Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Minggu, 28 Juli 2013

Puisi yang Terterjemahkan

Entahlah. Saya lupa tepatnya. Mungkin 15 atau 16 Juli 2013 kemarin, saya diminta tolong oleh salah satu dosen favorit saya, Mas Iben, untuk membaca puisinya dalam bahasa Jawa Timur-an. Mas Iben pada hari itu sedang meluncurkan tujuh buku terbarunya. Ini pengalaman pertama saya! Iya. Baru kali ini saya membaca puisi di depan umum. Paling-paling, biasanya, saya hanya bisa membaca puisi di soundcloud.com. Itu pun tanpa ada orang yang tahu. Haha.

Mas Iben memberi saya lima sajak yang harus diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa Timur-an. Saya kelabakan. Proses menerjemahkan ternyata taksemudah ngobrol ringan sehari-hari. Alhasil, terjemahan saya itu adalah proses diskusi panjang dengan Mama saya. Siapa lagi yang bisa diandalkan dalam kondisi seperti ini. Ya. Meskipun ada beberapa kata dan kalimat yang Mama saya pun kebingungan harus menggantinya dengan apa. Mama saya masih saklek. Sementara saya meyakinkan Mama saya bahwa terjemahan itu seperti perempuan, yang cantik itu biasanya tidak setia. Itu kalimat yang saya ingat dari Mas Iben. Dulu. Semester satu atau dua.

Meskipun pada akhirnya, saya hanya membaca satu sajak. Saya cukup senang. Sebab saya telah berproses. Mengingat kembali bahasa Jawa Timur-an yang agak susah saya terapkan kepada teman-teman saya yang rerata orang Jawa Tengah. Satu hal lagi, sajak-sajak Mas Iben yang diserahkan kepada saya termasuk sajak-sajak manis. Sajak-sajak yang merdu dibaca sendiri, bukan untuk ditertawakan. Tapi, saya tidak berhasil mempertahankan suasana itu. Entah karena saya kurang cakap, atau memang bahasa Jawa Timur yang selalu bikin ngakak. Satu sajak favorit saya, saya kutip di bawah ini. Semoga Mas Iben berkenan.



Menjelang Petang

menjelang petang
katene surup
tak juga engkau datang
koen gak teko-teko
sementara aku menunggu
saksuwene aku ngenteni
hanya berkawan waktu
mek dikancani wayah surup

malam bukan milik kita
bengi duduk we’e awake dewe
temaram pun tidak
remeng-remeng ae yo ogak
sebab hanya kata-kata
soale mek ukoro thok
di layar; tercetak
nang geber; gambare ketok
tapi hingga senyap
tapine sampek sepi nyenyep
hanya tinggal harap
mek gari pengarep-arep
: adakah karena pulsa
opo mergo pulsa
  atau memang alpa?
utawa ancene ngamplah?
  
Yang pernah nonton acara TV Jawa Timur, "Pojok Kampung", pasti sedang tersenyum. Membayangkan bahwa ada bahasa yang sedang dicoba untuk dialihkan. Kepada hal-hal yang takpernah terkatakan. Kepada hal-hal yang melebihi segala yang terkatakan.

Selasa, 09 Juli 2013

Kuliah yang (seolah) Selesai. Selamat!

Pada akhirnya, saya pun lulus. Tanggal 9 Juli 2013 saya sidang skripsi. Sidang penghabisan yang--oh ya udah gini doang--yang rasanya taksemewah dan takselega yang saya bayangkan. Skripsi saya membahas pesan-pesan ideologis liberalisme yang ada di dalam Twitter akun @Ulil. Analisis Wacana Kritis. Atau bahasa kerennya Critical Discourse Analysis.

Sudahlah. Takusah ditanyakan bagaimana rasanya sidang. Antara gemes dan dingin. Tentu saja, di dalam sidang itu, kesalahan skripsi saya seolah sangat amat banyak sekali. Kesalahan ejaan dipermasalahkan sampai rinci. Kekurangan definisi dalam tinjauan pustaka seolah menjadi hal utama yang sangat fatal. Kata pengantar yang hanya setengah halaman itu juga menjadi masalah. Katanya saya tidak intelek membuat kata pengantar seperti itu. Lalu, pembahasan saya? Hampir tidak tersentuh. Entahlah. Saya harus lega atau tidak ketika pembahasan saya taktersentuh.

Tentu saja dingin. Saya juga terbawa suasana bahwa skripsi saya amatlah buruk. Tidak sistematis. Dan, banyak lagi. Sudahlah. Yang penting selesai. Sebab skripsi yang baik adalah skripsi yang selesai. Empat tahun saya ditentukan satu jam kemarin itu.

Sekarang, di belakang nama saya (harusnya) sudah terpasang gelar. Yang sampai saat ini, saya tidak tahu menahu buat apa gelar itu. Selesai sidang. Saya semakin bingung. Apa yang akan saya lakukan setelah ini? Menambah jumlah pengangguran di negeri ini. Haha. Miris.

Kuliah saya memang selesai. Kelihatannya. Tapi, hidup baru akan dimulai. Ada banyak hal di luar sana yang sampai sekarang saya belum tahu. Ada banyak pertanyaan setelah ini. Yang entah bisa saya jawab atau tidak. Yang sangat mungkin pertanyaannya jauh lebih sulit daripada pertanyaan penguji di dalam sidang skripsi.

Mimpi-mimpi di awal kuliah yang terlampau muluk juga perlahan-lahan jatuh. Semacam layang-layang yang putus. Jalan yang dulu yakin saya tempuh, juga sedang menemui persimpangannya. Lalu, saya harus memilih lagi. Terus memilih. Bagi saya, membuat pilihan itu sangat mudah. Yang takmudah adalah setia pada pilihan itu. Lalu, segala sesuatunya sekarang sedang berada di persimpangan. Tinggal saya memilih lurus, belok kanan, belok kiri, atau kembali. Saya yakin. Pilihan saya setelah ini akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan saya kelak. Dan, sekarang, saya sedang memilih untuk diam di tempat sampai beberapa saat. Sampai waktu yang pas, saya akan memilih. Mau melanjutkan hidup seperti apa.

Selamat! Sudah lulus. Lalu, kehidupan (seolah) selesai. Padahal, baru akan dimulai.

Sekarang, saya masih memikirkan. Tumpukan skripsi hasil revisi yang jumlahnya hampir dua rim kertas dari pembimbing dan penguji ini mau diapakan. Silakan mengambilnya di rumah saya jika berminat!