasa yang sangat sederhana. Yang setiap orang dapat dengan mudah memahaminya.

Ini lucu, bukan?