Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Senin, 26 November 2012

Rangkaian Latsitardanus XXXIII: Cerita tentang Saya yang di Kota

Akhirnya sudah sampai Lombok. Saya ditempatkan di Kota Mataram. Tidak ada susah-susahnya. Semuanya di luar ekspektasi. Saya sudah berharap akan ditempatkan di pelosok entah di mana. Tidak akan ada listrik. Terlebih sinyal. Tapi, sayang sekali. Saya di sini semacam liburan. Kegiatan hanya pagi sampai siang. Sore hanya istirahat. Bertempat tinggal di mess. Semuanya ada. Dekat dengan minimarket. ATM. Mall. Ah, sama saja. Semacam berada di Jakarta. Tapi dalam lingkup yang lebih kecil.
Ah iya, jangan kau tanya betapa bosannya. Saya sudah bosan dengan rasa bosan. Mungkin, sudah takbisa memisahkan lagi antara bosan dan taktahu harus bagaimana. Ya. Saya tinggal di lingkup Polda NTB. Paling tidak, harus mengikuti kegiatan mereka. Apel pagi, siang, sore, malam. Memakai seragam. Baris berbaris. Takboleh ada pelanggaran. Hidup macam apa ini? Lama-lama saya bisa mati konyol jika terus menerus seperti ini. Tapi, sudahlah. Ini pilihan. Harus dihadapi.
Sebenarnya, saya takpernah menyesal. Keindahan alam NTB ketika akhir pekan menyelamatkan saya dari rasa bosan ini. Hanya saja, saya belum merasakan pengabdian yang semacam K2N di Wana Bakti kemarin. Saya rindu berjalan-jalan di desa. Rindu mandi di sungai. Rindu berbincang panjang dengan warga lokal. Rindu berjalan  jauh. Rindu takada listrik. Rindu takada sinyal. Ah, padahal, saya sudah berharap ini akan lebih dari itu. Ternyata, saya di kota. Yang semuanya ada. Ah iya, bahkan, saya pun terkadang memilih untuk laundry.
Mungkin, benar kata teman saya, di sini, pengabdiannya hanya bonus.

Rabu, 07 November 2012

Tempat Singgah

Ke Lombok. Ya. Tinggal beberapa hari lagi saya berangkat ke Lombok. Antara buncah dan gelisah. Entahlah. Saya memang selalu senang perjalanan. Terkadang, tujuan dalam sebuah perjalanan takpernah saya nanti-nantikan. Saya hanya ingin melakukan perjalanan. Ke mana pun. Menikmati setiap sentimeter perpindahan dari satu ruang ke ruang lainnya. Itu menyenangkan.

Mungkin, kali ini saya akan melewati beberapa moda transportasi yang lengkap: udara, laut, dan darat. Terlebih itu. Saya suka duduk di ruang tunggu bandara yang senyap. Tapi, seringkali bising. Melihat lalu-lalang orang. Sibuk dengan perangkat elektronik mereka. Hampir takada percakapan di ruang tunggu bandara. Atau mungkin saya yang enggan membuka percakapan dengan orang di sebelah. Entahlah. Dan, saya juga suka ketika pesawat sudah terbang. Jendela sudah boleh dibuka. Saya bisa melihat gumpalan awan putih. Terbang. Menari-nari. Lantas, membayangkan diri saya berlarian di sana. Ya. Pastinya, saya pun taksuka ketika telinga saya sakit.

Namun, ruang tunggu bandara itu tidak pernah semenyenangkan peron stasiun. Bangku memanjang. Berderet-deret. Suara sirine. Rel kereta api. Decit ferum. Bau pesing. Suara bising. Gerbong yang berjajar. Serupa ular naga. Saya suka berlama-lama di sana. Datang jauh lebih awal sebelum kereta datang. Mengamati pedagang asongan. Melihat peluh yang menetes. Mendengar celoteh kasar. Menunggu senja yang akan datang. Menunggu kereta yang berubah warna menjadi jingga ketika terkena tempias senja. Ya. Atau apa pun itu. Jika di peron stasiun, saya bebas bercakap dengan siapa pun. Tentang apa pun. Saya suka tertawa mendengar obrolan kami. Yang kadang taktahu arahnya. Hanya pengisi kekosongan. Biar sama-sama takbosan. Biar takbosan dengan rasa bosan.

Laut. Laut itu seperti ibu: dalam dan menunggu. Saya suka ketika kapal mulai melepas jangkar. Bergerak perlahan. Lalu, ketika sudah berada di laut lepas. Saya jarang bisa membedakan antara langit dan laut. Mereka menyatu. Membentuk sebuah lengkung indah. Ujung langit adalah ujung laut. Mungkin, bisa jadi seperti itu. Senja. Ya. Itu yang membuat saya betah di laut lepas. Saya bisa melihat senja dengan jelas. Melihat bulat matahari yang (seolah) tertelan oleh laut. Kemudian, berganti dengan semburat jingga. Lantas, jingga itu hilang perlahan. Menjadi kelam. Lalu berganti dengan bintang dan bulan. Saya bisa dengan bebas menerka-terka bintang apa yang sedang menampakkan diri. Jika hujan, laut akan menjadi semakin menyenangkan. Rintiknya lembut. Bisa dengan mudah bercumbu dengannya di geladak.

Ya. Intinya. Saya suka melakukan perjalanan. Ke mana pun. Ah iya, satu lagi. Saya suka ketika tempat tujuan perjalanan saya itu tidak ada sinyal. Sama sekali. Saya takperlu repot-repot dihubungi atau menghubungi seseorang. Saya bisa menikmati perjalanan ini dengan utuh. Dengan menyerahkan sepenuhnya diri saya ke ruang tersebut. Tanpa berbagi dengan kenangan saya. Takada sinyal juga membuat rindu saya pada banyak hal terkumpul. Sebab, kadang saya memerlukan sedikit waktu dan jarak untuk merindukan sesuatu, ah, mungkin juga seseorang.

Selasa, 06 November 2012

seseorang yang ingin memotong senja untuk dikirim ke surga

[1]

ia pernah duduk di bangku taman ini sendirian. ketika hujan. lalu, buku-buku yang dia baca basah. dia bergeming. menengadah. dia ingin sekali menanyakan mengapa hujan yang harus jatuh ke bumi. bukan senja saja. sebab jika senja yang turun. dia bisa bermandi jingga. sebab dia ingin sekali menjadi jingga. semburatnya manis, katanya.

[2]

titik-titik air itu semakin membuat rambut dan bukunya basah. dia sudah tidak memikirkan sesuatu apa pun. termasuk tentang daun-daun yang tinggal tulang. atau mengapa ada penyair gadungan yang sedang menulis puisi tanpa huruf kapital. dia hanya ingin hujan yang turun ini akan menjelma menjadi senja. nanti beberapa menit lagi. maka dia masih duduk di kursi itu.

[3]

dia akan mengerat senja yang jatuh ke bumi. memotong-motongnya menjadi beberapa bagian. mungkin, seukuran kartu pos. lalu, dia akan menempeli senja itu dengan perangko seharga lima ribu rupiah. pergi ke kantor pos yang kian hari kian berdebu. tanpa pengunjung. ia akan berdiri lama-lama. ingin menulis surat, tapi dia takpandai berkata. akhirnya, dia hanya menyerahkan senja yang ditempelinya perangko itu kepada mbak-mbak penjaga kantor pos.

[4]

tanpa melihat alamat yang dituju. senja yang tertempeli perangko itu dimasukkan begitu saja ke dalam tumpukan surat lainnya. ia mendesah. tersenyum simpul. berharap banyak. bahwa senja yang tertempeli perangko itu akan segera sampai di surga. ia hanya ingin ayahnya tahu bahwa ia rindu. ingin bertemu. sebab, sampai senja yang tertempeli perangko itu diserahkan. ia takpernah tahu dipeluk ayahnya. yang ia tahu hanya cerita-cerita kosong dari ibunya bahwa ayahnya sedang berbahagia di surga.

[5]

ia hanya mengangguk-angguk ketika ibunya bercerita. padahal, dia sedang teringat cerita gurunya bahwa di surga semua lelaki akan mendapatkan bidadari yang mereka inginkan. dari situ, ia mulai membenci surga. ia mulai membenci keberadaan surga yang telah merebut ayahnya. ia mulai mengumpulkan ingatannya tentang sosok bidadari. ia gemetar. ketika melihat ibunya, kemudian menengok ingatannya. ibunya renta, sedangkan bidadari cantik sempurna. ia kasihan melihat ibunya. yang sudah renta, tapi masih pandai membual.

[6]

sementara, di ruang yang terpisah. ibunya setiap malam menangis. mengutuk tuhan yang pernah menciptakan kata surga. sehingga membuatnya bercerita banyak tentang surga kepada anaknya. lelaki yang oleh ia disebut ayah, sebenarnya takpernah masuk surga. ia pergi bersama bidadari murahan pinggir jalan. bertahun-tahun. entah. sekarang di mana. mungkin sudah dimakan kenangan. atau tertelan ingatan.

[7]

ia masih duduk di kursi itu. senja yang harus dipotongnya takjuga jatuh. hanya rintik hujan yang menjelma gerimis. bukunya sudah hanyut. rindunya sudah teresap oleh tanah basah. lantas, kenangannya pun sedang mengembara bersama rintik.