Hurip iku Hurup

Jejering wong urip iku sejatine kudu bisa tansah aweh pepadhang marang sapa wae kang lagi nandhang pepeteng kanthi ikhlasing ati. Manawa hurip ora bisa aweh pepadhang iku tegese mati.

Kamis, 23 September 2010

Kamu

Ini bulan September. Hampir Oktober. Harusnya masih kemarau atau sudah kemarau? Entah. Tapi ini hujan. Setiap hari hujan. Tanpa jeda. Membingungkan. Begitu pula perasaanku padamu. Seperti unda-undi yang tak pasti. Harusnya aku sudah melupakanmu. Tak lagi mengingatmu. Tak harus merindukanmu. Ada yang salah denganku.
Kamu masih saja hadir. Dalam gerimis. Dalam kerontang. Dalam normal. Tak terbantahkan.

Aku Hanya Ingin Menulis

Aku tak pernah peduli. Tulisanku dibaca orang atau tidak. Disukai atau tidak. Ya, untuk sementara ini aku tak pernah peduli akan semua itu. Aku hanya ingin menulis. Itu saja. Makanya, aku lebih senang menulis tanpa harus memberitahu orang lain. Aku tak pernah peduli siapa yang akan membaca tulisanku. Karena aku ingin menjadi pengarang, bukan penulis. Pengarang menulis dengan hati, penulis menulis dengan uang. Tidak. aku tidak menginginkan itu.
Aku ingin membebaskan rasa malu kata dan kalimat dari tatapan tajam pembaca. Bahkan, kalau bisa aku ingin membebaskan kata dari makna, seperti yang dilakukan oleh Sutardji. Aku bosan. Kebosanan yang memuncak. Kau boleh saja tak membaca ini. Sangat boleh. Membaca pun tak ada untungnya. Hanya coretan tak penting.

Selasa, 21 September 2010

Surat Kedua untuk Kakek

Depok, 12 Agustus 2010

Selamat malam Kek,
Apa kabar? Hari ini hari kedua puasa Kek. Di sana pasti Kakek sudah tidak puasa. Ya aku tahu itu. Ini surat kedua Kek. Kakek tak sempat membalas suratku yang pertama. Mungkin, di surga memang tak ada kertas dan tinta, atau pak posnya sudah enak hidup di surga, jadi sudah enggan mengantar surat. Atau, burung dara di surga sudah tidak bertugas mengantar surat. Ya sudahlah.

Kakek,
Semoga memang kau bahagia di sana. Ah, Kek, tadi aku naik KRL, ini sejenis kereta listrik yang beroperasi di daerah Jabodetabek. Menunggu kereta di stasiun. Ada dua kakek, mungkin seusia Kakek. Mereka mengemis. Mengais rezeki di jalan. Kasihan. Tak ada yang peduli. Di mana anak dan cucu bahkan cicit mereka? Bernasib samakah? Ah, Kek, harusnya mereka sudah istirahat di rumah. Menikmati hari tua. Tapi mereka malah di jalan. Berkeliaran. Masih bingung harus makan apa. Betapa hidup ini tak adil.

19.43

Sudah, Terbang Saja Semaumu!

Dulu saja, kau membutuhkanku. Meyakinkanku dengan perintahmu. Sekarang? Mudah saja untukmu. Hinggap sana-Hinggap sini. Tak tahu, apa yang ada di otakmu. Akukah? Atau kerjamukah? Atau bahkan diakah?
Sudah, jangan temui aku lagi. Sudah bosan. Terbang saja, semaumu... aku sudah tak peduli lagi....