Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Selasa, 27 Agustus 2013

Pasca-apa pun

Kurang dari tiga hari saya wisuda. Lalu, kurang dari lima hari saya mulai kuliah kembali. Jenjang yang berbeda tentunya. Saya bingung harus memulai cerita dari mana. Yang pasti, saya tidak merasa lulus. Bagaimana bisa merasa lulus jika dua hari setelah wisuda harus sudah kuliah seperti biasanya. Saya hanya ingin bersyukur. Itu saja. Paling tidak, saya ada alasan untuk tidak berbondong-bondong mencari pekerjaan. Ada penundaan. Entah sampai kapan.

Selasa, 13 Agustus 2013

Yang Seharusnya Ditinggalkan

Gambar diambil dari sini.


"Kamu?" Aku tertegun. Saat melihat tubuh yang dulu begitu kukenal sedang berdiri di depan pintu. Tersenyum. Lalu, semuanya tiba-tiba menguap. Dan, selalu saja begitu. Setiap kali matanya menatap lekat.
"Selamat lebaran. Mohon maaf lahir dan batin, ya!" dia berkata perlahan. Aku hanya mengangguk dan hanya terucap 'sama-sama'. Entahlah. Sudah berapa lama. Aku taklagi mengucap selamat Natal padanya. Sedang mencoba melupa. Dan, mungkin memang sudah terlupa. Meski sesekali masih terkenang.
"Silakan masuk," aku mempersilakannya dengan sedikit kikuk. Lalu, kami sudah berada di kursi masing-masing. Ujung dan ujung. Seolah tanpa pernah bersinggungan. Padahal, dulu. Ah, Sudahlah.
"Kamu apa kabar?" dia membuka hening yang sedang terjadi.
"Baik. Semoga kamu juga baik-baik saja," jawabku sekenanya. Aku takbermaksud menanyakan apa pun tentangnya.
"Begitulah. Aku juga baik. Sebaik aku mengingatmu," dia berkata tanpa perasaan. Aku semakin kikuk.
"Aku ingin mencoba opor ayam dan ketupat buatanmu," dia memecah hening kembali. Aku hanya menggeleng dan tersenyum. Aku tahu dia sangat tahu bahwa aku takpernah dan takbisa memasak, terlebih opor ayam. Terlalu rumit. Lalu, dia hanya tertawa. Tawanya masih sama. Renyah dan menghangatkan. Aku pun ikut tertawa. Sekadar membiarkan resah menyerah pada gelisah.
Sudah sangat lama. Aku takmelihat matanya. Sejak dia pergi setelah segala sesuatunya (harus) berakhir. Sudah pernah kubilang, setiap kali Natal, aku selalu mengingatnya. Dengan sangat. Sekadar mengingatnya. Dulu, ada rindu yang diam-diam melekat, lalu tertiupkan pada angin agar tersampaikan padanya. Sekarang tidak lagi. Aku hanya mengingatnya. Mungkin, setiap Lebaran seperti kali ini dia juga selalu mengingatku. Tapi, aku takpernah tahu, adakah rindu yang tertitipkan pada udara atau tidak.
Entahlah. Menjadi manusia terkadang terlalu rumit terikat pada nama. Pada aturan-aturan yang entah bagaimana harus terpatuhi. Pada segala hal yang entah bagaimana telah menjadi ritual pemujaan.
"Masih lama di rumah?" Aku mengangguk. Lalu, menyebut sebuah tanggal rencana kepergianku ke kota yang katanya metropolitan itu. Dia mengangguk-angguk.
"Kalau kamu takkeberatan, kamu bisa datang di acara pernikahanku. Tepat seminggu setelah hari ini," masih dengan gayanya yang santai, dia berkata seperti itu. Tentu saja, aku terkejut. Dulu. Kami selalu merencanakan masa depan bersama. Meski aku tahu, takpernah ada kata 'kita' di dalam masa depan kami masing-masing. Dia orang yang ambisius pada karier, kukira.
"Kenapa secepat ini?" aku takkuasa menahan pertanyaan itu.
"Setiap orang akan berubah, termasuk mimpi. Mimpiku taklagi jabatan tinggi,"
Aku tercekat. Rasanya aku ingin mendengarnya cerita banyak-banyak seperti dulu. Tapi, bukan itu.
"Selamat! Semoga kamu bahagia. Aku akan datang," janjiku padanya.
"Terima kasih. Aku tahu, kamu masih bersetia dengan mimpi-mimpimu itu. Semoga kamu juga bahagia,"
Aku mengangguk.
Lalu, perbincangan taklagi lama. Dia harus pergi (lagi). Ada bening yang menggumpal di pelupuk setelah melihat mobilnya menjauh ditelan sudut pandang. Entahlah. Bahagia atau sedih. Aku sama sekali takbisa mendefinisikannya.
Akhirnya, cerita pun berubah. Dan, pertanyaanku terjawab. Takada rindu yang diam-diam tercekat. Yang ingin dia sampaikan lewat udara. Untukku. Mungkin hanya kenangan, yang membawanya kemari. Menemui seseorang yang pernah ada dalam hidupnya. Dulu.
Ah, masa lalu. Selalu saja hanya untuk dikenang. Bukan untuk ditinggali, tapi sebaliknya.

Sabtu, 10 Agustus 2013

Pindah Hati

Dulu, saya bersetia menggunakan sampo merek A. Bertahun-tahun. Mungkin sejak saya tidak lagi menggunakan sampo bayi. Tapi, entah karena sesuatu hal yang saya lupa. Saya pun berpindah merek sampo B. Itu empat tahun yang lalu. Semenjak saya berkuliah. Lalu, membeli segala keperluan sendiri. Dan, ada beberapa hal yang berubah memang, termasuk merek sampo. Kemarin saya pulang. Keramas. Ternyata, sampo di rumah masih bermerek A. Saya pun memakainya tanpa rasa apa pun. Sempat beberapa kali keramas, rambut saya mulai ada perubahan. Terasa agak kasar. Dan kemerahan.

Iya. Sampo merek A taklagi cocok untuk rambut saya. Meski saya sudah menggunakannya bertahun-tahun. Rambut saya pun tahu, sudah berpindah pada sampo merek B.

Begitulah.

Semacam hati. Perpindahannya kadang takbisa kembali. Tempat yang baru mungkin taksemewah yang lama, tetapi jauh lebih nyaman. Lalu, apa yang dicari lagi? Mungkin, hati sudah berdiam di tempat yang lama dalam waktu yang taksebentar, tapi itu bukan jaminan bahwa hati bisa kembali ke tempat itu kapan pun. Tidak. Hati akan menemukan rumahnya. Dalam bentuk apa pun. Takperlu risau pada tempat yang taklagi cocok. Percayalah. Setiap hati telah memiliki rumah. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk berpindah.

Kamis, 01 Agustus 2013

Firasat

Ada kalanya memang. Alam memberi tahu segala hal yang (mungkin) akan terjadi dengan caranya. Saya percaya. Semesta itu semacam tautan. Hal yang satu akan menghubungkan dengan hal lainnya. Meski kelihatannya takada sangkut pautnya. Semacam cerita bersambung yang takpernah diketahui ujungnya, tapi pasti berujung. Begitulah. Alam bekerja.

Lalu, memang takada yang kebetulan dan keberuntungan dalam hidup. Kebetulan dan keberuntungan hanya alibi orang-orang yang takingin kerjanya diketahui orang lain. Yang ingin menyimpannya. Sambil mengucap syukur pada Tuhan. Dalam-dalam.

Kemarin lusa dan kemarinnya lagi. Saya bermimpi. Entahlah. Saya tidak bisa mendefinisikan mimpi saya tersebut dengan rinci. Satunya, saya bermimpi bertemu dengan orang yang ingin saya temui. Sudah lama, saya ingin berbincang dengannya. Bertanya segala sesuatu tentang (salah) saya yang mungkin mengganjal hidupnya atau kisah cintanya. Dalam mimpi itu, dia datang ke rumah saya. Bersikap manis. Dan, saya pun senang berbicara panjang lebar dengannya. Entah. Apa yang kami bicarakan.

Mimpi selanjutnya, saya menikah. Memakai kebaya putih. Memakai jilbab putih. Wajah saya pucat. Jilbab putih saya takselesai dipasang. Masih ada juntai panjang yang mengatung. Lalu, perias saya pergi begitu saja. Saya ditinggal sendirian di depan cermin.

Bangun dari kedua mimpi tersebut, saya tergeragap. Ada bulir yang mengalir. Ada detak yang takbiasa. Entahlah. Padahal, saya tipe orang yang takterlalu percaya pada mimpi. Namun, terbangun dengan mimpi aneh dua hari berturut-turut membuat saya merasa ada yang salah.

Kemarin. Saya harus ke rumah sakit untuk memeriksakan sakit saya yang sudah hampir seminggu. Telinga saya berdengung. Tidak ada yang mengantar. Jadilah, saya pergi sendirian. Menaiki motor, padahal sudah sangat lama saya tidak mengendarai motor. Saya hanya berpikir, ini bulan baik. Tidak apa-apa. Kalaupun mimpi saya itu berdampak buruk pada saya, toh, semuanya juga akan kembali. Cepat atau lambat.

Perjalanan berangkat saya baik-baik saja. Pulang juga demikian. Sampailah tepat di depan rumah. Saya membelokkan motor saya. Entahlah. Apa yang sedang terjadi. Tetiba saja saya sudah terguling. Tertindih motor saya. Tidak berdampak terlalu buruk memang. Hanya lecet sedikit di lutut dan tangan saya. Nyeri. Lebam. Juga dalam porsi sedikit.

Lalu, saya mengurai kembali. Firasat kadang memang takpernah berbohong. Manusia saja yang sudah telanjur sombong sering mengabaikannya. Entah. Saya mengutip di mana kalimat itu. Ataukah peristiwa jatuh saya juga merupakan firasat untuk sesuatu hal yang lain. Mungkin. Sekarang, saya sedang mencoba membaca lebih. Membaca pertanda. Semoga semuanya terasa baik-baik saja.